Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Matinya si Bengal

Sajad, 40, penduduk Ciasemhilir, Subang, dibunuh atas suruhan ayahnya, Said, 85. Sajad menurut said selalu memeras. Kerbau dan rumahnya dijual. Untuk menghilangkan kecurigaan, korban dianggap sakit ingatan.

12 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMASUKI ruang sidang Pengadilan Negeri Subang awal Desember ini, Said, 85 tahun, jalannya terpaksa dipapah. Orang tua yang tubuhnya sudah bungkuk itu dituduh membunuh anak kandungnya sendiri. Untuk maksud itu, ia mengupah orang lain, termasuk dua menantunya. "Anak saya itu kelakuannya sudah kelewatan, Pak Hakim, saya jadi gelap mata dan terpaksa menyuruh menantu untuk membunuhnya," kata ayah enam anak itu. Ia penduduk Desa Ciasemhilir, Kabupaten Subang, dan berterus terang dalam suara yang terbata-bata. Sajad, 40 tahun, anak sulung Said, dibunuh awal April lalu ulah lima penduduk, termasuk dua orang menantu Said sendiri. Sabtu dinihari, dalam keadaan kaki dipasung dan tangannya diikat, Sajad dijemput dari rumah Said menuju tepi Kali Gempor sekitar 10 km dari kampungnya. Di dekat jembatan bambu mereka berhenti. Sajad yang sudah tak berdaya itu kemudian lehernya dililiti rantai sepeda dan, kreeek .... Sekali tarik saja leher Sajad tercekik dan sekarat. Mungkin karena takut cekikan itu lepas dan korban tak jadi mati, rantai itu kemudian mereka kunci dengan kunci gembok. Masih dalam keadaan sekarat, Sajad kemudian dibungkus kain sarung dan dilempar ke dalam Kali Gempor. Esok harinya, Said menyerahkan uang kepada para pembantai itu Rp 80 ribu. "Uang itu hanya sekadar untuk beli rokok dan uang lelah," kata Said, hampir tanpa ekspresi. Dua minggu kemudian mayat Sajad ditemukan terapung di Kampung Blamakan, sekitar 10 km dari tempat pembunuhan, sudah membusuk. Tubuhnya memar, tulang jakunnya remuk, tulang iga patah dan tulang betisnya retak. Menurut visum dr. Pardjaman Tojo dari RS Hasan Sadikin Bandung, semua kerusakan tubuh Sajad disebabkan benturan keras benda tumpul. Tampaknya sebelum dicekik dengan rantai sepeda korban memang disiksa lebih dulu. Tak sulit polisi melacak pembunuhnya. Said beserta lima orang pelaku pembunuhan itu segera ditangkap. Soalnya, sehari sebelum peristiwa pembunuhan itu, atas permintaan Said, Kepala Desa Ciasemhilir membuat surat pengantar untuk Rumah Sakit Jiwa Tangerang. Isinya, Sajad sakit ingatan. Saad memang diantar dua orang menantu Said dan tiga orang tetangganya. Tapi tidak ke Tangerang, melainkan ke Kali Gempor, untuk dibunuh. Ayah seorang putri itu di kampungnya dikenal sebagai orang bengal. Kecuali jadi buruh tani, ia tak punya penghasilan tetap. Sasaran paling empuk adalah orangtuanya sendiri yang sudah tua renta itu. Seekor kerbau dan dua rumah milik orangtuanya, misalnya, ia jual. Said dan adik-adik Sajad tak mampu mengatasi. "Harta kami sudah habis dijualnya, padahal kami petani miskin. Dan kalau niat ingin menjual itu dicegah, ia mengamuk dan membawa golok," keluh Said yang wajahnya sudah keriput itu. Beberapa hari sebelum Sajad dibunuh Said sekeluarga bermusyarawah bagaimana mengatasi kelakuan Sajad. Keputusannya, Sajad akan dibawa ke RS Jiwa Tangerang untuk dirawat. Mereka memang curiga Sajad kurang waras. Tetapi, sebelum niat itu dilaksanakan hasil musyawarah rupanya bocor. Sajad, yang tak senang diperlakukan seperti itu, berontak dan langsung membacok ayahnya. Said terpaksa dirawat di RS Subang. Sementara Said dirawat, Sajad dipasung dan tangannya diikat ke belakang. Ia ditinggalkan di rumah Said, sendirian. Setelah pulang dari rumah sakit itulah Said dan anak menantunya sepakat: Sajad harus dihabisi. Sajad sakit jiwa? Sukija, 43 tahun, tetangga Said, percaya Sajad mengidap sakit jiwa. "Sajad adalah teman saya sejak kecil. Tapi menginjak dewasa ia terlihat memiliki kelainan jiwa. Istrinya sendiri sudah ia cerai," begitu kata ketua RT (Rukun Tetangga) yang ikut menangkap dan memasung Sajad ketika ayahnya dibacok itu. Berdasarkan keterangan ketua RT itulah Kepala Desa Ciasemhilir, Ali Azhar, dalam surat untuk RS Jiwa Tangerang itu, disebutnya Sajad sakit jiwa dan harus dirawat. "Apakah kamu ini dokter sehingga memastikan Sajad sakit jiwa?" tanya dan bentak Ketua Majelis Hakim Mohammad Djadjuli kepada Ali Azhar yang menjadi saksi dalam sidang itu. Kepala Desa itu mengakui tak pernah mengetahui persis apakah Sajad sakit jiwa atau tidak. "Surat itu disodorkan Sekretaris Desa dan langsung saya tanda tangani tanpa saya periksa dengan teliti," kata Azhar. Said sendiri mengakui, Sajad, anaknya itu, memang jiwanya waras. "Sebelumnya Sajad tidak sakit ingatan. Ia cuma gagal, dan kalau kemauannya tidak dituruti suka mengamuk dan mau membunuh siapa saja yang menghalangi niatnya," kata Said. Di depan persidangan Said berterus terang. "Sakit ingatan hanyalah alasan agar mudah melenyapkannya. Dan orang tentu tak curiga," ujar Said lagi. Masya Allah. Hasan Syukur & Agung Firmansyah (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus