Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tumpang-Tindih Berbau Korupsi

Kejaksaan Agung mengusut dugaan korupsi tambang nikel Maluku Utara. Buntut tumpang-tindih perizinan yang melibatkan M.S. Kaban.

14 November 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK mau keliru memberi penjelasan, Jantje Robett Pattiwael menyiapkan dokumen setebal 20 halaman ketika hendak memenuhi panggilan Kejaksaan Agung pada Jumat dua pekan lalu. Di depan jaksa penyidik, bekas Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Maluku Utara ini menjabarkan dugaan pelanggaran dalam eksplorasi nikel oleh PT Kemakmuran Pertiwi Tambang. "Saya menjawab sekitar sepuluh pertanyaan. Data yang ada saya serahkan semua," kata Jantje, Kamis pekan lalu.

Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus menerbitkan surat perintah penyidikan pada 21 September 2016. Jaksa mengusut dugaan korupsi tambang nikel yang melibatkan perusahaan nikel terbesar di Maluku Utara ini. "Masih penyidikan umum, belum ada tersangkanya," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Arminsyah, Selasa pekan lalu.

Penyidik kejaksaan berfokus pada dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) oleh Kementerian Kehutanan. Kejaksaan juga menyoroti penerbitan sertifikat clean and clear serta penetapan royalti oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Di samping itu, penyidik kejaksaan masih menelisik dugaan penyalahgunaan izin ekspor nikel oleh PT Kemakmuran Pertiwi.

Kasus ini bermula dari laporan kuasa hukum PT Wana Kencana Mineral, Johnson Panjaitan, pada pertengahan tahun lalu. Johnson melaporkan PT Kemakmuran Pertiwi yang melakukan eksplorasi dan penambangan di lahan sengketa sejak 2009 hingga 2012. Menurut Johnson, PT Wana Kencana merupakan pemegang izin usaha pertambangan di atas lahan seluas 24 ribu hektare dan 13 ribu hektare itu. "Mereka izinnya belum ada tapi sudah menambang dan mengekspor hasilnya," ujarnya.

Johnson tak asal lapor. PT Wana Kencana sudah memenangi sengketa tata usaha negara hingga tingkat peninjauan kembali. Pangkal sengketa adalah tumpang-tindih izin usaha pertambangan PT Wana Kencana dengan PT Kemakmuran Pertiwi dan PT Kemakmuran Inti Utama Tambang. Sengketa itu bergulir sejak 2007 dan telah berkekuatan hukum tetap pada 28 September 2009. PT Wahana menggugat surat keputusan Bupati Halmahera Timur yang memberikan kuasa pertambangan kepada kedua "perusahaan kembar" tersebut.

Mahkamah Agung memenangkan PT Wana Kencana karena mereka mengantongi kuasa pertambangan eksplorasi nikel dari Gubernur Maluku Utara. Pertimbangan hakim kasasi, lahan tambang yang diperebutkan terletak di perbatasan wilayah Kecamatan Wasile Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, dan Kecamatan Weda, Kabupaten Halmahera Tengah. Karena lahan itu berada di dua wilayah kabupaten, menurut majelis hakim, gubernur yang berwenang menerbitkan izin kuasa pertambangan.

Meski izin bupati telah dibatalkan, PT Kemakmuran Pertiwi ngotot mengeruk nikel berdasarkan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) yang diterbitkan Menteri Kehutanan saat itu, Malem Sambat Kaban. Surat Keputusan Menteri tentang IPPKH untuk kegiatan eksploitasi PT Kemakmuran keluar pada 15 Oktober 2009. Padahal putusan pengadilan yang memenangkan PT Wana telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) sebulan sebelumnya.

Belakangan, surat rekomendasi dari Gubernur Maluku Utara yang digunakan PT Kemakmuran Pertiwi ketika mengajukan izin pinjam pakai terbukti palsu. Sekretariat Daerah Maluku Utara mengirim penjelasan tentang rekomendasi palsu itu ke Kementerian Kehutanan pada 17 Maret 2009. Direktur Perizinan PT Kemakmuran Pertiwi Hadi Darmanto dan Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Maluku Utara Rusdi Syukur kemudian menjadi terdakwa pemalsu tanda tangan gubernur. Namun, di pengadilan, hanya Rusdi yang divonis bersalah dan dihukum 10 bulan penjara. Sedangkan Hadi divonis bebas.

Menurut Jantje, setelah mengantongi izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan, PT Kemakmuran langsung menambang nikel. Padahal, setelah izin pinjam terbit, seharusnya ada jeda sekitar dua tahun. Jangka waktu itu untuk membuka lahan, menebang pohon, serta menyiapkan konstruksi tambang. Jantje menuding PT Kemakmuran membabat hutan dan membangun fasilitas tambang pada 2007-2008. Karena itu, begitu izin pinjam dari Menteri Kehutanan turun, perusahaan grup Harita ini bisa langsung menambang nikel. Dalam setahun, perusahaan memproduksi sekitar empat juta ton nikel.

Sejauh ini PT Kemakmuran Pertiwi telah mengekspor nikelnya ke Cina. Padahal Gubernur Maluku Utara Thaib Armaiyn pernah menyurati Bupati Halmahera Timur Muhammad Natsir Thaib. Gubernur meminta Bupati menghentikan kegiatan dan mobilisasi peralatan keluar area tambang PT Kemakmuran. Sejak 2010 hingga 2011, Gubernur sampai lima kali mengirim surat teguran. Namun PT Kemakmuran tak mengindahkan peringatan itu. "Anak buah saya saat mengecek area tambang juga diusir," kata Jantje.

Toh, pada 30 Mei 2012, PT Kemakmuran meraih sertifikat clean and clear dari Direktorat Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Sertifikat ini berguna untuk mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Energi sebagai eksportir terdaftar. Padahal, menurut jaksa, ada sejumlah syarat yang tak terpenuhi dalam pengajuan status "jelas dan bersih" itu. Syaratnya antara lain lahan tidak boleh tumpang-tindih, perusahaan harus memiliki bukti setoran tetap dan setoran royalti, serta perusahaan harus lebih dulu melunasi kewajiban pembayaran kepada negara.

Sedangkan PT Kemakmuran Pertiwi, menurut jaksa, belum melunasi semua kewajiban kepada negara. Perusahaan yang bermarkas di lantai lima Gedung Bank Panin, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, itu juga tak jelas setoran royaltinya.

Berapa sebetulnya total kewajiban PT Kemakmuran, menurut Jantje, belum diketahui. Berdasarkan catatan Dinas ESDM Maluku Utara, PT Kemakmuran baru melaporkan produksinya pada 2011.

Kendati PT Kemakmuran Pertiwi lebih dulu beroperasi, Kementerian Energi malah mengirim tagihan kepada PT Wana Kencana sebagai pemilik izin eksplorasi yang sah. Total tagihan semula hanya Rp 469 miliar. Belakangan, Badan Pemeriksa Keuangan menghitung kembali kewajiban perusahaan pemilik konsesi tambang di Halmahera Timur dan Halmahera Tengah ini. Berdasarkan perhitungan BPK, PT Wana Kencana harus menyetor ke kas negara sekitar Rp 1 triliun. "Klien kami belum beroperasi. Mana bisa punya uang sebanyak itu?" ujar Johnson.

Merujuk pada putusan Mahkamah Agung, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Oktober 2015 membatalkan izin pinjam untuk PT Kemakmuran Pertiwi yang dikeluarkan Menteri Kaban. Sejalan dengan itu, pada April 2016, Gubernur Maluku Utara Abdul Ghani Kasuba juga mencabut keputusan Bupati Halmahera Timur tentang pemberian izin untuk PT Kemakmuran. Gubernur kemudian memberikan izin usaha kepada PT Wana Kencana.

PT Kemakmuran tak menyerah begitu saja. Melalui kuasa hukumnya, Patra M. Zein, mereka menggugat surat keputusan Gubernur Maluku Utara. Menurut Patra, kliennya berpatokan pada Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral perihal tumpang-tindih wilayah penambangan. Keputusan itu menyebutkan, jika terjadi tumpang-tindih kuasa pertambangan eksploitasi dan eksplorasi di tempat yang sama, maka yang mendapat kuasa atas wilayah itu adalah yang paling dulu memenuhi persyaratan. "Acuan inilah yang hendaknya menjadi solusi," ujar Patra. Pekan lalu Pengadilan Tata Usaha Negara Ambon menolak gugatan PT Kemakmuran.

Ihwal penyidikan di Kejaksaan Agung, Patra mengatakan, selama ini PT Kemakmuran Pertiwi selalu menaati aturan hukum. Menurut dia, perusahaan telah memenuhi panggilan jaksa. "Mereka telah memberikan keterangan yang diperlukan," ujar Patra.

Menurut Arminsyah, penyidikan di Kejaksaan Agung tak terbatas menelisik peran perusahaan dan pejabat lokal. Kejaksaan tak menutup kemungkinan memanggil M.S. Kaban. "Kalau memang diperlukan, kami panggil. Tidak jadi masalah, kan?" ujar Arminsyah.

Adapun Kaban mengaku belum tahu pengusutan izin tambang nikel di Maluku Utara itu. Menurut dia, izin pinjam untuk PT Kemakmuran terbit karena ada permohonan. Kaban pun siap memberi keterangan jika diperlukan. "Kalau dipanggil, datang saja. Itu biasa."

Linda Trianita, Arkhelaus Wisnu, Avit Hidayat, Mochtar Touwe (Ambon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus