Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANEKA foto dan video singkat tentang kerusuhan unjuk rasa 4 November lalu ditampilkan dalam gelar perkara di ruang rapat Direktorat Tindak Pidana Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya, Selasa siang pekan lalu. Mula-mula, seorang perwira polisi menjelaskan situasi awal unjuk rasa saat massa mulai berkumpul di Masjid Istiqlal, Jakarta. Sekelompok orang yang menggunakan atribut Himpunan Mahasiswa Islam bergabung dengan barisan Front Pembela Islam sejak pukul 14.55.
Video kemudian berpindah ke detik-detik awal terjadinya kericuhan. Sekitar pukul empat sore, sekelompok orang mulai membakar ban dan bambu tak jauh dari Istana Negara. Setengah jam berselang, massa yang mengenakan atribut HMI melempari aparat keamanan. Kericuhan berlanjut dengan pembakaran sebuah bus pengangkut demonstran dan dua truk polisi. "Sebelum magrib, massa HMI ini mulai memukuli petugas keamanan di depan Wisma TNI Angkatan Darat," kata seseorang yang mengetahui gelar perkara tersebut.
Gelar perkara dipimpin Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal M. Iriawan. Hampir semua petinggi Polda Metro Jaya hadir dalam pertemuan tersebut. Di ujung rapat, Iriawan mengatakan, seperti ditirukan seorang peserta rapat, "Tolong cari dalang kerusuhan, termasuk siapa yang mendanai."
Iriawan membenarkan kabar tentang gelar perkara tersebut. Namun dia enggan menjelaskan temuan kepolisian. "Masih dalam penyidikan," ujarnya. "Saya hanya meminta kasus ini diusut tuntas."
Sebelum gelar perkara, penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum Polda Metro Jaya menetapkan empat anggota HMI, yakni Ismail Ibrahim, Ramadhan Reubun, Muhammad Rijal Berkat, dan Rahmat Muni, serta Sekretaris Jenderal Amijaya Halim sebagai tersangka kerusuhan. Ketua Umum Pengurus Besar HMI Mulyadi P. Tamsir mengecam langkah polisi. "Kami akan mengajukan praperadilan," kata Mulyadi, Kamis pekan lalu.
Unjuk rasa yang diikuti ratusan ribu orang pada Jumat dua pekan lalu menuntut polisi memenjarakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dengan tuduhan menistakan Al-Quran dan ulama. Mulanya unjuk rasa berlangsung tertib. Kerusuhan mulai terjadi ketika mayoritas pengunjuk rasa meninggalkan Istana Negara.
Sebelum membubarkan diri, perwakilan pengunjuk rasa meminta bertemu dengan Presiden Joko Widodo guna menyampaikan aspirasi. Namun, karena Presiden tidak berada di Istana Negara, sejumlah menteri disorongkan untuk menerima mereka. Tawaran ini ditolak. Maka Wakil Presiden Jusuf Kalla turun tangan. Tapi tawaran ini kembali tidak diterima.
Menjelang tenggat unjuk rasa, perwakilan pendemo melunak. Sekitar pukul lima sore, tiga perwakilan unjuk rasa, yaitu Bachtiar Nasir dari AQL Islamic Center, Misbah dari FPI, dan Zaitun Rasmin dari Wahdah Islamiyah, menemui Kalla. Pertemuan itu pun sempat diawali ketegangan. Pemicunya, Misbah berujar, "Dalam demokrasi, suara wakil presiden itu nilainya sama dengan suara rakyat biasa."
Ucapan itu membuat berang Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Syafruddin. Dia pun menghardik Misbah agar berkata-kata sopan kepada Wakil Presiden. Kalla pun menenangkan mantan ajudannya tersebut. "Sudah, sudah," ujar Kalla. Negosiasi berlangsung alot. Perwakilan pendemo berkukuh agar Ahok ditangkap saat itu juga. Kalla menolak. Dia pun bertanya kepada Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian, apa langkah yang bisa diambil. Tito mengatakan kasus Ahok akan diprioritaskan dalam waktu dua pekan ke depan.
Tawaran itu lagi-lagi sempat ditolak dengan alasan, "Bagaimana kami harus menjelaskan kepada massa?" ujar Bachtiar. Toh, mereka pun menerima tawaran ini dan berjanji mengakhiri unjuk rasa. Wiranto mengatakan, "Mulai pukul enam sore kami harapkan pengunjuk rasa kembali ke tempat masing-masing." Ternyata kerusuhan justru pecah setelah pemerintah dan pengunjuk rasa membuat kesepakatan.
SAMPAI akhir pekan lalu, polisi belum menemukan titik terang tentang aktor politik dan pihak yang mendanai unjuk rasa 4 November lalu itu. Namun ada pihak yang merasa dituduh. Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono mengaku memiliki informasi bahwa Istana Kepresidenan menuduh dia berada di balik demo itu.
Menurut Ketua Dewan Pengurus Pusat Partai Demokrat Andi Arief, dasar tuduhan Istana ke Yudhoyono adalah dokumen setebal 20 halaman tertanggal 2 November 2016. Sebagian dokumen ini diunggah Andi Arief di akun Twitter miliknya dua hari setelah unjuk rasa berlalu. Andi tak memasang utuh dokumen berjudul "Potensi Kerawanan Jakarta dalam Unras 4 November" itu. Dia meyakini dokumen inilah yang menjadi landasan Presiden Jokowi mengambil keputusan. "Laporan ini dibuat oleh konsultan yang dibiayai seorang menteri," ujar Andi, Rabu pekan lalu.
Dokumen itu memuat kronologi munculnya kemarahan umat Islam dan analisis media sosial terkait dengan isu penistaan agama. Ada pula pemetaan akun Twitter pendukung dan anti-Ahok. Bunyi laporan menyatakan unjuk rasa ini mendapatkan sokongan dana dari seorang pengurus Majelis Dzikir SBY Nurussalam. Majelis ini merupakan organisasi yang aktif memenangkan Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilu presiden 2009.
Nama mantan Kepala Kepolisian RI Sutarman disebut-sebut menjadi tokoh yang ikut membantu Yudhoyono. Sutarman menyangkal dan menyebut isi dokumen itu ngawur. "Saya sama sekali tidak ada hubungannya. Tuduhan itu tidak jelas," katanya.
Dokumen itu menyimpulkan unjuk rasa 4 November terkait dengan pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Tujuan jangka pendek adalah menurunkan elektabilitas Ahok. Sebab, ada penambahan ceruk dari akun pendukung Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni. "Presiden salah jika menganggap unjuk rasa hanya persoalan pilkada," ujar Andi.
Dalam dokumen itu juga disebutkan sebelas langkah mitigasi yang semestinya dilaksanakan Presiden Jokowi. Misalnya, Presiden tak perlu memberikan komentar atas dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok. Presiden Jokowi juga disarankan menjauhkan kelompok Islam moderat, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dari agenda 4 November. Saran kepada Presiden adalah tetap beraktivitas seperti biasa. "Disarankan mewaspadai free rider. Presiden perlu melakukan konsolidasi tertutup," begitu tertulis dokumen tersebut.
Anggota staf khusus komunikasi Presiden, Ari Dwipayana, mengatakan tak pernah melihat dokumen yang diunggah Andi Arief. Lagi pula, Presiden tak memerlukan dokumen seperti itu untuk mengambil keputusan. "Presiden kan bertemu dengan menteri, Kapolri, dan Panglima TNI secara langsung," ujar Ari. Juru bicara Presiden, Johan Budi S.P., juga menampik kabar bahwa dokumen itu menjadi bahan pertimbangan Jokowi. "Tidak masuk akal dokumen tersebut. Lihat saja bahasanya."
Meskipun mereka membantah, langkah Jokowi pada Jumat dua pekan lalu sejalan dengan isi dokumen itu. Misalnya, pagi-pagi, Presiden menerima Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Awalnya, Jokowi hendak menunaikan salat Jumat di Masjid Istiqlal. Namun, menurut Johan, Jokowi mengurungkan niat itu setelah diberi pertimbangan oleh pasukan pengamanan. Jokowi pun menjalankan salat Jumat saat meninjau proyek pembangunan kereta bandara di Cengkareng.
Dari Cengkareng, Jokowi tidak kembali ke Istana Negara, tapi pulang ke Istana Bogor. Seorang pejabat pemerintah menuturkan, ia terus memantau perkembangan unjuk rasa melalui Wiranto. Bahkan, kata pejabat ini, Jokowi sebenarnya sempat berniat ke Istana Negara ketika unjuk rasa masih berlangsung. Namun, "Presiden disarankan untuk tidak ke Istana Negara karena situasi tidak memungkinkan," ujar pejabat ini. Menurut dia, Presiden Jokowi juga memerintahkan Wiranto tidak membubarkan unjuk rasa. "Biarkan bubar sendiri," kata pejabat ini. Johan Budi mengaku tidak mengetahui soal ini. "Nanti saya cek," ujarnya.
Jokowi baru tiba di Istana pada pukul sepuluh malam dan langsung mengumpulkan para pembantunya. Wiranto melaporkan, kepolisian dan tentara berhasil meredakan situasi. Malam itu juga Jokowi mendiskusikan pernyataan yang bakal disampaikan kepada media. Seorang pejabat di Kementerian Sekretaris Negara menyusun draf pernyataan Jokowi, yang salah satunya menyesalkan adanya kerusuhan. "Kita telah lihat (unjuk rasa) ditunggangi aktor-aktor politik yang memanfaatkan situasi sebelumnya," kata Jokowi.
Pekan lalu, Jokowi masih berupaya meredakan situasi pasca-unjuk rasa. Secara berturut-turut, dia mengunjungi kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di Menteng. Selain mengunjungi dua kantor organisasi kemasyarakatan Islam tersebut, Jokowi mengundang sejumlah ormas Islam pada Rabu dan Kamis pekan lalu. Saat memberikan keterangan di Muhammadiyah, ia menegaskan, "Saya tak akan melindungi Basuki Tjahaja Purnama karena sudah masuk proses hukum."
Selain mengunjungi ulama, Jokowi mendatangi pasukan yang bertanggung jawab pada keamanan. Kamis pekan lalu, setelah berziarah ke Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jokowi mengunjungi Markas Komando Pasukan Khusus di Cijantung, Jakarta Timur. Di tempat tersebut, ia dijamu yel-yel tentara dengan judul Kami Si Raja Hutan. "Kami si raja hutan, bertempur di segala medan, loreng-loreng, rumput, dan samaran tampil di garis depan," teriak 1.217 anggota Kopassus bersama Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
Sehari setelah mengunjungi Markas Kopassus, Jokowi mendatangi Markas Korps Brigade Mobil di Depok, Jawa Barat. Dia memerintahkan pasukan Brimob menjaga seluruh rakyat tanpa kecuali. Soal rencana unjuk rasa susulan, Jokowi berucap, "Kami harapkan tak ada demo lagi."
Wayan Agus Purnomo, Anton Aprianto, Ananda Teresia, Istman M.P., Aditya Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo