TURUN dari pesawat terbang di bandar Halim Perdanakusumah, Ang
llong Kiat (25 tahun) dan Wong Tee Kim (28 tahun)--keduanya
warga negara Singapura--langsung naik taksi menuju Hotel City di
Glodok, Jakarta Kota. Meski berpaspor turis, mereka mengemban
tugas membunuh Dirut PT Jati Maluku Timber, Tan Liong le alias
Thomas Sutan Jati.
Ang yang masih menganggur dan Wong yang sehari-hari bekerja
sebagai sopir rupanya tertarik oleh tawaran Tan Giok Yauw
(Direktur Hap Yauw Company, di Singapura), yang menjanjikan
memberi bayaran S$ 4.000 atau Rp 1,2 juta lebih--tiket pesawat,
biaya hotel dan makan minum ditanggung: untuk tugas membunuh
itu.
Mereka lalu membeli golok pemotong babi dan sebilah belati. Tapi
usaha membunuh itu tak mudah, meskipun mereka sudah dibekali
foto calon korban dan bahkan beberapa waktu sebelumnya, pernah
pula diajak ke Jakarta mengamati rumah calon korban di Jl.
Cideng Timur. Soalnya, setiap keluar rumah. Thomas tak pernah
sendiri. Bila tak bersama keluarga, selalu ada orang lain
menemaninya.
Di Singapura, rupanya Tan Giok Yauw sudah tak sabar. Sekitar 2
minggu kemudian, 9 November tahun lalu, ia mengirim Lay Ek Sing
(24 tahun)--seorang warga negara Malaysia kelahiran Serawak.
Orang ini berbekal seuus uli yang diberi kayu, spesial untuk
menjerat leher. Menurut Mayor Gunawan, Dan Reskrim Kodak VII,
Lay seorang residivis. Ia konon pernah pula diajak jalanjalan ke
Jakarta.
Untuk menghilangkan kecurigaan, setelah Lay daung, komplotan itu
pindah ke hotel Gajah Mada. Namun calon korban -- lewat orangnya
di Singapura-yang mengetahui jiwanya sedang diincar, segera
melapor pada yang berwajib. Petugas POM ABRI yang dilapori
segera menyergap. Polisi memang belum ikut dalam penyergapan
itu, karena "menyangkut orang asing," kata Gunawan.
Tapi Ang dan Wong hari itu juga diangkut ke Kodak VII, sementara
Lay tetap di hotel sebagai umpan. Betul juga, tak lama kemudian
ada kontak dari Singapura. Terakhir ketika uang saku habis, Lay
disuruh menghubungi Oey Wiyono Gunawan alias Yap Sun Guan
(pedagang, WNI) di lobi hotel City. Perangkap pun dipasang.
Begitu Oey (51 tahun) muncul dan menyerahkan uang Rp 200 ribu,
ia langsung ditangkap bersama Lay.
Bukan baru pertama kalinya Thomas hendak dibunuh. Tahun 1979
lalu, ia pernah dihadang empat orang tak dikenal yang sempat
menghajar jidatnya memakai krakeling. Tanpa ragu-ragu, ia
menuding Tan Giok Youw sebagai dalangnya. Soalnya, kata Budi,
adik Thomas, "Tan pernah mengancam mau membunuh kakak saya."
Tan yang pernah berdagang tekstil dan sering datang ke Pintu
Kecil, Jakarta Barat, adalah kawan bisnis Thomas. Pada Oktober
1976, mereka sepakat mendirikan usaha patungan di bidang
penebangan kayu. Daerah operasinya di Biak, Irian Jaya.
Tan, menurut Budi, berjanji mengirim 4 traktor bernilai Rp 400
juta. Alat berat itu ternyata banyak yang rusak, hingga Thomas
mengeluarkan Rp 50 iuta untuk mereparasinya. Kerja sama itu cuma
berlangsung 2 bulan, lalu bubar. Anehnya, kata Budi, "Tan
menuntut seolah kami berutang Rp 300 juu. Kalau ada buktinya,
pasti kami bayar."
Tiga Buah Giwang
Tapi Tan rupanya merasa lebih sip mengirim 'utusan' ke Jakarta.
Sayangnya pihak Polri untuk bisa memboyongnya ke Jakarta untuk
diadili.
Sabtu pekan lalu, jaksa Haryadi Widyasa hanya bisa menghadapkan
Ang Hong Kiat, Wong Tee Kim, Lay Ek Sing dan Oey alias Yap Sun
Guan ke sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka dituduh
dengan sengaja dan direncanakan lebih dulu, mencoba
menghilangkan nyawa orang lain--melanggar pasal 340 jo pasal 55
ayat 1 ke 1 jo pasal 53 KUHP.
Ang yang berkacamau dan bertampang seperti anak sekolah, kepada
majelis hakim yang diketuai Slamet Riyanto menyatakan, "mohon
maaf bila dalam persidangan saya salah kata." Wong duduk
tenang-tenang di sebelahnya. Dan Lay, berambut panjang tersisir
rapi dan di telinga kirinya ada 3 buah giwang berderet, "mohon
diberi penjelasan karena saya tidak mengerti hukum Indonesia."
Ketiganya, karena dianggap tak mampu, didampingi pembela
Abudinar SH yang ditunjuk pemerinuh. Sedangkan Oey yang selalu
tampak gelisah, didampingi pembela Barnabas Banggur.
Sidang memang agak tersendat, karena para tersangka--kecuali
Oey--uk paham bahasa Indonesia. Mereka cuma bisa bahasa
Mandarin. Tanya jawab selama persidangan melalui penerjemah A.S.
Hakim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini