KASUS Jusuf Randy, pendiri dan direktur utama Lembaga Pendidikan Komputer Indonesia-Amerika (LPKIA), punya gema besar di masyarakat komputer. Bukan saja LPKIA yang kini disoroti masyarakat tetapi juga lembaga pendidikan sejenis. Tenaga jenis apa yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan itu? Dan di mana tempat lembaga pendidikan itu dalam peta pendidikan nasional. Bahwa LPKIA berkembang pesat, itu diakui banyak pihak. Ia, misalnya, memiliki 9 kampus di berbagai kota dengan pusatnya di Jalan Radio Dalam Raya, Jakarta Selatan. Ia sudah meluluskan ratusan orang dan masih punya ribuan murid. Namun, LPKIA yang didirikan 19 Juli 1983 dan baru memperoleh izin dari Departemen P dan K pada 10 Desember 1984 itu ternyata pernah ditegur. "Saya memberikan teguran tentang kurikulum yang diberlakukan di sana," kata Prof. Dr. W.P. Napitupulu, Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda, dan Olahraga Departemen P dan K, Senin pekan ini. Teguran itu dilayangkan tahun lalu. Kurikulum yang diberlakukan di LPKIA, menurut Napitupulu, menyimpang dari ketentuan penyelenggaraan kursus komputer yang sudah digariskan P dan K. Napitupulu tak menjelaskan secara rinci. LPKIA menyelenggarakan pendidikan dengan lima jenjang. Tingkat I (Operator), tingkat (Programmer), tingkat III (Advanced Programmer), tingkat IV (Package Software), dan tingkat V (System Analyst). Tingkat I diajari mengenal dunia komputer dan mengoperasikan komputer agar siap pakal untuk mengerjakan suatu aplikasi: DOS selama 8 session, Wordstar 6 session, Lotus 123 sebanyak 16 session, dan untuk mengerti logika programming, diberikan 4 session. Tingkat II diberikan BASIC dan dBase sebanyak 42 session. Tingkat III diberikan PASCAL dan COBOL masing-masing 18 session. Dimaksudkan agar peserta kursus lebih meningkatkan teknik programming untuk aplikasi yang bersifat bisnis dan keilmuan tingkat IV dilanjutkan lagi dengan Wordstar dan Lotus 123. Sedangkan untuk tingkat V, diberikan sistem analisa dan sistem desain, menulis makalah dan presentasi sebanyak 36 session. Dengan "kurikulum" seperti ini, tak jelas apa yang mau dihasilkan -- kecuali biaya mengikuti pendidikan menjadi mahal sekitar Rp3 juta. Apakah tenaga "ahli komputer" atau sekadar tenaga "operator komputer". Kalau mendidik "ahli", selain materinya tidak cukup, porsi itu adalah milik sekolah tinggi (atau minimal setingkat akademi komputer. Yang dijaring pun adalah lulusan SMTA, dan lembaga pendidikan komputer semacam itu mendapatkan izin dari Direktorat Pendidikan Tinggi. Sedangkan jika pada tingkat "operator", kursus itu terlalu berpanjang-panjang -- dan akhirnya memang mahal. Izin LPKIA memang setingkat kursus. Tapi LPKIA tidak sendirian. Lembaga pendidikan semacam ini menjamur di berbagai kota. Satu hal memang diakui, tenaga operator yang dihasilkannya dibutuhkan sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan pemakaian mesin pintar ini. Kini di banyak perusahaan ada persyaratan "menguasai komputer" bagi calon karyawannya. Itulah yang membuat seorang Syafitri Sembiring, lulusan SMA I Medan, ditolak ketika melamar di berbagai perusahaan swasta. "Saya ditanya menguasai komputer atau tidak," kata Syafitri. Ia akhirnya mengikuti kursus komputer di Lembaga Bisnis Manajemen Komputer (LBMK) Medan. LBMK berdiri setelah membayar royalti Rp25 juta kepada Jusuf Randy, selaku ketua yayasan LBMK Jakarta. Menurut Ali Jahuari, Direktur LMBK Medan, pembayaran royalti itu dimaksudkan agar di Medan tidak ada lagi kursus komputer yang memakai nama LBMK. "Setelah royalti saya bayar kontan, tak ada hak Jusuf Randy dalam hal pengelolaan LBMK Medan," kata Ali. Artinya, LBMK Medan otonomi penuh. "Kurikulum" LBMK Medan ini pun mirip dengan LPKIA. Diperkenalkan 4 jurusan, yakni jurusan Package Software, Programmer, Advanced Programmer, dan System Analyst. Lama pendidikan tiap jurusan 3 bulan. Bedanya dengan LPKIA, paket program seperti Wordstar, Lotus, dBase, dan sebagainya berkumpul di urusan pertama itu. Peserta kursus sebagian adalah karyawan swasta yang dikirim dan dibiayai oleh perusahaan tempatnya bekerja dan sebagian yang lain lulusan SMTA yang jadi "korban Sipenmaru" Kebanyakan lulusan SMTA ini karena mengisi waktu luang, bukan suatu keinginan untuk menjadi ahli komputer, misalnya. "Mereka biasanya belajar agak santai," kata Ali terus terang. Biaya kursus satu jurusan -- lama belajar tiga bulan dan masuk 3 kali seminggu -- sebesar Rp300.000. Pusat Pendidikan Komputer Widyaloka (PPKW) di Jakarta juga banyak menampung peserta yang sudah karyawan. Lembaga pendidikan ini tergolong besar pula. Sejak berdiri tahun 1983, kini sudah mempunyai 16 cabang, dan siap membuka 9 cabang baru. Menurut Murtiningsih, juru bicara PPKW, pihaknya dipercaya memberikan pendidikan komputer pada Bank BNI. Yang membedakan dengan LPIA atau LBMK, PPKW memisahkan program pendidikan "ahli komputer" dan "operator komputer". Jadi, ada kursus program dan ada pendidikan komputer lanjutan. Bahkan ada pengenalan komputer untuk anak-anak TK dan SD. Untuk program, misalnya, PPKW pasang harga Rp180 ribu untuk 2 bulan kursus dengan jadwal dua kali seminggu. Masih di Jakarta, ada Pendidikan Komputer Santa Lusia (PKSL) di Jalan Dewi Sartika yang memiliki 200 unit komputer dan jumlah siswa 4.000 orang. Selain kursus biasa, PKSL menyelenggarakan bimbingan komputer di sekolah-sekolah. PKSL pun membuka Bursa Kerja. "Beberapa perusahaan yang butuh tenaga komputer langsung menelepon saya," kata Nyonya Lusia Soetanto, Pembimbing Utama Yayasan Pendidikan Santa Lusia, kepada TEMPO. Selain yang sudah disebut, kursus komputer yang bertebaran -- diduga banyak yang belum mendapat izin dari P dan K sebenarnya cukup murah karena mereka jelas berada di jalur yang mendidik tenaga operator. Yayasan Ben Wazis, yang punya kursus komputer di Ciputat dan Ciledug, misalnya, cukup menarik bayaran Rp30 ribu sebulan untuk semua jenis program dengan jadwal masuk 2 kali seminggu. Begitu pula Surya Komputer, tempat kursus komputer di Deli Plaza, Medan, bahkan hanya menarik bayaran Rp15 ribu per bulan. Lalu, bagaimana wajah lembaga pendidikan komputer yang dipersiapkan untuk mencetak "ahli komputer" itu? Tak banyak. Di Yogyakarta ada dua buah, yakni Akakom dan AMIK, yang uniknya dua-duanya kepanjangannya sama -- Akademi Manajemen Informatika dan Komputer. Berdiri 1979, Akakom dengan status terdaftar ini sudah menghasilkan 25 lulusan D3 ujian negara dan 200 D3 lokal. Mahasiswanya sekarang lebih dari 600 orang dan ditampung di 3 jurusan: Manajemen Informatika, Teknik Informatika, dan Teknik Komputer. Yang diajarkan di sini tak cuma teknik operator, juga berbagai teori mengenai komputer. Menurut Pembantu Direktur III Akakom, Ir. Zuldi, akademi ini punya komputer berbagai jenis. "Sebab, setiap komputer memiliki spesifikasi tersendiri," kata Zuhdi. Karena ini bukan kursus komputer, maka kuliah berlangsung setiap hari dan mahasiswa mendapat pelajaran lain, Pancasila, misalnya. Sistem pendidikan menggunakan SKS (satuan kredit semester) dalam 6 semester. Di ITB pun ada jurusan teknik informatika yang bernaung di Fakultas Teknologi Industri, yang menawarkan pendidikan ahli komputer setingkat sarjana (S1). "Kami jauh beda dengan lembaga pendidikan komputer yang sekarang menjamur itu. Mereka hanya mengajarkan bagaimana mengoperasikan komputer," kata Dr. Oerip Setiono Santoso Ketua Sistem Manajemen Informasi di jurusan itu. Diakuinya, kurikulum di jurusan ini tidak disusun atas kebutuhan pasar, namun semua lulusannya tak ada yang menganggur. Yang ditekankan di sini, lulusannya berperan sebagai "produsen" dan tidak hanya "pemakai". "Setiap tahun kami meninjau ulang kurikulum itu. Yang diutamakan adalah keluasan dan kedalamannya, tidak semata-mata kebutuhan pasar saja," kata Oerip. Oerip terus terang tidak dapat mengatakan apakah para lulusan kursus-kursus komputcr bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. "Mungkin mereka mendirikan kursus itu karena melihat kian banyaknya perusahaan atau instansi yang membutuhkan tenaga operator komputer," katanya. Ada contoh menarik yang juga ditawarkan ITB, bagaimana sebenarnya menyelenggarakan kursus komputer untuk memenuhi pasar saat ini. ITB mendirikan PIKSI (Pusat Ilmu Komputer dan Sistem Informasi) pada 1984 untuk kursus singkat: cuma seminggu untuk tiga paket program. Menurut Ir. Sasongko, Ketua Bidang Pendidikan PIKSI, setiap orang bebas memilih paket yang dikehendaki. Tampaknya, kursus versi PIKSI yang justru banyak dicontoh kursus-kursus komputer yang kecil itulah yang praktis dan murah. Lagi pula, buku-buku komputer yang juga berjubel sudah cukup membantu asal peminat bisa mempraktekkan lebih leluasa, punya komputer sendiri, misalnya. Masalahnya, kata Syafitri Sembiring, banyak perusahaan yang mensyaratkan calon karyawannya menguasai komputer, dan itu dibuktikan dengan sertifikat. Jadi, memang kursus itu jadi bisnis bagus.Agus Basri, Riza Sofyat, Sarluhut Napitupulu, dan I made Suarjana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini