BEKAS kepala Pusat Vaterinaria Farma (Pusvetma) Surabaya, Soetrisno, bersama empat bawahannya, Sulystianto, Sumpena Natadjumena, Achmad Sadik, dan Djoko Sugiarto, diputuskan Pengadilan Negeri Surabaya terbukti korupsi. Kelima dokter hewan itu, menurut majelis, telah mengkorup anggaran negara sebesar Rp 500 juta dalam pembelian bahan baku untuk vaksin. Menurut majelis hakim, yang diketuai Yahya Wijaya, kelima ahli yang bekerja untuk membuat vaksin - obat ternak - itu, di persidangan terbukti telah memanipulasikan anggaran 1980 sampai 1982 yang dipercayakan pada lembaga yang mereka pimpin. Dari anggaran sebesar Rp 700 juta untuk membeli bahan baku vaksin berupa telur ayam, kambing, kelinci, dan tikus putih, yang sungguh-sungguh dibelanjakan hanya sekitar Rp 200 juta. Sisanya, menurut Majelis, Selasa dua pekan lalu, dipakai oleh kelima dokter hewan itu untuk kepentingan pribadi dan yayasan karyawan. Cara yang dilakukan para ahli vaksin itu untuk korupsi, seperti terbukti di sidang terbilang kuno. Pusvetma, lembaga yang dibuat pemerintah sejak 1959, memenuhi bahan bakunya dari dua perusahaan yang dibuat para terhukum sendiri, yaitu CV Biovet dan CV Madura Raya. Dengan cara seperti ini, Pusvetma melebih-lebihkan jumlah bahan baku yang dibelinya. Hasilnya, seperti diakui kelima terhukum, Pusvetma berhasil mengumpulkan dana taktis sebesar Rp 400 juta yang sebagian disetorkan kembali ke CV Biovet dan sebagian lagi ke CV Madura Raya. Berdasarkan semua itu, Hakim menghukum kelima dokter hewar. itu 1 sampai 2 tahun penjara. Tapi keputusan itu dirasakan para terhukum sangat pahit. Ahli vaksin yang kini bekerja di perusahaan swasta di Bogor itu menilai, keputusan Hakim hanya berdasarkan pertimbangan yuridis semata-mata. "Hakim tidak mau tahu misi moral yang saya bawakan, dan menutup mata terhadap keruwetan struktur lembaga di instansi saya," ujar Soetrisno, 57, yang menjabat kepala Pusvetma 1975- 1982. Menurut Soetrisno, kerumitan keuangan di kantornya itu bermula dari diberlakukannya sistem DIP (Daftar Isian Proyek) untuk setiap anggaran negara sejak 1979. Untuk lembaganya, kata Soetrisno, sistem itu tidak mungkin diterapkan. Sebab, menurut DIP, semua pembelian bahan sampai ke produksi dan penyebaran vaksin ke peternak harus selesai dalam waktu satu tahun. "Itu tidak mungkin. Jika diterapkan juga, produksi vaksin pasti terlambat. Padahal, vaksin harus sampai di peternak tepat pada waktunya," kata Soetrisno, yang terkena hukuman 2 tahun penjara. Sebab itu, ceritanya, ia meminta dispensasi ke Ditjen Peternakan. Atasannya, kata Soetrisno, mengantarnya ke Ditjen Anggaran Departemen Keuangan di Jakarta. Tapi permohonannya ditolak. Petunjuk yang dimintanya pada Departemen Pertanian pun tidak turun-turun. "Saya seperti menghadapi buah simalakama," ujar Soetrisno dengan mata berkaca-kaca. Soetrisno akhirnya mengambil putusan untuk berjalan sendiri: mengesampingkan prosedur DIP. Ia mengaku, untuk itu terpaksa menaikkan harga bahan baku dari yang semestinya. Selain itu, ia mengaku pula bahwa kedua rekanan Pusvetma - CV Biovet dan CV Madura Raya - adalah milik yayasari karyawan sendiri. Keuntungan akibat "permainan" itu, menurut Soetrisno, digunakannya untuk meningkatkan premi bagi karyawannya. "Para teknisi itu senantiasa berurusan dengan virus, sehingga perlu tunjangan yang memadai," tambah Soetrisno, alumnus UI 1957 itu. Tapi, akibatnya, kata Soetrisno, 23 September 1982 ia dipecat. "Saya tidak mengerti. Sebelum perkara diperiksa, saya sudah dipecat," ujarnya. Di Pengadilan pun akhirnya ia dinyatakan bersalah melakukan korupsi. "Apalagi yang mau dipersoalkan. Semuanya sudah terbukti di persidangan," jawab Hakim Yahya Wijaya kepada TEMPO. Menurut Hakim, perbuatan Soetrisno dan keempat bawahannya itu seperti menghalalkan semua cara. Misalnya, menurut Yahya, Pusvetma disebutkan membeli tikus putih dari kedua "rekanan"-nya itu. "Padahal, tikus itu milik Pusvetma sendiri. Apalagi, ternyata, tikus itu sudah dinyatakan afkir. Apa itu bukan menghalalkan semua cara?" tanya Yahya. Tim penasihat hukum, yang diketuai Sujono Hadiatmojo, menilai bahwa putusan Hakim benar dari segi hukum. Tapi satu unsur, katanya, yang tidak dipertimbangkan Hakim secara mendalam adalah surat Irjen Departemen Pertanian kepada Jaksa Agung, 21 Mei 1983, yang menyatakan bahwa negara tidak dirugikan dalam kasus itu. "Surat itu memang bukan hukum, tapi inti soalnya ada di sana. Persoalannya, negara dirugikan atau tidak?" ujar Sujono. Hakim Yahya membantah bahwa ia tidak mempertimbangkan surat itu. "Surat itu hanya sekadar meringankan. Yang jelas, dengan surat itu tidak berarti bahwa sifat-sifat pidana perbuatan para terhukum bisa hilang begitu saja," ujar Yahya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini