Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bila Jaksa Mengaku Alpa

Kasus suap tiga hakim agung tak kunjung ke pengadilan. Malah pelapor kasus itu yang diadili karena dianggap memfitnah.

6 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


PREDIKAT hakim agung tampaknya benar-benar istimewa. Mereka bukan hanya menjadi hakim terhormat di lembaga peradilan tertinggi, tapi juga tak mungkin disentuh hukum. Buktinya, tiga hakim agung, yakni M. Yahya Harahap—kini pensiun—Nyonya Supraptini Sutarto, dan Nyonya Marnis Kahar, yang terlibat kasus suap, tak jua bisa diadili. Ketiga hakim agung itu diduga menerima suap Rp 196 juta dari pencari keadilan di Bandung.

Padahal, sudah setahun kasus suap itu dilaporkan ke Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi (TGPK) sewaktu diketuai mantan hakim agung Adi Andojo Soetjipto. Dulu, Adi Andojo menargetkan pengusutan kasus itu akan rampuang pada September 2000. Toh, meleset. Belakangan, Krissantono, pengganti Adi, menyatakan akan memberkas kasus itu ke pengadilan pada akhir April 2001. Itu pun sudah lewat. Tapi Krissantono mengaku bisa melimpahkan berkas kasus itu ke kejaksaan, Senin pekan ini.

Mungkinkah? Menurut Krissantono, proses pengusutan kasus itu memang penuh ganjalan. Itu tak lain gara-gara resistansi dari jajaran hakim yang amat tinggi. Bahkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan lewat putusan praperadilan pernah memutuskan bahwa TGPK tak berwenang menyidik kasus korupsi tiga hakim agung tadi. Lebih hebatnya lagi, Mahkamah Agung melalui vonis judicial review (hak uji materiil) juga membatalkan Peraturan Pemerintah No. 19/2000 tentang TGPK.

Kalaupun kasus itu akhirnya ke meja hijau, Krissantono mewanti-wanti agar jangan terlalu berharap akan berujung dengan hukuman. Tak mustahil peradilannya nanti tertunda-tunda atau malah ketiganya divonis bebas. Sekalipun demikian, Kris tak begitu peduli. Yang penting, katanya, TGPK sudah bisa membuktikan bahwa hakim agung pun bisa disentuh hukum.

Sementara Kris pesimistis, kejanggalan kian bertambah lantaran pelapor kasus suap tiga hakim agung itu, yakni Endin Wahyudin, kini justru diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ketua Ikatan Penyalur Surat Kabar dan Majalah di Bandung itu dituduh mencemarkan nama baik Supraptini dan Marnis. Sebab, menurut kedua wanita hakim agung itu, jangankan menerima suap, bertemu dengan Endin pun mereka mengaku tak pernah.

Tak mustahil, kata kuasa hukum Yahya Harahap, Indra Sahnun Lubis, uang Rp 196 juta dari pencari keadilan sebagai salah satu pihak beperkara di Bandung itu justru ditilep Endin, yang kadang menyebut dirinya wartawan, pengacara, penyandang dana, ataupun ahli waris dari pihak beperkara.

Janggalnya pula, sesungguhnya Jaksa Agung Marzuki Darusman dan Ketua TGPK Adi Andojo pernah berjanji akan melindungi Endin. Berarti, Endin tak akan diadili—paling tidak perkaranya bisa dikesampingkan, sesuai dengan wewenang Jaksa Agung.

Ternyata Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta, Basrief Arief, tak mengindahkan jaminan dari Jaksa Agung kepada Endin. Perkara Endin yang dilaporkan oleh dua wanita hakim agung itu tetap diproses dan dilimpahkan ke pengadilan. "Kalau saya menjadi jaksa agung, Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta sudah saya pecat," ujar Hamid Awaludin, anggota TGPK.

Menghadapi tudingan itu, Basrief menyatakan bahwa pemrosesan perkara Endin sudah sesuai dengan prosedur. Berkas perkaranya juga sudah empat bulan ngendon di kejaksaan. Padahal, menurut aturannya, perkara harus segera dilimpahkan ke pengadilan 14 hari setelah diterima kejaksaan.

Basrief mengakui adanya jaminan dari Jaksa Agung. Kalau kini Endin akhirnya diadili, Basrief cuma berkata, "Itu hanya karena kelupaan." Kalau juga benar agumentasi Basrief, bukan main-main, sungguh ironi bila Endin sampai dihukum hanya lantaran jaksa alpa.

Yang jelas, tindakan jaksa tinggi cukup menggambarkan carut-marutnya kejaksaan. Bagaimana mungkin perintah Jaksa Agung diabaikan oleh jajaran bawahannya? Selain itu, peradilan Endin juga membuntukan aksi pemberantasan korupsi lantaran orang bisa takut melaporkan korupsi.

Karenanya, Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Undang-Undang Keringanan Hukuman bagi tersangka yang mau bercerita, seperti berlaku di Amerika, juga sudah mendesak untuk segera dilahirkan.

Dwi Wiyana, Hendriko L. Wiremmer (Jakarta), Upiek Supriyatun (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus