Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Membabat Korupsi di Negeri Jiran

6 Mei 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CARA efektif memberantas korupsi ternyata harus didahului dengan membersihkan penegak hukum. Buktinya, badan antikorupsi di Hong Kong, Independent Commission of Anti-Corruption (ICAC), mengawali gebrakannya dengan membabat polisi. Para polisi yang diduga korup lantas dipecat atau dipensiunkan. Sekadar perbandingan, pada 1998, di Meksiko bahkan jaksa agungnya dipenjara karena dianggap terbukti menghalangi pengusutan sebuah kasus korupsi kelas kakap.

Memang, pada awal pembentukannya, pada 15 Februari 1974, personel ICAC justru direkrut dari polisi dan jaksa. Tentu saja calon anggota ICAC itu diseleksi ketat. Begitu dinyatakan lulus, mereka harus benar-benar lepas dari institusi asalnya, sehingga bisa profesional dalam menjalankan tugas ICAC untuk menyikat korupsi yang sudah mengakar di Hong Kong.

Hasilnya, wajah Negeri Pulau itu pun berubah dari negara paling korup di dunia menjadi negara tebersih ke-15. Selama seperempat abad sejak berdirinya, ICAC menerima 63 ribu pengaduan, 36 ribu diinvestigasi, dan 8.600 diajukan ke meja hijau. Kedudukan ICAC dijamin oleh undang-undang yang juga menganut sistem pembuktian terbalik dalam mengusut korupsi.

Agaknya, ICAC menjadi salah satu contoh fenomenal untuk soal pemberantasan korupsi. Badan itu punya wewenang menahan, menyadap, bahkan menanamkan agennya melalui sebuah operasi intelijen. Anggotanya juga boleh menggunakan senjata.

Markas besar ICAC dilengkapi peranti ultramodern plus penjara khusus. Personelnya lebih dari 1.300 orang. Pada tahun 2000, anggaran ICAC mencapai US$ 94 juta (lebih dari Rp 1 triliun) atau setara dengan 0,3 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) Hong Kong.

Di Singapura dan Malaysia, dana untuk badan antikorupsi yang independen juga bisa mencapai 0,5 persen dari APBN-nya. Para petugas biro antikorupsi di Singapura, The Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), digaji S$ 3.000 (sekitar Rp 36 juta) sebulan. Dengan menilik dana, jumlah personel, dan gaji yang cukup besar itu, menurut Irma Hutabarat, konsultan proyek pembentukan Komisi Antikorupsi di Indonesia, komisi semacam itu di Indonesia memang seharusnya didanai APBN.

Yang pasti, kiprah CPIB juga telah berhasil membuat korupsi melorot. Sebelumnya, korupsi di Negeri Singa itu amat berkarat. Mungkin itu lantaran kasus korupsi cuma ditangani oleh sebuah unit kecil di kepolisian. Sejak tahun 1952, setelah CPIB berdiri, keadaan pun berubah.

CPIB diberi wewenang menyidik korupsi di sektor publik dan privat. Mereka juga bisa menangkap dan menahan tersangka. Kepala biro ini langsung bertanggung jawab kepada perdana menteri. Seperti juga ICAC, CPIB pun merupakan turunan dari undang-undang pencegahan korupsi, Prevention of Corruption Act (Bab 241).

Di Malaysia, komisi antikorupsi bernama Badan Pencegah Rasuah (BPR), yang didirikan pada 1967. BPR punya kantor cabang di 14 negara bagian. Kelahiran BPR juga berdasarkan pengalaman buruk pembasmian korupsi oleh satuan penanggulangan kriminalitas di kepolisian. Begitu pula ketika tugas pemberantasan korupsi ditangani oleh sebuah badan kecil di bawah perdana menteri. Kini lembaga pemberantasan korupsi telah ditangani BPR, yang juga diperkukuh dengan undang-undang antikorupsi (Cegah Rasuah) tahun 1997.

Satu hal penting yang juga perlu ditilik dari perkembangan pembabatan korupsi di negara-negara di atas, yakni pemberantasan korupsi bukan sekadar soal hukum, baik menyangkut undang-undang maupun lembaga penyidiknya. Namun, yang lebih utama adalah soal kesungguhan politik. Kelahiran CPIB di Singapura dibidani sendiri oleh Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Begitu partainya, People's Action Party, berkuasa pada 1959, Lee langsung menyatakan perang terhadap korupsi. Pendirian ICAC juga langsung diperintahkan oleh Gubernur Jenderal Hong Kong.

Dengan adanya ICAC, polisi tak berwenang lagi mengusut kasus korupsi. Sementara itu, di Malaysia dan Singapura, kendati undang-undang masih memungkinkan polisi menangani korupsi, pada prakteknya polisi selalu melimpahkan kasus korupsi ke BPR dan CPIB.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus