Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKSA Agustinus Mangontan histeris. "Saya bunuh Danu..., saya bunuh dia!" teriaknya. Jaksa ini pun menumpahkan air matanya di hadapan atasannya, Dimas Sukadis, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat. "Saya menuruti dia karena utang budi. Tapi saya tidak makan suap, Pak," kata Mangontan.
Kepada atasannya, Juni lalu, Mangontan terus meluncurkan pengakuan. Awalnya ia "dikontak" Danu Ariyanto Sebayang, jaksa di Kejaksaan Tinggi Jakarta. Danu menelepon beberapa jam sebelum ia membacakan tuntutan terhadap Hariono. Danu meminta ia menuntut Hariono, terdakwa kasus sabu-sabu, tiga tahun penjara.
Ini berbeda dengan tuntutan yang dibuatnya. Tuntutan untuk Hariono ditetapkan enam tahun penjara, sesuai dengan rencana tuntutan yang diajukan ke Dimas. Alasannya, di sidang terbukti Hariono hanya sebagai kurir, bukan pemilik 20 kilogram sabu-sabu dan uang Rp 1,05 miliar seperti yang ditemukan polisi.
"Nggak usah digubris," jaksa Jeffry Huwae, rekan Mangontan, memperingatkan. Namun Danu menelepon lagi. Begitu mendengar Mangontan berkukuh, Danu memaki-maki lewat telepon. "Aku belum terima rentut (rencana tuntutan) dari jaksa tinggi," Mangontan berkilah. Danu menjawab cepat, "Tidak usah dipikir, jaksa tinggi urusanku."
Menurut sumber Tempo, seorang pejabat di Kejaksaan Agung yang menceritakan kisah ini, Mangontan pun menyerah. Pada 12 Desember lalu itu ia pun membacakan tuntutan tiga tahun penjara untuk Hariono. "Selain hanya kurir, terdakwa juga sudah tua," kata Mangontan, "menambah" pertimbangan tuntutannya. Hari itu vonis untuk Hariono pun diputus. Pria 51 tahun ini dihukum tiga tahun, pas dengan tuntutan jaksa.
Ketika Tempo menghubungi Danu untuk meminta konfirmasi pengakuan Mangontan, Danu menolak menjawab. "Saya tak mau berbicara soal ini," katanya. Mangontan juga tak bisa ditemui di rumah kontrakannya di Jakarta Barat maupun di Gedung Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan, tempatnya kini berkantor. Adapun Dimas Sukadis memilih tutup mulut. "Maaf, saya juga terperiksa. Tidak ada komentar," katanya.
Pada Maret lalu, Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Achmad Lopa menyimpulkan, "kendali" tuntutan berada di Danu Sebayang. Danu sendiri sebenarnya bukan jaksa kasus Hariono. Ia bisa "memantau" perkara tersebut atas informasi Ferry Panjaitan, jaksa penuntut awal kasus Hariono yang juga jaksa di Kejaksaan Tinggi Jakarta. Saat kasus Hariono masih berjalan, Ferry dipindah ke Kejaksaan Negeri Ciamis, Jawa Barat. Posisinya digantikan Jeffry.
Pada April lalu keempat jaksa ini-Danu, Jeffry, Mangontan, Ferry-dibawa ke Majelis Kehormatan Jaksa. Di sana terungkap bahwa Mangontan adalah kawan lama Danu. Berkat bantuannya, Mangontan bisa pindah dari Jambi ke Jakarta. Namun Danu tak mau buka mulut soal hubungan tersebut. Juga kasus Hariono itu. "Abang tak mau berkomentar," katanya kepada Maria Hasugian dari Tempo, pekan lalu.
Sanksi terhadap empat jaksa ini sudah jatuh. Danu dan Ferry dipecat sebagai jaksa, sedangkan Mangontan dan Jeffry dibebastugaskan sebagai jaksa. Menurut seorang mantan jaksa tinggi kepada Tempo, sebelum vonis dijatuhkan pada Juli lalu, Danu mendatangi dirinya, meminta bantuan agar tak dipecat. "Jadi pegawai tata usaha pun tak apa," kata Danu. Saat jaksa senior itu bertanya kenapa ia melakukan perbuatan tercela, Danu menjawab, "Saya ada butuh, Pak." Mendengar itu, pensiunan jaksa ini tak sudi menolong Danu.
Hariono alias Seng Hwat ditangkap bersama Ricky Chandra pada 10 Mei 2005. Awalnya, polisi menggerebek Ricky, 41 tahun, di rumah kontrakannya di Kompleks Green Garden, Jakarta Barat. Di sini polisi menemukan 30 kilogram sabu kristal, 4 kilogram sabu cair, dan 70 ribu pil ekstasi dengan nilai sekitar Rp 20, 6 miliar. Di rumah itu, polisi juga menemukan mobil mewah, antara lain BMW, Jaguar, Toyota Harrier, dan sedan Audi. Dari Ricky alias Akwang polisi menciduk Hariono. Ia ditangkap di rumahnya di kawasan Kembangan, Jakarta Barat. Di sana polisi menemukan 20 kilogram sabu-sabu, 70 ribu pil ekstasi, plus uang tunai Rp 1,050 miliar.
Pada November 2005 kasus ini dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Sidang Hariono berjalan "ngebut." Hanya dalam tempo dua bulan selesai. Ringannya hukuman untuk Hariono "nyaris tak terdengar" andai tak terjadi keributan saat hakim Frans Liemena mengganjar Ricky penjara seumur hidup pada Februari lalu. Putusan ini "beda tipis" dengan tuntutan jaksa Jeffry Huwae yang menuntut hukuman mati. "Lho, kalau klien saya seumur hidup, mestinya penjualnya dihukum mati," teriak Ferry Juan, pengacara Ricky, seusai sidang. Sang penjual yang dimaksud adalah Hariono. Dan skandal vonis ringan ini pun terkuak.
PERKARA ini juga menabrak dan menyeret Kepala Kejaksaan Tinggi Jakarta Rusdi Taher, Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Jakarta Nur Rochmad, dan Dimas Sukadis. Rusdi diperiksa karena di depan Majelis Kehormatan, Danu "bernyanyi" ada dua tuntutan jaksa dalam kasus perkara Hariono. Kecurigaan keterlibatan Rusdi juga muncul karena pengakuan Rusdi, Nur Rochmad, dan Dimas Sukadis, terhadap munculnya tuntutan ringan itu berbeda.
Menurut Jaksa Agung, dari pemeriksaan ditemukan dua rencana tuntutan dalam kasus Hariono, yakni 6 dan 15 tahun penjara. Tuntutan terakhir ternyata disusulkan setelah kejadian. Motifnya sederhana, menambal "kebocoran" prosedur. "Ini tetap salah karena perkara itu tidak dilaporkan ke Jaksa Agung sejak awal," kata Abdul Rahman.
Tiga pekan lalu, "vonis" untuk Rusdi pun jatuh. Ia dinyatakan melakukan perbuatan tercela, lalai dalam pengendalian perkara penting, dan tidak profesional. Ia dicopot dari jabatannya sebagai kepala kejaksaan tinggi. "Yang bersangkutan diberhentikan dari jabatan struktural," kata Togar Hutabarat, pelaksana tugas Jaksa Agung Muda Pengawasan. Adapun Nur Rochmad dan Dimas terkena sanksi penundaan kenaikan pangkat dan gaji berkala selama setahun.
Rusdi menolak hukuman itu. "Saya tidak terlibat dalam tuntutan tiga tahun Hariono," katanya. "Saya diperlakukan tidak adil." Menurut mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Bengkulu ini, justru seharusnya atasannya di Kejaksaan Agung yang diperiksa karena kerap mengintervensi dirinya. Tanpa tedeng aling-aling ia pun menyebut nama Hendarman Supanji, Jaksa Agung Pidana Khusus yang juga koordinator Tim Pemberantas Tindak Pidana Korupsi.
Hendarman, menurut Rusdi, pernah meminta agar tuntutan hukuman terhadap Ketua Komisi Pemilihan Umum Jakarta, M Taufik, diturunkan dari 5 menjadi 1 tahun penjara. Selain itu, Hendarman juga menarik "kasus Kemayoran" dari dirinya setelah ia memanggil pengusaha Hartati Murdaya. "Saya tanya alasan Jaksa Agung Pidana Khusus. Tapi tidak perlu saya beberkan karena pasti membuat instabilitas politik," katanya saat menggelar konferensi pers pada Senin pekan lalu. Terhadap hukumannya, Rusdi menyatakan lebih baik ia pensiun sebagai jaksa. "Saya loyal pada atasan. Tapi, kalau tidak diperlukan, buat apa saya di sini?" katanya.
Jaksa Agung membantah pernyataan Rusdi yang menyebut Hendarman kerap mengintervensi Rusdi. Menurut Abdul Rahman, sebagai koordinator Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Hendarman berhak mengambil kasus seperti kasus Kemayoran. "Itu wewenang Tim Pemberantas Tindak Pidana Korupsi," ujar Abdul Rahman.
Tapi, seperti pemeriksaan Danu dan kawan-kawan, "taring" tim pemeriksa Rusdi, Nur Rochmad, dan Dimas juga tumpul. Tim pemeriksa tidak menemukan indikasi suap, sesuatu yang selama ini dicurigai penyebab nekatnya para jaksa meluncurkan hukuman ringan itu. "Hanya pelanggaran disiplin pegawai negeri sipil yang bisa ditemukan," ujar Togar. Jadi, para jaksa masih beruntung. Urusan hukuman ringan ini tak mengirim mereka ke meja hijau, apalagi penjara. Inilah ribut-ribut setengah hati.
Arif A. Kuswardono, Ramidi, Agoeng Wijaya
Satu Kasus, Berganda Tuntutan
Teka-teki tuntutan yang beragam dalam kasus Hariono telah terungkap sebagian. Inilah beberapa versi yang ditemukan Tempo.
Versi Rusdi Taher
- Kesaksian Rusdi berubah-ubah. Semula mengaku hanya menandatangani satu rencana tuntutan (rentut): 15 tahun.
- Belakangan ia mengaku memaraf lagi rencana tuntutan lain, 6 tahun.
Kesaksian Pertama(Dalam wawancara dengan Tempo, 10 Maret 2006, setelah vonis Hariono "meledak")
20 November 2005
- Jaksa penuntut umum Jeffry Huwae mengajukan rencana tuntutan 6 tahun.
- Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Barat Agus Winoto menambahnya menjadi 8 tahun.
- Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat Dimas Sukadis menaikkannya ke 10 tahun.
- Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Jakarta Nur Rochmad mengatrolnya lagi ke 12 tahun
5 Desember 2005
- Jaksa tinggi Rusdi meneken 15 tahun. Berkasnya diantarkan Nur Rochmad dan ditandatangani di sela Rapat Kerja Kejaksaan Agung di Puncak, Jawa Barat.
12 Desember 2005
- Jaksa pengganti A. Mangontan membacakan tuntutan 3 tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Sidang perkara diputus hari itu dan hukumannya sesuai dengan tuntutan jaksa.
- Hariono menerima.
Kesaksian Kedua (Di Kejaksaan Tinggi Jakarta 4 September 2006)
5 Desember 2005
- Rusdi meneken rencana tuntutan 6 tahun. Tapi asisten pidana umum Nur Rochmad melaporkan rencana tuntutannya salah.
- Dalam berkas rencana tuntutan belum ada pertimbangan "alasan memberatkan" Hariono sebagai pemakai dan pengedar sabu-sabu. Tuntutan diubah menjadi 15 tahun.
Versi Jaksa Agung
- Ada dua rencana tuntutan dalam perkara Hariono: 6 tahun yang "seharusnya" dibacakan pada sidang tuntutan dan 15 tahun yang disusulkan setelah tuntutan rendah pada Hariono terungkap.
- Tanggalnya dibuat mundur ke 12 Desember 2005, saat tuntutan dibacakan.
- Motif pembuatan rencana tuntutan "susulan" 15 tahun diduga untuk menutupi rendahnya tuntutan pada Hariono.
Penelusuran Tempo
- Rencana tuntutan Hariono sejatinya "macet". Jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan 6 tahun dengan pertimbangan Hariono hanyalah seorang kurir.
- Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat Dimas Sukadis menandatangani rencana tuntutan 6 tahun sesuai dengan permintaan jaksa.
- Setelah berkas itu dikirim ke kejaksaan tinggi, berkas tidak kunjung kembali hingga sidang tuntutan. Angka tuntutan "terpaksa" mengacu pada tuntutan Dimas Sukadis, 6 tahun.
- Setelah kasus ini meledak barulah turun rencana tuntutan dari kejaksaan tinggi dengan angka tuntutan 15 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo