Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA nama sepuluh orang terkaya Indonesia sudah ketahuan, paling tidak menurut versi sebuah majalah asing, siapa gerangan yang sudi mencari sepuluh orang termiskin di negeri ini? Yang jelas, menurut Badan Pusat Statistik, selama periode Februari 2005-Maret 2006 jumlah orang miskin bertambah 3,95 juta. Dengan tambahan itu, kini ada 39,1 juta kepala (17,7 persen) yang ongkos hidupnya tak lebih dari Rp 5.000 sehari.
Angka ini tak terlalu aneh, sebab sudah banyak yang memperkirakannya ketika harga bahan bakar minyak naik 125 persen pada Maret dan Oktober tahun lalu. Yang merisaukan, tambahan ini membalikkan grafik orang miskin yang terus turun sejak krisis 1998, dari 24,2 persen menjadi tinggal 16 persen tahun lalu.
Rilis BPS awal bulan ini seolah meneguhkan, kenaikan harga minyak meningkatkan jumlah orang melarat. Karena itu, para ekonom yang dulu menentang kebijakan tersebut kini ramai-ramai ”menggugat”. Tapi, pemerintah tetap bisa berkelit.
Lonjakan itu tak seberapa terasa karena ada subsidi langsung tunai Rp 100 ribu per bulan untuk 19,2 juta keluarga miskin. Kalau tidak, kata Kepala BPS Rusman Heriawan, jumlah orang miskin bisa tembus 50,8 juta orang.
Tambahan orang miskin datang dari mereka yang tadinya digolongkan tidak melarat (45 persen). ”Sebab, sebagian besar mereka tak memperoleh subsidi dan beras miskin,” kata Hamonangan Ritonga, analis di BPS.
Menurut dia, duit Rp 100 ribu itu, bagi penerima subsidi, cukup menahan gempuran kenaikan 17,9 persen harga barang-barang pokok. Yang membelanjakannya dengan tertib bisa tetap, atau naik kelas menjadi tidak miskin. Bagi orang hampir miskin yang tak menerima subsidi, lonjakan harga itu langsung menggulingkan periuk nasi.
Budi Haryanto, misalnya. Pedagang mi ayam keliling di Sleman, Yogyakarta, itu kini jadi miskin. Ia cuma membawa pulang untung bersih Rp 10 ribu sehari, merosot dibanding tahun lalu—yang masih Rp 25 ribu. Pembeli berkurang. Sementara tahun lalu ia bisa menjual 70 mangkuk sehari, kini paling banter 25 mangkuk.
Duit Rp 10 ribu itu harus ia sisihkan untuk makan, bayar kontrakan, dan menambah modal. Padahal, dengan inflasi sebesar itu, Budi harus menambah belanja Rp 24 ribu per bulan per anggota keluarganya. Budi, 42 tahun, tak memperoleh subsidi karena menurut ketua RT-nya di Dusun Gorongan, ia tak miskin karena sanggup mengontrak rumah dan punya penghasilan lumayan.
Nining, 37 tahun, lain lagi. Kendati mendapat subsidi, ia tetap miskin. Bagi warga Kelurahan Kejaksaan, Cirebon, Jawa Barat, ini uang Rp 300 ribu untuk tiga bulan itu hangus sekaligus untuk membayar SPP tiga dari lima anaknya.
Penghasilan suaminya dari berjualan es cendol makin tak bertenaga menjangkau harga beras yang tembus Rp 4.500 per kilogram. ”Makan harus irit,” katanya. ”Tak jarang lauk pun cuma kerupuk.”
Lonjakan harga beras itulah, menurut Staf Ahli Menteri Perekonomian, Mohamad Ikhsan, membuat orang macam Budi dan Nining makin miskin. Sebab, pengeluaran terbesar mereka untuk makan. Duit subsidi tunai tersedot oleh inflasi beras. ”Minyak itu imbasnya sedikit,” katanya.
Sepanjang survei BPS, harga beras naik 33 persen. Ketika itu stok di gudang Bulog tinggal 600 ribu ton, dari batas aman 1,1 juta ton. Harga beras pelan-pelan naik sejak Juli tahun lalu hingga mencapai puncaknya pada Januari. Itu periode pertama kisruh elite negeri ini tentang perlu-tidaknya mengimpor beras.
Menurut laporan Bank Dunia yang dirilis Rabu pekan lalu, setiap kenaikan harga beras 10 persen menambah dua juta orang miskin. Kesimpulan lembaga ini jelas: inflasi minyak tak berpengaruh signifikan terhadap orang miskin.
Lembaga Penelitian Social Monitoring & Early Response Unit (SMERU), yang mengkaji efektivitas subsidi tunai tahap pertama dan dua di lima kabupaten, Januari lalu, menyimpulkan, meski bocor di sana-sini, duit subsidi bisa menahan inflasi minyak. Pengaruhnya tetap ada, karena orang miskin memakai minyak tanah yang harganya naik 185 persen.
Sebagian orang miskin yang naik kelas tertolong oleh pembagian beras 10 kilogram per keluarga. Tapi, penyaluran per tiga bulan membuat daya tahan subsidi itu tetap saja rapuh. Orang miskin tak terbiasa menabung. Lagi pula, mau ditabung apanya?
Siklus keuangan mereka sebatas harian, paling-paling mingguan. Sehingga bagi Muhsin, buruh sapu honorer di kantor Pemerintah Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, duit itu tak pernah mampir lebih dari sepekan di sakunya. ”Tak jadi apa-apa,” katanya. Bagi Muhsin, yang punya lima anak, atau Nining, yang tak bekerja, Rp 300 ribu bisa berarti ”subsidi langsung tandas”.
Ikhsan mengakui duit itu memang hanya ”aspirin” selama inflasi minyak masih terasa hingga akhir tahun ini. Subsidi tunai bakal diganti dengan subsidi bersyarat, mulai tahun depan. Program ini akan mencantol pada proyek-proyek padat karya di pedesaan, yang sudah dikembangkan lewat Program Pengembangan Kecamatan, selain meneruskan bantuan operasional sekolah dan kesehatan.
Yang ingin mendapat subsidi itu harus memenuhi syarat, misalnya memeriksakan anaknya ke Posyandu secara rutin, atau jumlah kehadiran anaknya di sekolah lebih dari 85 persen. Uji coba pertama akan dilaksanakan di Jawa Barat, Jawa Timur, Gorontalo, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan DKI Jakarta bagi 1,7 juta keluarga miskin dengan biaya Rp 1,4 triliun.
Program ini mirip yang sudah lama dikembangkan pemerintah Meksiko, yaitu Oportunidades, yang kini diadopsi negara-negara Amerika Latin. Di Indonesia, pilihannya tetap sulit. Apalagi, satu persen pertumbuhan kini hanya menyerap 40 ribu tenaga kerja.
Bagja Hidayat, Ivansyah (Cirebon), Syaiful Amin (Sleman), dan Supriyantho Kafhid (Mataram)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo