Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengolah Bantuan Langsung Tandas

Pemerintah gagal mencegah pertambahan orang miskin. Bukan cuma karena inflasi minyak.

11 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA nama sepuluh orang terkaya Indonesia sudah ketahuan, paling tidak menurut versi sebuah majalah asing, siapa gerangan yang sudi mencari sepuluh orang termiskin di negeri ini? Yang jelas, menurut Badan Pusat Statistik, selama periode Februari 2005-Maret 2006 jumlah orang miskin bertambah 3,95 juta. Dengan tambahan itu, kini ada 39,1 juta kepala (17,7 persen) yang ongkos hidupnya tak lebih dari Rp 5.000 sehari.

Angka ini tak terlalu aneh, sebab sudah banyak yang memperkirakannya ketika harga bahan bakar minyak naik 125 persen pada Maret dan Oktober tahun lalu. Yang merisaukan, tambahan ini membalikkan grafik orang miskin yang terus turun sejak krisis 1998, dari 24,2 persen menjadi tinggal 16 persen tahun lalu.

Rilis BPS awal bulan ini seolah me­neguhkan, kenaikan harga minyak me­ningkatkan jumlah orang mela­rat. Ka­rena itu, para ekonom yang dulu menen­tang kebijakan tersebut kini ramai-ramai ”menggugat”. Tapi, pemerintah tetap bisa berkelit.

Lonjakan itu tak seberapa terasa ka­rena ada subsidi langsung tunai Rp 100 ribu per bulan untuk 19,2 juta keluar­ga miskin. Kalau tidak, kata Kepala BPS Rusman Heriawan, jumlah orang mis­kin bisa tembus 50,8 juta orang.

Tambahan orang miskin datang dari mereka yang tadinya digolongkan tidak melarat (45 persen). ”Sebab, sebagian besar mereka tak memperoleh subsidi dan beras miskin,” kata Hamonangan Ritonga, analis di BPS.

Menurut dia, duit Rp 100 ribu itu, bagi penerima subsidi, cukup menahan gempuran kenaikan 17,9 persen harga barang-barang pokok. Yang membelanja­kannya dengan tertib bisa tetap, atau naik kelas menjadi tidak miskin. Bagi orang hampir miskin yang tak menerima subsidi, lonjakan harga itu langsung menggulingkan periuk nasi.

Budi Haryanto, misalnya. Pedagang mi ayam keliling di Sleman, Yogyakarta, itu kini jadi miskin. Ia cuma membawa pulang untung bersih Rp 10 ribu sehari, merosot dibanding tahun lalu—yang masih Rp 25 ribu. Pembeli berkurang. Sementara tahun lalu ia bisa menjual 70 mangkuk sehari, kini paling banter 25 mangkuk.

Duit Rp 10 ribu itu harus ia sisihkan untuk makan, bayar kontrakan, dan ­menambah modal. Padahal, dengan in­fla­si sebesar itu, Budi harus menambah belanja Rp 24 ribu per bulan per anggo­ta keluarganya. Budi, 42 tahun, tak memperoleh subsidi karena menurut ­ke­­tua RT-nya di Dusun Gorongan, ia tak ­mis­kin karena sanggup me­ngontrak ­ru­mah dan punya penghasilan ­lumayan.

Nining, 37 tahun, lain lagi. Kendati men­dapat subsidi, ia tetap miskin. Bagi warga Kelurahan Kejaksaan, Cirebon, Jawa Barat, ini uang Rp 300 ribu untuk tiga bulan itu hangus sekaligus untuk membayar SPP tiga dari lima anaknya.

Penghasilan suaminya dari berjual­an es cendol makin tak bertenaga menjangkau harga beras yang tembus Rp 4.500 per kilogram. ”Makan harus irit,” kata­nya. ”Tak jarang lauk pun cuma ke­rupuk.”

Lonjakan harga beras itulah, menurut Staf Ahli Menteri Perekonomian, Mohamad Ikhsan, membuat orang macam Budi dan Nining makin miskin. Sebab, pengeluaran terbesar mereka untuk makan. Duit subsidi tunai tersedot oleh inflasi beras. ”Minyak itu imbasnya sedikit,” katanya.

Sepanjang survei BPS, harga be­­ras naik 33 persen. Ketika itu stok di ­gudang Bu­log tinggal 600 ribu ton, dari ba­tas aman 1,1 juta ton. Harga beras pelan-pe­­lan naik sejak Juli tahun lalu hingga men­­c­apai puncaknya pada Ja­nuari. Itu pe­­­riode pertama kisruh elite ne­geri ini ten­­­­tang per­lu-ti­dak­nya meng­im­por ­be­ras.

Menurut laporan Bank Dunia yang dirilis Rabu pekan lalu, setiap kenai­kan harga beras 10 persen menambah dua juta orang miskin. Kesimpulan lembaga ini jelas: inflasi minyak tak berpe­ngaruh signifikan terhadap orang miskin.

Lembaga Penelitian Social Monito­ring & Early Response Unit (SMERU), yang mengkaji efektivitas subsidi tunai tahap pertama dan dua di lima kabupaten, Januari lalu, menyimpulkan, meski bocor di sana-sini, duit subsidi bisa menahan inflasi minyak. Pengaruhnya tetap ada, karena orang miskin memakai minyak tanah yang harganya naik 185 persen.

Sebagian orang miskin yang naik kelas tertolong oleh pembagian beras 10 kilogram per keluarga. Tapi, penyaluran per tiga bulan membuat daya tahan subsidi itu tetap saja rapuh. Orang miskin tak terbiasa menabung. Lagi pula, mau ditabung apanya?

Siklus keuangan mereka sebatas hari­an, paling-paling mingguan. Se­hingga bagi Muhsin, buruh sapu honorer di kan­tor Pemerintah Kota Mataram, Nusa Teng­gara Barat, duit itu tak pernah mam­pir lebih dari sepekan di sakunya. ”Tak jadi apa-apa,” katanya. Bagi Muhsin, yang punya lima anak, atau Nining, yang tak bekerja, Rp 300 ribu bisa ber­arti ”subsidi langsung tandas”.

Ikhsan mengakui duit itu memang hanya ”aspirin” selama inflasi mi­nyak masih terasa hingga akhir tahun ini. Subsidi tunai bakal diganti dengan subsidi bersyarat, mulai tahun depan. Prog­ram ini akan mencantol pada proyek-proyek padat karya di pedesaan, yang sudah dikembangkan lewat Program Pengembangan Kecamatan, selain me­neruskan bantuan operasional sekolah dan kesehatan.

Yang ingin mendapat subsidi itu harus memenuhi syarat, misalnya meme­riksakan anaknya ke Posyandu secara rutin, atau jumlah kehadiran anaknya di sekolah lebih dari 85 persen. Uji coba pertama akan dilaksanakan di Jawa Barat, Jawa Timur, Gorontalo, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, dan DKI Jakarta bagi 1,7 juta keluarga miskin dengan biaya Rp 1,4 triliun.

Program ini mirip yang sudah lama dikembangkan pemerintah Meksiko, ­ya­itu Oportunidades, yang kini di­adop­si negara-negara Amerika Latin. ­Di Indo­nesia, pilihannya tetap sulit. Apa­lagi, satu persen pertumbuhan kini ha­nya menyerap 40 ribu tenaga kerja.

Bagja Hidayat, Ivansyah (Cirebon), Syaiful Amin (Sleman), dan Supriyantho Kafhid (Mataram)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus