Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Hukum, Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej, menyoroti pemberlakuan hukuman penjara bagi pengguna narkoba di Indonesia. Menurut Eddy, ancaman bui terhadap pemakai obat terlarang merupakan hal yang menyedihkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Eddy menyatakan mayoritas penghuni lembaga pemasyarakatan di tanah air merupakan terpidana kasus narkotika. “Kita tahu persis, 52 persen penghuni Lapas itu adalah kejahatan narkotika,” kata Eddy di kompleks Kementerian Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan pada Rabu, 4 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari terpidana narkoba yang mendekam di Lapas, kata Eddy, sekitar 80 persennya merupakan pengguna. “Yang lebih menyedihkan, sebagian besar pengguna itu barang buktinya di bawah satu gram,” ucap Eddy.
Eddy menyatakan prihatin jika pengguna terkena pidana penjara hanya dengan barang bukti sebesar 0,4 hingga 0,5 gram. Kondisi itu, kata dia, terjadi karena Undang-Undang (UU) Narkotika mengatur adanya ancaman hukuman minimum dan maksimum bagi tersangka.
Eddy Hiariej pun mengungkapkan pemerintah saat ini berencana mengubah ketentuan tersebut melalui revisi Undang-Undang Narkotika. Dalam rancangan revisi yang sedang digodok pemerintah, ujar Eddy, pengguna narkoba bisa tidak dikenakan hukuman pidana. Eddy berujar pengguna narkoba dapat diberikan tindakan seperti rawat jalan atau rehabilitasi. “Tetapi ada syarat-syarat berdasarkan RUU yang sedang digodok pemerintah dan DPR,” ujar Eddy.
Dorongan revisi UU Narkotika, khususnya soal pemenjaraan terhadap pengguna, sebelumnya kerap digaungkan oleh berbagai lembaga. Salah satunya datang dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Mereka mengusulkan agar DPR memasukkan revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ke dalam Program Legislasi Nasional.
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu menyatakan revisi beleid ini diperlukan untuk mengatasi kelebihan kapasitas di lapas. "Masalah terbesar kita masih narkotika, kelebihan beban lapas kita," kata Erasmus di kompleks parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 7 November 2024.
Melalui revisi UU Narkotika, Erasmus berharap aparat penegak hukum bisa fokus mengejar pelaku kelas pengedar atau pun bandar. "Pengguna narkotika dikirim ke lapas, tapi kemudian penyelesaian mekanisme mencari bandar dan lain-lain itu tidak terlaksana, karena polisi, jaksa dan hakimnya disibukan dengan jumlah kasus narkotika yang begitu besar," ujarnya.
ANNISA FEBIOLA berkontribusi dalam penulisan artikel ini.