Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Warrior Seks

Sejumlah anak remaja berpendidikan smtp dan smta yang tergabung dalam kelompok warrior di semarang, melakukan pesta gila-gilaan secara rutin dengan mabuk-mabukan dan persetubuhan badan. (krim)

27 April 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOAL "kumpul kebo", yang menyangkut muda-mudi Yogyakarta, baru saja reda. Tapi, belum lama ini, polisi Semarang Barat memergoki pesta gila-gilaan yang lebih dahsyat: bersebadan secara kolektif sambil menenggak minuman keras. Pelakunya, yang menamakan diri kelompok warrior (arti sebenarnya pejuang atau serdadu), masih berusia belasan tahun. "Sungguh, kami tak pernah membayangkan anak seusia mereka sudah begitu jauh melangkah," ujar seorang perwira polisi dengan nada prihatin. Pesta seks dan anggur pada suatu dinihari awal April lalu itu, terjadi di sebuah rumah di Jalan Muradi di Semarang Barat. Sejak sore hari, lima orang remaja - dua cewek dan tiga cowok yang umumnya masih duduk di SMTP dan SMTA sudah terlihat teler karena minuman keras. Para tetangga mulanya tak peduli karena tak tahu persis ulah para muda usia itu, di rumah milik seorang pemilik bengkel dan makelar mobil yang cukup dikenal. Sewaktu tengah malam kelima muda-mudi itu masih juga berada di sana, dan kelihatannya semakin tak terkontrol petugas siskamling segera mengontak polisi. Penggerebekan dilakukan, dan tampaklah hal yang musykil itu. Kelima remaja dalam keadaan mabuk berat, rambut acak-acakan, begitu juga pakaian mereka. Di lantai dijumpai banyak sekali botol minuman keras yang sudah kosong. Andi, 17, pemilik rumah beserta keempat kawannya - Warno, Lukas, Wiwin, dan Weni (semua bukan nama sebenarnya) - segera digiring ke kantor polisi. "Mereka mengaku sudah biasa melakukan pesta semacam itu. Waktunya tidak teratur," ujar Kapten Untung S. Rajab, kepala Polsek Semarang Barat, kepada TEMPO, pekan lalu. Bulan Januari, misalnya, mereka mengaku melakukannya di sebuah rumah - juga di bilangan Semarang Barat. Sebanyak sembilan dari 30 anggota warrior ikut serta. Pesta berikutnya, Februari lalu, terjadi di dekat pelelangan ikan di Banjirkanal. "Semacam arisan, siapa yang punya uang, dia yang mencukongi teman-temannya," kata Untung lagi. Nama warrior, kelihatannya disabet begitu saja - artinya, bukan sebuah kelompok yang menuntut persyaratan tertentu bila seseorang ingin bergabung. Setidaknya, begitulah yang dikatakan Weni. Ketika diperiksa, dia mengaku baru mengenal Andi dan dua cowok yang lain sore itu juga. Lalu diperkenalkan oleh Wiwin yang sudah mengenal Andi. Wiwin pun, 15, pelajar sebuah SMP swasta, mengaku baru berkenalan dengan kedua teman Andi saat itu. Dan itulah yang sangat disayangkan Pelda F. Sutopo dari bagian Binmas Polsek Semarang Barat. "Payah betul anak-anak itu. Masa begitu kenal, langsung bisa berbuat apa saja," katanya. Prinsip mereka, yang membuat Sutopo bergidik: pokoknya sama-sama senang dan tidak sampai hamil. Tak heran bila ramuan tradisional, pil, dan obat pencegah kehamilan tak asing lagi bagi remaja lepas kendali itu. Kelima remaja itu kelihatannya kurang diperhatlkan orangtua, yang umumnya mampu dan cukup terpandang di wilayahnya. Menurut pengetahuan orangtua, sih, Andi, misalnya, anak baik yang tak pernah banyak cingcong. Dia rajin belajar bersama teman-temannya. Tapi di sekolah, menurut penuturan teman-temannya, pemuda ganteng itu selalu acuh tak acuh terhadap pelajaran. "Nilainya kacau dan hobinya menggaet cewek," ujar seorang temannya. Maka, bisa dibayangkan, betapa kaget orangtua Andi setelah mengetahui kondisi anaknya yang sebenarnya. Sarlito Wirawan, doktor psikologi sosial yang banyak menaruh perhatian terhadap masalah remaja, menganggap apa yang terjadi di Semarang Barat itu sebagai gejalaumum. Berdasarkan penelitian yang disebarkan di beberapa kota, Sarlito berkesimpulan bahwa soal hubungan seks pranikah, alkoholisme, dan obat-obat terlarang di kalangan mereka tampak kian menggejala. Di kota-kota yang makin besar, katanya, frekuensi kasus terlihat cenderung makin tinggi. Dari ketiga masalah itu, hubungan pranikah selalu kelihatan lebih menonjol. Sebabnya? Diduga, antara lain, karena gencarnya serbuan video, film, dan bacaan porno. Lagi pula, "Melakukan hubungan seks relatif lebih murah dan mudah, karena tak perlu modal," kata Sarlito. Soalnya adalah bagaimana sisi gelap kaum remaia itu bisa direm atau ditekan. Dan itu, agaknya, bukan cuma tanggung jawab guru atau polisi. Surasono Laporan Yusro M.S. (Yogyakarta) dan Yusroni Hendridewanto (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus