Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berita Tempo Plus

Wibawa dan Pidana dalam 'Subpoena'

Yang tak memenuhi panggilan DPR bisa dipidana setahun kurungan. Tapi aturan baru yang merupakan bagian dari tata tertib DPR ini ternyata membentur ketentuan hukum tata negara.

28 Desember 1998 | 00.00 WIB

Wibawa dan Pidana dalam 'Subpoena'
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SEPERTI mobil yang pedal gasnya diinjak dalam-dalam. Begitulah semangat anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang kini melonjak tinggi. Para wakil rakyat itu sampai-sampai menuntut adanya sanksi pidana setahun kurungan terhadap mereka yang tak memenuhi panggilan DPR. Hak subpoena milik DPR itu disepakati pemerintah sewaktu bersama DPR membahas Rancangan Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, Kamis dua pekan lalu.

Hak berembel-embel pidana itu akan dipertegas pada peraturan tata tertib DPR. Dengan demikian, diharapkan kelak tidak ada lagi pejabat negara--termasuk presiden dan wakil presiden--pejabat pemerintah, pengusaha, ataupun warga masyarakat yang menolak hadir di DPR. Selain itu, sanksi pidana ini tentu lebih mendukung wibawa DPR di mata pejabat ataupun rakyat.

Tuntutan atas hak subpoena itu mencuat karena beberapa waktu lalu DPR acap dikecewakan oleh sikap arogan pejabat. Pernah terjadi, seorang menteri tak memenuhi panggilan DPR padahal kehadirannya diperlukan untuk menjelaskan masalah yang menyangkut tugas di departemennya. Jenderal Banurusman, ketika menjabat Kepala Kepolisian Republik Indonesia, pun pernah tak muncul meski diundang DPR.

Sewaktu Poerwoto S. Gandasoebrata menjadi Ketua Mahkamah Agung, ia juga enggan dimintai keterangan oleh DPR. Alasannya, DPR tak "selevel" dengan Mahkamah Agung. Sikap meremehkan wakil rakyat ini ternyata menular ke beberapa pengusaha--termasuk pengurus badan usaha milik negara--yang, entah apa alasannya, juga menolak memberikan keterangan di DPR.

Ketika itu, tak ada sanksi apa pun. Paling banter, acara DPR dibatalkan. Atau, sering juga terjadi, panggilan DPR memang dipenuhi, tapi yang datang hanya bawahan si pejabat atau wakil sang pengusaha. Rentetan fenomena itu, menurut Abu Hassan Sadzili, anggota DPR dari Fraksi Karya Pembangunan, terhitung tindakan yang melecehkan rakyat--karena DPR merupakan representasi rakyat.

Karena itu, perlu ada hak subpoena. Manfaatnya, menurut Syafriansyah dari Fraksi Persatuan Pembangunan di DPR, agar ada kepastian sanksi hukum dan unsur pemaksa berupa pidana, sehingga yang diundang DPR pasti hadir. Selain itu, kata Dr. Andi A. Mallarangeng, anggota tim penyusun rancangan UU bidang politik versi pemerintah, hak subpoena bisa digunakan DPR untuk menyelidiki suatu kasus, misalnya kasus Tanjungpriok atau Banyuwangi.

Di luar gedung wakil rakyat, ternyata hak subpoena memicu polemik di kalangan pakar. Ahli hukum tata negara di Universitas Padjadjaran, Bandung, Prof. Sri Soemantri, sependapat bila DPR diberi hak subpoena. Soalnya, delik politik karena tak memenuhi panggilan DPR tak ada pada KUH Pidana.

Pendapat senada diutarakan Menteri Kehakiman Muladi. Hanya, Muladi mengingatkan bahwa yang mesti diatur cukup tentang hak DPR untuk memanggil orang dan yang dipanggil wajib datang, sedangkan proses pengenaan sanksi pidananya tetap menjadi wewenang polisi, jaksa, kemudian hakim.

Tak demikian pendapat ahli hukum tata negara di Universitas Indonesia, Prof. Harun Alrasid. "Mencantumkan aturan tentang hak DPR untuk memanggil, memeriksa, ataupun mengenakan sanksi pidana pada Undang-Undang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, apalagi pada peraturan tata tertib DPR, itu salah kaprah. Itu harus dicoret," katanya.

Menurut Harun, Undang-Undang Susunan DPR hanya bisa mengatur antara lain soal jumlah anggota serta jumlah yang dipilih dan diangkat. Sedangkan tata tertib DPR hanya dapat memuat masalah yang menyangkut operasional DPR, seperti cara kerja atau jadwal rapat.

Adapun soal hak DPR untuk memanggil seseorang, apalagi menyelidiki suatu kasus, menurut Harun, sebenarnya sudah tercantum dalam Undang-Undang Hak Angket (Penyelidikan) Nomor 6 Tahun 1954, yang sampai saat ini belum dicabut. Karena undang-undang tersebut masih beralaskan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, ya, tinggal disempurnakan. Dengan demikian, tak perlu ada aturan baru tentang hak subpoena DPR.

Namun, masih ada masalah, sebagaimana dikemukakan oleh Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman, Dr. Romli Atmasasmita. Diingatkannya bahwa wewenang penyelidikan--yang mestinya milik DPR--kini sudah beralih kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang dibentuk pada 1993, semasa Presiden Soeharto masih berkuasa. Kalau benar demikian, subpoena pun tidak akan begitu berguna. Sebab, wewenang DPR untuk melakukan penyelidikan sudah tidak ada. Padahal, antara menyelidik dan mengontrol sangat erat kaitannya.

Hp. S., Darmawan Sepriyossa, dan Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus