Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semula, sebelas kreditur itu merasa yakin bisa memailitkan perusahaan milik Kotjo itu, untuk selanjutnya membagi-bagikan aset perusahaan tersebut demi menutup pembayaran piutang mereka. Memang, yang mengajukan tuntutan pailit hanya Bank Nusa Nasional (BNN). Sebab, utang Perdana sebesar Rp 8 miliar pada BNN sudah jatuh tempo pada 27 Juni 1997. Namun, berkali-kali penagihan dan somasi (peringatan) dari BNN sama sekali tak diindahkan oleh Perdana.
Tampaknya, "Perdana beriktikad tidak baik, mau ngemplang utang," ujar kuasa hukum BNN, T.M. Lutfhi Yazid. Bila menilik skala usaha, aset, komisaris, dan pengurus perusahaannya, kata Lutfhi, Perdana mestinya mampu membayar utang kepada BNN. Apalagi nama beken Johanes Kotjo, bekas chief executive officer kelompok Liem Sioe Liong, bisa dianggap jaminan pula.
Ternyata pihak BNN salah estimasi. Kini, apa boleh buat, BNN menempuh upaya hukum kepailitan. Dengan aturan kepailitan yang baru, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, BNN berharap agar pengadilan bisa memvonis pailit Perdana paling lama 30 hari. Tuntutan itu amat berdasar karena, selain BNN, ada sepuluh bank lain yang juga punya tagihan pada Perdana. Yang paling besar piutangnya adalah Bank Expor Impor Indonesia, sejumlah Rp 37 miliar, dan Bank Tabungan Negara, sebesar Rp 16 miliar.
Toh, Perdana selaku debitur juga punya dalil. "Mereka memang berhak menuntut pailit, karena utangnya sudah jatuh tempo. Tapi kami juga berhak minta kelonggaran untuk membayar utang," tutur kuasa hukum Perdana, Saifullah. Alasannya, karena krisis moneter, banyak perusahaan di Indonesia yang mengalami kesulitan likuiditas sehingga tak mungkin melunasi utang secara tunai. "Kalau semua kreditur menuntut utang lewat kepailitan, bisa hanya 10 persen perusahaan yang masih hidup," ujar Saifullah.
Direktur Utama Perdana, Hasan Witonowongso, menambahkan bahwa gara-gara krisis moneter pula kredit perumahan yang dikucurkan Perdana jadi macet. "Ada nasabah yang terkena pemutusan hubungan kerja sehingga tak bisa melunasi kredit. Masa, mereka mesti diusir dari rumah kreditannya?" kata Hasan.
Sebenarnya, Perdana sudah meminta penjadwalan ulang utang mereka. Namun, para kreditur tadi menolak. Padahal, sebanyak 25 kreditur asing--dengan total tagihan sebesar Rp 282 miliar pada Perdana--bersedia menerima tawaran Perdana untuk merestrukturisasi utang. Ada juga yang mau dibayar dengan obligasi.
Nah, kenapa para kreditur dalam negeri yang tagihannya kecil malah ngotot memailitkan Perdana? "Itu kan berarti mereka mau ngerjain Perdana," ucap Saifullah. Lagi pula, Hasan menimpali, "Tanya kepada mereka, apa sebelum krisis moneter, Perdana pernah tak membayar utang."
Berdasarkan itulah Perdana membalas petisi pailit tersebut dengan permohonan penundaan pembayaran utang. Apalagi salah satu kreditur, Bank Multicor, yang punya tagihan Rp 6 miliar pada Perdana, mau dibayar dengan obligasi. Atau bisa pula ditempuh upaya perjumpaan utang, misalnya terhadap Bank Dharmala. Sebab, anak perusahaan Bank Dharmala, PT Muara Alas Prima, punya utang yang jumlahnya sama besar dengan utang Perdana pada Dharmala.
Ternyata, harapan Perdana dikabulkan oleh pengadilan niaga. Dengan menunda vonis pailit, ketua majelis hakim Victor Hutabarat memperkenankan Perdana menunda pembayaran utang pada sebelas kreditur tadi.
Majelis hakim tak lupa menyebutkan adanya tiga bank asing dari Singapura, Hong Kong, dan Taiwan yang akan menanamkan modal US$ 20 juta ke Perdana. Selain itu, ada lahan kosong senilai Rp 11 miliar dan empat rumah toko senilai Rp 1,28 miliar milik Perdana, plus obligasi, yang ditawarkan kepada kreditur.
Tapi, perlu diingat, penundaan itu bersifat sementara, hanya selama 45 hari. Setelah itu, bila kreditur menyetujui tawaran debitur, Perdana bisa menunda pembayaran utangnya selama 270 hari. Bila kreditur tak setuju, Perdana bisa dipailitkan.
Happy Sulistiyadi, Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo