APA saja yang dijadikan pertimbangan hakim untuk menjatuhkan sebuah vonis? Agaknya, sampai kini belum ada patokannya. Buktinya, Amir Pulungan, seorang jaksa yang terbukti berdagang ganja dan semula dlhukum ringan oleh hakim pengadilan tinggi, akhir bulan lalu malah diperberat. Masa kerja Amir yang sudah 25 tahun itu dipakai Pengadilan Negeri Padangsidempuan sebagai unsur yang meringankan, sehingga hanya dijatuhkan hukuman 1 tahun. Sementara itu, hakim Pengadilan Tinggi Medan, pertimbangan serupa - sebagai orang kejaksaan dianggap tidak memberikan teladan dan merusakkan citra pegawai negeri - dijadikan dasar untuk menjatuhkan vonis 8 tahun. Kasus yang mencoreng wajah kejaksaan ini bermula dari persekongkolan Amir, 54 tahun, dan Japarapat Rambe pada November 1985. Tak kurang dari 70 gram daun ganja kering mereka perdagangkan di Batang Toru, 32 km dari Padangsidempuan. Tapi, nahasnya, bisnis haram ini tercium polisi. Rambe dan Amir pun ditangkap dan diseret ke meja hijau. Walaupun di persidangan Amir menyangkal tuduhan Jaksa Panyabungan Lian Lubis itu, majelis pada Mei tahun lalu yakin bahwa ia terbukti terlibat kasus narkotik. "Semua saksi memberatkan dia," ujar Hakim Imran waktu itu kepada TEMPO. Tapi kenapa Imran menjatuhkan hukuman ringan? Tak lain karena hakim menganggap nasib Amir tragis. Ia, misalnya, diberhentikan sebagai pegawai kejaksaan, Agustus 1986, karena kawin lagi tanpa izin istri pertama. Padahal, andai kata ia tak diberhentikan, masa dinasnya tinggal setahun lagi. Begitulah Amir diberhentikan tanpa hak pensiun. Tapi dalam perkara pidananya, Hakim Imran mencoba menghargai masa pengabdian Amir yang sudah 25 tahun di kejaksaan itu. "Jika hukumannya diperberat, itu namanya tak manusiawi lagi," ujar Imran. Lebih dari itu, Imran melihat Amir melakukan tindakan tercela itu adalah karena tekanan ekonomi. Dia menilai bahwa gaji yang begitu kecil - golongan II-C dengan gaji Rp 160 ribu sebulan - tak cukup untuk memenuhi kebutuhan Amir sehari-hari. Maklum, Amir mempunyai tanggungan 11 orang anak, 2 anak yang duduk di perguruan tinggi. Karena vonis ringan itu, Jaksa Panyabungan mengajukan banding. Jaksa itu juga menilai Amir keterlaluan. "Sebagai orang yang tahu hukum, ia mestinya ikut memberantas peredaran narkotik," kata Panyabungan, mengutip memori bandingnya. Kepala Kejaksaan Negeri Padangsidempuan, R. Moedjono, juga mendukung sikap Panyabungan." Kendati Amir bekas anak buah saya, kami tak peduli. Bukankah semua orang sama di mata hukum?" kata Moedjono. Majelis hakim banding ternyata sependapat dengan kejaksaan. Diketuai Hakim Tinggi Viktor Simanjuntak, Pengadilan Tinggi Medan mengatrol hukuman Amir. Berbeda dengan Imran, Hakim Viktor melihat status Amir sebagai jaksa itu justru memperberat kesalahannya. Selain itu, sikap Amir yang memungkiri perbuatannya juga dianggap memperberat, karena mempersulit persidangan. "Semua saksi mengatakan ia terlibat langsung dalam penjualan ganja itu," kata Henry Pandapotan Panggabean, salah seorang anggota majelis. Hanya saja, yang dianggap meringankannya, "Sistem penjualan ganja itu dilakukannya dengan manajemen kusir, belum berbentuk sindikat," kata Henry. Perbedaan pendapat itu ditanggapi Amir dengan hambar. Ia bahkan yakin akan tetap dihukum Mahkamah Agung walaupun ia mengajukan kasasi, pada 25 Januari 1988 ini. "Tapi di akhirat saya yakin bebas," katanya singkat. Toh, lelaki bertubuh agak gemuk dan pendek ini terbilang mujur juga. Maklum, baik amar putusan pengadilan negeri maupun peradilan banding tak menyebutkan ia harus segera masuk. Amir pernah ditahan sejak 15 Agustus hingga 26 September 1986. Pada 24 Desember 1986 ia dikenai status tahanan kta. Kini bekas orang kejaksaan itu sibuk berjualan nasi di terminal bis Padangsidempuan. Mudah-mudahan saja, vonisnya bisa membuka mata para ahli hukum tentang belum adanya patokan dalam pertimbangan vonis. Soal usia terdakwa yang sudah tua, misalnya, kadang-kadang disebutkan hakim sebagai hal yang memberatkan, tapi di lain waktu meringankan. Bersihar Lubis & Irwan E. Siregar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini