KETIKA seorang pria bilang, "Saya kehilangan kejantanan," penyakitnya bisa mudah ditebak. Sebaliknya, kalau dia bilang kelewat jantan, itu baru persoalan. Artinya bisa macam-macam. Dia mungkin termasuk orang nekat yang tak kenal takut atau memang mengidap penyakit. Kata dokter, boleh jadi, dia mengidap ereksi berkepanjangan alias ejakulasi nan tak kunjung tiba. "Penyebabnya bisa lantaran ketidakberesan fisik atau kejiwaan," ujar Dokter Naek L. Tobing, yang serius mengutak-atik soal seksual. Kalau fisik yang punya gara-gara, menurut Tobing, gampang mengobatinya. Suntik penisnya, isap darahnya, lalu kompres dengan es. Nah, ditanggung lembek kembali. Maklum, penyakit itu hanya disebabkan macetnya klep pembuluh darah di pangkal penis, yang mengatur keluar-masuknya darah. Tampak sepele memang, tapi sebaiknya waspada. Terlambat sehari saja, tamatlah potensi lamban kejantanan itu. Jaringan penisnya ahan rusak, tergencet tumpukan darah yang kehabisan makanan atau oksigen. Lalu bagaimana hubungan ereksi yang tidak nikmat itu dengan kejiwaan ? "Ini tergantung pengaruh konstitusi tubuh pada fungsi genetalia seseorang," ujar Psikolog Sawitri Supardi, yang di ruang prakteknya sering menemukan kasus semacam itu. Tapi, menurut psikolog yang berpraktek di Bandung ini, pengaruh hubungan seksual di luar perkawinan selalu negatif terhadap hubungan serupa dalam perkawinan. Pangkal persoalannya, berdasarkan pengalaman Sawitri, kalau ditarik jauh bisa dikaitkan dengan lingkungan budaya yang bersangkutan. Misalnya, seorang wanita yang tabu mengutarakan hasrat seksualnya pada suami, karena didikan sejak kecil mengharuskan ia bersikap demikian. Singkatnya, ia pasif saja. Ini tentu bisa mengundang stres sang suami. Apa boleh buat, ia toh tetap menjaga tugasnya sebagai suami yang baik. Tapi dalam memberi nafkah batin itu, dia sendiri tidak merasa nikmat. Dengan sikap seperti itu, tak mustahil suami akan sekadar membiarkan alat kejantanannya ereksi, yang kadang kala bisa sampai berjam-jam. Dia tak peduli lagi, berapakah istrinya mencapai puncak nikmat, orgasme. Tapi kebiasaan seperti itu, kalau diperturutkan, bisa memukul balik pada diri sang suami. Ia, maaf, bisa impoten lantaran kehilangan gairah. Menurut pengamatan Sawitri, yang banyak mengidap penyakit ini adalah pengusaha keturunan Cina, usia 40 sampai 45 tahun. Maklum, pada usia itu mereka umumnya memasuki masa puber kedua, yang ditunjang pula oleh mantapnya kemampuan ekonomi. Mereka yang bandel tentu suka "jajan" di luar atau punya peliharaan. Jadi, kalau istrinya tak mengikuti zaman, tetap mengenakan daster usang dan bersikap malu-malu kucing, nah, penyakit itu bakal gampang menyerbu. "Disfungsi seksual," kata Sawitri. Diakuinya, kalau masih dalam tahap ereksi berkepanjangan tanpa kenikmatan alias impoten sementara, itu masih normal. "Kalau sudah nafsu pada binatang atau mayat, baru boleh dibilang tak normal," ujarnya. Tapi peri laku menjijikkan itu penyebabnya berbeda. Tak ada hubungannya dengan penampilan nyonya di rumah atau hobi "jajan" di luar. Supaya lebih jelas, agaknya perlu disimak pengalaman salah seorang pasien Sawitri. Dia seorang pengusaha umur 40-an tahun yang sudah 3 tahun tak pernah mengalami ejakulasi dari istrinya. Gairah seksualnya hanya terbangkitkan pada saat berduaan dengan seorang mahasiswi, yang sudah beberapa tahun jadi pacar gelapnya. Segala tingkah seksual bebas dilakukan bersama pacar itu, untuk memenuhi berbagai khayalan seksualnya dia sanggup membuktikan kejantanannya dan dia puas. Lain halnya di rumah. Gairah pada istrinya terus memudar kendati sang istri termasuk ibu ideal dalam lingkungan budaya Cina. Ia tak ikut campur urusan bisnis suami, dan selalu berpenampilan sederhana. Jauh berbeda dengan ceweknya, yang lincah, tampak terpelajar, langsing, dan pakaiannya selalu rapi. Hanya karena masih sayang istri, dia tetap memberi nafkah batin, dua kali seminggu. Istrinya jelas bingung, karena sang suami tak pernah ejakulasi, sedang kejantanannya selalu lembek sendiri. Dendam dan amarah adalah dua hal lain yang juga bisa menyebabkan munculnya penyakit ereksi, yang suka bikin ngilu itu. Ini bisa disimak dari kisah nyata pasien dr. Naek L. Tobing. Sang suami punya dendam kesumat pada istrinya gara-gara salah seorang dari empat anaknya terbukti tak berasal dari benihnya. Tapi dia tak mau menceraikan istrinya karena sayang anak. Suami itu menyimpan dendam yang berakibat buruk: ejakulasinya terhambat. Kemudian terjadi hal aneh, pria itu memanfaatkan penyakitnya. Dia mengajak istrinya main cinta sampai berjam-jam, dan baru berhenti ketika istrinya sudah benar-benar merasa tersiksa. "Konflik soal jumlah anak bisa juga berakibat sama," ujar Tobing. Misalnya, sang suami tak lagi menghendaki istrinya hamil, karena jumlah anaknya dianggap cukup, sementara istrinya masih ingin hamil lagi. Dalam suasana seperti itu, menurut Tobing, tak mustahil sang suami hanya mampu ereksi, tanpa mencapai puncak kenikmatan. Maklum, dia selalu waswas, takut kalau-kalau istrinya hamil. Tapi dr. Tobing tak yakin bahwa ereksi berkepanjangan itu disebabkan oleh depresi kejiwaan. "Kemungkinannya kecil," katanya. Dia yakin benar kalau depresi hanya sebagai faktor kedua. Pasalnya, menurut teori kedokteran, proses kenikmatan sebenarnya tumbuh dari otak. Lalu disalurkan oleh jaringan saraf bermuatan listrik ke kelamin, untuk menimbulkan ereksi. Dalam keadaan depresi, arus listrik akan sangat melemah. "Bagaimana mungkin bisa ereksi," katanya lagi. Hanya saja, kuatnya arus listrik tak menjamin ejakulasi. Kalau alat vital tak berfungsi tetap saja runyam. Orang hanya bisa ereksi lantaran nafsunya. "Tapi itu hanya dalam teori, dalam praktek jarang ditemui," ujar Tobing. Praginanto, Moebanoe Moera (Jakarta), Ida Farida (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini