HARI belum terang benar. Namun, di sepanjang jalan raya yang
membelah Kelurahan Karet Kuningan, Jakarta Selatan, sudah
berderet ember plastik berwarna-warni. Ada pula kaleng berbagai
ukuran. Pemilik ember dan kaleng itu dengan sabar menunggu,
sambil memperhatikan kesibukan di pabrik batik tempat mereka
menaruh segala harapan.
Yang diharapkan mereka itu, yang antre sejak subuh, adalah air
bersih untuk kebutuhan sehari-hari, terutama untuk memasak dan
minum.
Penduduk Karet Kuningan yang jumlahnya sekitar 40.000 jiwa,
sebagian besar menggantungkan kebutuhan air bersih dari
kemurahan hati pengusaha pabrik batik. Sumur penduduk, yang
rata-rata kedalamannya 20 meter, sudah kering sejak tiga tahun
lalu. Diperdalam menjadi 35 meter dengan pompa listrik, hasilnya
tetap sia-sia. Di mulai musim hujan pun, saat Jakarta
kebanjiran, sumur kedalaman 20 meter tetap kering," kata seorang
penduduk. Penyebabnya? Penduduk menuding pabrik batik sebagai
biang- keladinya. Seperti yang dikatakan Sudjadi, Staf RW 07
Kelurahan Karet Kuningan, perusahaan batik menggunakan super
jet-pump - yang oleh penduduk dinamai pompa satelit.
"Kemampuannya luar biasa, dengan kedalaman 200 meter, dalam
radius 500 meter dari pompa satelit itu sumur penduduk pun jadi
kering," kata Sudjadi. Di daerah itu ada 99 pabrik batik dan
diperkirakan lebih dari 150 sumur satelit.
Keluhan warga Karet Kuningan sudah pernah dibawa ke Walikota
Jakarta Selatan dan Gubernur DKI Jakarta. "Tanggapan pemerintah
biasanya mengirim bantuan air lewat mobil tangki di saat puncak
krisis," kata Sudjadi. "Dan itu tak menyelesaikan masalah."
Perusahaan Air Minum (PAM) DKI Jakarta, mulai pekan lalu, memang
sudah mengirim bantuan air ke sana "Setiap hari kami kirim empat
tangki air," kata direktur utama PAM DKI, Ir. Raak Manan.
Kapasitas setiap mobil tangki 5.000 liter.
Di kawasan ini, menurut Razak Manan, tahun depan akan dipasang
saluran air PAM. Meskipun demikian, persoalan belum tentu
dengan sendirinya selesai. "Karena PAM sendiri juga kesulitan
sumber air untuk memenuhi setiap permintaan," kata Razak Manan.
Namun, keluhan penduduk Karet Kuningan dengan menuding sumur
Satelit pabrik batik sebagai penyebab penderitaan ini dibantah
Kepala Unit Sumur Bor PAM DKI Bambang Suranto "Sebenarnya pompa
satelit pabrik batik tidak akan mempengaruhi sumur-sumur
penduduk," katanya. "Justru dari pompa listrik sedalam 30 meter
milik penduduk itu yang semestinya keluar air."
Di mana salahnya? Bambang Suranto hanya Menyebutkan, "perlu
penelitian lebih lanjut." Ia mengulangi pendapat para ahli,
kepesatan pembangunan di Jakarta dan padatnya rumah yang
menyebabkan tanah yang menyerap air menjadi sempit. Air tanah
tak sebanding dengan kebutuhan penduduk yang meningkat terus.
Kini PAM DKI, bekerja sama dengan Direktorat Geologi, sedang
melakukan penelitian dengan sepuluh sumur percobaan di lima
wilayah DKI. Penelitian itu untuk mendeteksi air tanah, dan
sekaligus membuat petanya. Jika penelitian ini diketahui
hasilnya, tuding-menuding seperti di Kelurahan Karet Kuningan
tidak akan terjadi lagi.
Manfaat peta geologi ini, seperti diungkapkan Razak Manan,
menyangkut izin pembuatan sumur bor dengan kedalaman tertentu.
Untuk Kelurahan Karet Kuningan, misalnya, Razak Manan menduga
lebih dari 500 sumur bor dalam ada di sana.
Antre air di Jakarta Selatan membuat para ahli lingkungan
kembali bersuara lantang: "Perlu penanganan terpadu untuk
mengatasi krisis air bersih di Jakarta." Insinyur Mardjono
Notodihardjo, ketua Himpunan Ahli Teknik Hidraulika Indonesia
(HATHI), menyerukan sikap yang lebih drastis: perlu "terobosan
teknologi". Terobosan itu, menurut Mardjono, antara lain,
melalui penawaran air laut (desalination), pendauran air limbah
(recycling), dan hujan buatan yang lebih teratur. "Kebutuhan
air akan berlipat menjadi dua kali pada tahun 2000 nanti,"
ujarnya. "Sementara itu, kuantitas air tidak mungkin untuk
ditingkatkan lagi karena bertambahnya daerah kritis di hulu dan
menurunnya daya serap."
Namun, Mardjono menyebutkan, "terobosan teknologi" yang ia
sodorkan baru berupa gagasan. "Kita harus berani merintis.
Sebab, alternatif itu pasti membutuhkan biaya besar," katanya.
Razak Manan prinsipnya menyetujui gagasan Mardjono. "Tapi ide
yang dilontarkan perlu dimatangkan, karena biayanya besar,"
kata Razak. Ia menambahkan: "Bila proyek Cisadane-Jakarta-Cibeet
jadi dilaksanakan, seperti rencana semula, tahun 1995 bisa
digunakan untuk mengatasi air bersih di Jakarta." Proyek ini
terkatung-katung karena terbentur biaya.
Rencana yang sudah bisa dipastikan adalah meengembangkan mini
plant di Pulo Gadung, Jakarta Timur, yang kapasitasnya kini
1.000 Iiter per detik menjadi 5.500 liter per detik. Tapi proyek
ini diperkirakan juga baru berfungsi pada saat hampir bersamaan
dengan Proyek Cisadane Jakarta-Cibeet.
Sebelum itu, untuk mengatasi krisis air bersih di Jakarta,
terutama di musim kering tetap dengan menoleh ke Waduk
Jatiluhur. Untuk jangka pendek, jalan keluar dari kesulitan,
menurut Razak Manan, adalah "memperbesar kapasitas produksi air
di Tangerang yang saat ini baru 500 liter/detik."Dengan
penambahan ini, Razak Manan berharap kemampuan PAM, yang saat
ini baru bisa melayani 60% jumlah penduduk DKI,bisa
ditingkatkan. Dan antre air tak akan panjang lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini