SORE itu diketahui akan ada transaksi. Sejak siang hari,
seputar lokasi di bilangan Manggarai, Jakarta Selatan, sudah
diblokir petugas yang menyamar. Kapten Gordon Siadari, komandan
Subdinas Narkotik Kodak VII, Jakarta, memonitor keadaan lewat
handie talkie (HT) dari sebuah mobil yang diparkir sekitar 100
meter dari lokasi.
Pada jam yang juga sudah diketahui sebelumnya, muncul sebuah
sedan warna hijau. "Semua siap," perintah Gordon, ketika
seseorang turun dari mobil tadi dan berjalan menuju gang dan
masuk ke sebuah rumah. Perintah menggerebek hampir saja
diberikan. Tapi, tiba-tiba, yang diincar keluar rumah bersama
orang lain dan menuju mobil. Langsung tancap gas. Pengejaran pun
terjadi. "Jangan sampai kehilangan jejak," seru Gordon kepada
anak buahnya yang mengendarai mobil lain.
Mobil yang dikuntit berhenti di beberapa tempat: kampung
ambon,Cawang, dan Jalan Tambak. Namun, belum juga ada
tanda-tanda transaksi bakal terjadi. Terakhir, mobil buron
melaju ke bilangan Cempaka Putih dan, karena ramainya Ialu
lintas, Gordon hampir kehilangan jejak. Ketika itu hari sudah
malam. Dan ketegangan akhirnya berubah menjadi tanda tanya,
ketika yang dikejar ternyata meninggalkan begitu saja orang yang
dijemput dari Manggarai itu.
" Dia menggagalkan transaksi," lapor orang yang ditinggalkan,
yang ternyata informan, kepada Gordon. Transaksi, akhir Agustus
lalu, rencananya memang akan dilangsungkan di Manggarai. Entah
mengapa, menurut informan yang bekas pengedar narkotik itu,
pengedar yang diincar mengubah perjanjian bahwa barang bisa
diambil di Kampung Ambon, lalu di Cawang, Jalan Tambak, dan
terakhir di Cempaka Putih. Apa mau dikata, setibanya di sana,
pengedar menyatakan, "barang lagi kosong." Petugas itu, yang
sehari-hari bergelut dengan "pembunuh putih" alias narkotik,
kelihatannya memang harus bersiap untuk kecewa.
Cerita kecewa lain pernah dialami Letnan Kolonel Polisi
Soedhiro, staf Sattama Reserse Narkotik Markas Besar Polri, yang
Sebelumnya yakin betul bahwa pengedar morfin yang diincarnya
bisa terjaring karena informan sudah dua kali bisa membeli
barang dari orang itu. Pada pembelian ketiga, yang sudah
disepakati, informan akan membeli dalam jumlah yang Iebih
banyak. Transaksi memang terjadi, tapi ketika diperiksa,
"ternyata narkotik yang dijual terakhir itu palsu," kata
Soedhiro.
Peristiwa di atas memperlihatkan betapa berhati-hatinya mereka
yang terlibat dalam urusan bisnis gelap narkotik. Dan betapa
berlikunya jaringan mereka. Walaupun gerakan mereka tertutup dan
tak diketahui jelas sosoknya, belakangan ini diduga perdagangan
gelap narkotik kian ramai. "Sindikat penjahat narkotik
internasional dewasa ini beroperasi dengan dukungan sarana
mobilitas dan teknologi yang sangat tinggi," kata Kapolri Letnan
Jenderal Anton Sudjarwo, saat menutup Pendidikan Perwira Reserse
Narkotik di Ciputat Jakarta, Agustus lalu.
Angka-angka dari Komandan Satuan Utama Reserse Narkotik
(Sattama Sersetik) Markas Besar Polri, Brigjen Suharjono,
menyatakan bahwa tahun ini - sampai Juni - kejahatan narkotik
terjadi setiap 8 jam 39 menit. Padahal, tahun lalu hanya
terjadi setiap 14 jam 54 menit dan 54 detik. Yang dikhawatirkan,
katanya, adalah hahwa Indonesia dijadikan daerah produksi dan
laboratorium gelap. Di Sumatera Utara, misalnya, beberapa kali
ada orang yang tertangkap membawa minyak ganja. Bahan olahan
itu, meski membuatnya cukup dengan teknologi sederhana,
tergolong baru. Artinya, pedagang gelap itu ternyata sudah
punya pikiran untuk "meningkatkan mutu produk", sekaligus
berupaya agar barang aman dibawa ke mana-mana. Misalnya,
disamarkan agar tampak seperti limun atau minyak goreng.
Juga pedagang gelap morfin jenis narkotik impor yang paling
banyak dijumpai di sini - tak hentinya memutar otak bagaimana
cara mengedarkan dagangannya. Untuk itu, diperlukan suatu
organisasi dan jaringan yang rapi, yang oleh polisi biasa
disebut "sistem sel": di antara mereka sendiri tidak saling
kenal - apalagi dengan bosnya - kecuali satu dua orang yang
sering mengadakan kontak.
Sebuah sumber di kepolisian menyatakan kepada TEMPO bahwa di Ja
karta diketahui paling tidak ada tiga orang yang diduga kuat
gembong narkotik. Kita sebut saja mereka X, Y, dan Z. Dalam
kehidupan sehari-hari, ketiga orang itu - WNI keturunan Cina
yang kemungkinan besar punya hubungan kekeluargaan - adalah
orang baik-baik, berusaha sebagai wiraswasta. Seorang
diantaranya memiliki perusahaan angkutan laut di sebuah kota di
Indonesia Tengah, dan banyak petunjuk bahwa armadanya sering
dipakai mengangkut narkotik.
Di bawah ketiga bos tadi, ada sebuah jaringan yang cukup ruwet,
sedikitnya terdiri dari 21 orang (lihat diagram). "Tapi satu
sama lainnya boleh dibilang terpisah dan berdiri
sendiri-sendiri," tutur sumber itu. Buce dan istrinya, yang
tertangkap di Kampung Jati Rahayu, Bekasi, Juni lalu, misalnya,
tergolong lapisan paling bawah dalam jaringan. Buce dirangket
petugas ketika sedang meracik morfin di rumahnya. Ia tak bisa
mungkir karena petugas, yang sudah membayang-bayanginya selama
hampir tiga bulan, menemukan bukti berupa lebih dari 1.000 cekak
morfin.
Diduga, Buce punya jaringan sampai ke Bandung dan Semarang,
dengan omset penjualan ratusan cekak sehari. Padahal, harga satu
cekak - 4 sampai 11 miligram - di pasaran gelap mencapai Rp
1.500 dan, bila barang sedang langka, naik dua kali lipat
menjadi Rp 3.000.
Di atas Buce, ada seorang wanita yang mensuplai barang, yang
belum lama ini kabarnya sudah pula tertangkap. Di atas wanita
tadi, paling tidak ada tiga tingkat lagi, yang biasa menjual
dengan ukuran sampai sepuluh cie. Satu cie bisa diracik untuk
sekitar 350 cekak.
Namun, sumber TEMPO menyatakan bahwa jaringan yang sebenarnya
bisa jadi tidak persis seperti itu. "Maklum, mereka itu 'kan
kayak siluman, yang tidak ketahuan mana ujung rambut dan mana
pangkal kakinya," katanya. "Model jaringan", seperti
dikemukakannya, dibuat berdasar pengamatan selama beberapa
tahun, ditambah informasi dari sana sini, dan kemudian diperkuat
oleh pengakuan beberapa tersangka yang tertangkap.
Selain sindikat yang tadi, ada lagi sebuah jaringan lain yang
terdiri dari tante-tante, yang biasa beroperasl di hotel mewah,
bar, dan klub malam. Beda dengan yang terdahulu, grup yang ini
biasa mengedarkan narkotlk dalam bentuk ampul, di antaranya
ampul morfin dan amphetamine. Narkotik dalam ampul itu resminya
obat suntik yang biasanya dikeluarkan apotek melalui resep
dokter. Memang, menurut sumber TEMPO - seorang mahasiswa di
Jakarta - tante-tante di atas kepadanya mengaku, mendapatkan
barang tadi dari seorang dokter di bilangan Jakarta Pusat.
Entahlah, apa dia itu dokter betulan atau gadungan,tapi nama
depannya D.
" Terkadang mereka membeli sendiri dari Thailand," kata
mahasiswa tadi. Dan tahun 1981 lalu, salah seorang di antara
mereka pernah tertangkap di sana. Tak jelas dengan cara
bagaimana dia bisa lolos tanpa dihukum. Di situ mereka melakukan
transaksi biasanya, melalui seorang cowok ganteng berinisial L.
Sumber TEMPO itu tahu benar, tas yang diserahkan kepada L berisi
ampul- ampul, dan kaleng Valda berisi ganja kelas satu.
Kalau ingin tahu, kelima tante itu adalah: yang satu istri
pemain band, satunya tak punya suami, yang dua janda (satu janda
bintang film, satu lagi tak jelas janda siapa), dan yang
terakhir - harap jangan kaget - dikenal sebagai istri seorang
pejabat pada instansi yan serin mengurus keluar- masuknya
barang dari luar negeri.
Sudah tentu, kegiatan para tante tadi berarti telah menambah
penggemar narkotik. Menurut data yang dikemukakan Brigjen
Polisi Suharjono, kini tercatat hampir 9 ribu orang yang
terlibat perkara narkotik. Mayoritas, atau sekitar 7.000,
menurut Kolonel Polisi Nyonya J. Mandagi, ketua Kelompok Kerja
Narkotik Bakolak Inpres No.6/1971 dan wakil komandan Sattama
Sersetik Mabes Polri, berkumpul di Jakarta. Angka pecandu
sebenarnya tentu jauh lebih besar. Sebab, kata Mandagi lagi,
masalah narkotik itu ibarat gunung es: yan mencuat ke
permukaan cuma sedikit.
Ancar-ancar yang sering dipakai adalah bahwa dari setiap kasus
atau pecandu yang tercatat, yang terpendam berarti sepuluh.
Berdasar rumus ini, berarti jumlah pecandu narkotik di Indonesia
kira-kira sudah hampir 90 ribu. Perbandingan pemakai ganja dan
jenis narkotik lain, seperti morfin, heroin, dan candu adalah
80:20.
Tapi, justru yang sedikit itulah yang bikin celaka. Sejauh ini,
berdasar catatan yang ada di Markas Besar Polri, diketahui sudah
36 korban yang meninggal akibat keracunan narkotik jenis morfin
atau heroin. Jumlah sesunguhnya bisa dipastikan jauh lebih
banyak. Stonny, sebut saja begitu namanya, pecandu di Surabaya
yang kini masih aktif, menyatakan bahwa dari sembilan temannya
yang sering "terbang" bersama, enam meninggal dalam tiga tahun
belakangan ini.
Yang mengerikan adalah apa yang disebut mati paksa. Menurut
sebuah sumber di Kodak VII, Jakarta, sejak 1979 ada 6 orang yang
terbunuh gara-gara boat (morfin). Korban pertama adalah
Purwadi, bekas anggota angkatan laut yang melakukan desersi. Ia
menjadi korban tabrak lari di Cilincing pada 1979. Yang kedua,
Maman Caling, yang terbunuh di Galur, Jakarta Pusat. Murti,
Umang dan Sofyan menyusul kemudian pada 1981. Ketiganya mati
kena tusuk di Tanah Tinggi - salah satu daerah perdagangan gelap
narkotik di Jakarta. Korban keenam, adik seorang penyanyi yang
cukup dikenal, mati dianiaya dalam taksi di bilangan Kalibata,
Jakarta Selatan .
Keenam korban yang meninggal itu, menurut sumber tadi, sudah
masuk daftar hitam polisi. Polisi telah memasang jaring-jaring
untuk menangkap mereka. Rupanya, rekan atau malah mungkin
bosnya tahu bahwa mereka lagi diincar polisi. Sedangkan, keenam
orang itu dinilai tak cukup tabah untuk tetap tutup mulut.
Akibatnya, begitu kami merencanakan untuk melakukan penangkapan,
mereka sudah lebih dahulu dihabisi."
Tak heran kalau Kolonel Nyonya Mandagi, dalam Simposium tentang
masalah narkotik dua pekan lalu di Jakarta, menyatakan bahwa
penjahat narkotik semestinya dijatuhi hukuman mau. Ia terus
terang khawatir terhadap menjalarnya bahaya narkotik pada kaum
muda. Di beberapa tempat, ia mensinyalir: "Penjualan narkotik
sudah seperti menjual barang biasa."
Daftar korban bisa jadi bakal panjang. Sebab, narkotik kini tak
hanya ramai di Jakarta dan ibukota provinsi, melainkan sudah
menyusup ke kota kabupaten, dan bahkan beberapa kota kecamatan.
Belum lama ini, 16 orang - sebagian besar pelajar - tertangkap
di Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, karena soal
ganja. Yang tiga orang, menurut Kopral Dua Suwardi dari
Kepolisian Banyumas, adalah pengedar.
Umumnya, daerah atau kota yang sering dikunjungi turis -
domestik dan apalagi asing - memang menjadi rawan. Bali adalah
contoh yang jelas. Sepanjang pantai Pulau Dewata, mulai dari
Sanur, Ubud, Kuta, sampai Lovina (Buleleng) boleh dibilang tak
pernah sepi dari kegiatan (bisnis dan pemakaian) narkotik. Bar,
restoran, rumah penginapan, dan hotel, menurut Kadapol XI Nusa
Tenggara Brigjen Achmad Djuaeni, khususnya yang selalu dijubeli
turis bule, adalah tempat yang mendapat pengawasan ekstra.
Soalnya, tak jarang terdengar, memang, bule dan pribumi di situ
bergabung untuk menikmati pesta asap dan bubuk putih.
Pengawasan di pelabuhan udara atau laut kini makin meningkat di
Bali. Selain Jakarta dan Medan, Bali memang disinyalir dijadikan
tempat transaksi dalam ukuran besar sekaligus tempat mengatur
peredaran ke segala penjuru. "Bali dijadikan jembatan untuk
menyebarkan narkotik di kawasan ASEAN," kata Thomas C. Baker,
petugas pemberantasan narkotik Australia yang kini bertugas di
Indonesia. Dari Bali itu pula katanya, narkotik diboyong ke
Australia dan Selandia Baru.
Berbeda dengan sindikat narkotik jenis morfin, yang dikuasai
WNI keturunan Cina,ganja- menurut pejabat di Markas Besar Polri
- dikuasai orang asal Sumatera Utara, khususnya Tapanuli.
"Tentu, tidak semua orang sana main begituan," katanya buruburu.
Dimar adalah pengedar di bilangan Grogol, Jakarta Barat. Ia
tertangkap tiga minggu lalu dan mengaku sebelumnya, sebulan bisa
menjual 2 kg ganja. Lelaki bertubuh gemuk dan senang tertawa itu
berkata: "Saya hanya menjual, tak pernah mengisap. Juga jual
beli saya lakukan dengan hati-hati. Apa boleh buat, kali ini
saya kejeblos," katanya.
Di Bandung, ada yang namanya Ogut, 35 tahun. Meski sudah lama
dicurigai, ia mengaku baru berkenalan dengan bisnis ganja
menjelang Lebaran tempo hari. Ganja 12 kg, yang dibelinya,
biasanya cepat sekali terjual habis kepada mahasiswa, pelajar,
dan . . . buruh pabrik. Diduga, ia punya hubungan dagang barang
haram itu dengan anak seorang pejabat di Sumatera yang
belakangan ini diributkan melakukan korupsi. Namun, Ogut
menyangkal. "Saya tak kenal dia," kata Ogut yang kini mendekam
di tahanan bersama tiga adiknya.
Ganja tampaknya kini memang meluas peredarannya. Akhir tahun
lalu, Iewat Operasi Taruna, kepolisian Aceh dengan dukungan
pesawat helikopter berhasil menemukan 3X hektar ladang ganja di
87 lokasi. Diperkirakan, 190 ton daun ganja dimusnahkan ketika
itu. Namun, kini sering dijumpai ada petani di Jawa yang menanam
ganja. Di Jawa Barat, misalnya, ditemukan lebih dari 1.000 pohon
ganja. Juga di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali disinyalir ada
yang menanam. Belum lama ini, polisi Bali berhasil menemukan
lebih dari 700 batang ganja di Kecamatan Tista, Kabupaten
Ngasem.
Hampir di semua daerah yang dianggap rawan polisi, yang dibantu
aparat lain, kini berusaha mengerem lajunya kasus narkotik. Hal
itu ditempuh dengan berbagai operasi, baik terbuka maupun
diam-diam. "Operasi memang gila sekarang," keluh seorang
pengedar kelas teri di Bausasran, Yogyakarta. Rekannya di Medan,
Bali, Bandung, Semarang, dan Jakarta pun banyak yang mengeluh.
Yang sangat mereka takuti ialah bila dalam operasi atau
penggerebekan, petugas menggunakan anjing pelacak. Anjing
pelacak narkotik dengan kemampuan N5, menurut komandan Sattama
Satwa Mabes Polri, Kol. Pol. Gunardi, bisa mencium narkotik yang
dibungkus ikan asin atau barang lain yang baunya tajam. Anjing
pelacak milik Bea Cukai di bandar Halim Perdanakusuma, Jakarta,
misalnya, pernah menangkap penyelundup narkotik yang
menyembunyikan barangnya dalam sedotan limun, yang disisipkan di
antara lapisan kardus. Di sekitar kardus tadi ditaruh kapur
barus. Maksudnya, tentu, agar bau narkotik tidak terendus.
Nyatanya, penyelundup itu bisa ditangkap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini