Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Peta semakin luas cengkeraman...

Jaringan narkotik di kota-kota besar, para sindikat sangat berhati-hati dan rapi. bali salah satu tempat bisnis narkotik.(krim)

24 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SORE itu diketahui akan ada transaksi. Sejak siang hari, seputar lokasi di bilangan Manggarai, Jakarta Selatan, sudah diblokir petugas yang menyamar. Kapten Gordon Siadari, komandan Subdinas Narkotik Kodak VII, Jakarta, memonitor keadaan lewat handie talkie (HT) dari sebuah mobil yang diparkir sekitar 100 meter dari lokasi. Pada jam yang juga sudah diketahui sebelumnya, muncul sebuah sedan warna hijau. "Semua siap," perintah Gordon, ketika seseorang turun dari mobil tadi dan berjalan menuju gang dan masuk ke sebuah rumah. Perintah menggerebek hampir saja diberikan. Tapi, tiba-tiba, yang diincar keluar rumah bersama orang lain dan menuju mobil. Langsung tancap gas. Pengejaran pun terjadi. "Jangan sampai kehilangan jejak," seru Gordon kepada anak buahnya yang mengendarai mobil lain. Mobil yang dikuntit berhenti di beberapa tempat: kampung ambon,Cawang, dan Jalan Tambak. Namun, belum juga ada tanda-tanda transaksi bakal terjadi. Terakhir, mobil buron melaju ke bilangan Cempaka Putih dan, karena ramainya Ialu lintas, Gordon hampir kehilangan jejak. Ketika itu hari sudah malam. Dan ketegangan akhirnya berubah menjadi tanda tanya, ketika yang dikejar ternyata meninggalkan begitu saja orang yang dijemput dari Manggarai itu. " Dia menggagalkan transaksi," lapor orang yang ditinggalkan, yang ternyata informan, kepada Gordon. Transaksi, akhir Agustus lalu, rencananya memang akan dilangsungkan di Manggarai. Entah mengapa, menurut informan yang bekas pengedar narkotik itu, pengedar yang diincar mengubah perjanjian bahwa barang bisa diambil di Kampung Ambon, lalu di Cawang, Jalan Tambak, dan terakhir di Cempaka Putih. Apa mau dikata, setibanya di sana, pengedar menyatakan, "barang lagi kosong." Petugas itu, yang sehari-hari bergelut dengan "pembunuh putih" alias narkotik, kelihatannya memang harus bersiap untuk kecewa. Cerita kecewa lain pernah dialami Letnan Kolonel Polisi Soedhiro, staf Sattama Reserse Narkotik Markas Besar Polri, yang Sebelumnya yakin betul bahwa pengedar morfin yang diincarnya bisa terjaring karena informan sudah dua kali bisa membeli barang dari orang itu. Pada pembelian ketiga, yang sudah disepakati, informan akan membeli dalam jumlah yang Iebih banyak. Transaksi memang terjadi, tapi ketika diperiksa, "ternyata narkotik yang dijual terakhir itu palsu," kata Soedhiro. Peristiwa di atas memperlihatkan betapa berhati-hatinya mereka yang terlibat dalam urusan bisnis gelap narkotik. Dan betapa berlikunya jaringan mereka. Walaupun gerakan mereka tertutup dan tak diketahui jelas sosoknya, belakangan ini diduga perdagangan gelap narkotik kian ramai. "Sindikat penjahat narkotik internasional dewasa ini beroperasi dengan dukungan sarana mobilitas dan teknologi yang sangat tinggi," kata Kapolri Letnan Jenderal Anton Sudjarwo, saat menutup Pendidikan Perwira Reserse Narkotik di Ciputat Jakarta, Agustus lalu. Angka-angka dari Komandan Satuan Utama Reserse Narkotik (Sattama Sersetik) Markas Besar Polri, Brigjen Suharjono, menyatakan bahwa tahun ini - sampai Juni - kejahatan narkotik terjadi setiap 8 jam 39 menit. Padahal, tahun lalu hanya terjadi setiap 14 jam 54 menit dan 54 detik. Yang dikhawatirkan, katanya, adalah hahwa Indonesia dijadikan daerah produksi dan laboratorium gelap. Di Sumatera Utara, misalnya, beberapa kali ada orang yang tertangkap membawa minyak ganja. Bahan olahan itu, meski membuatnya cukup dengan teknologi sederhana, tergolong baru. Artinya, pedagang gelap itu ternyata sudah punya pikiran untuk "meningkatkan mutu produk", sekaligus berupaya agar barang aman dibawa ke mana-mana. Misalnya, disamarkan agar tampak seperti limun atau minyak goreng. Juga pedagang gelap morfin jenis narkotik impor yang paling banyak dijumpai di sini - tak hentinya memutar otak bagaimana cara mengedarkan dagangannya. Untuk itu, diperlukan suatu organisasi dan jaringan yang rapi, yang oleh polisi biasa disebut "sistem sel": di antara mereka sendiri tidak saling kenal - apalagi dengan bosnya - kecuali satu dua orang yang sering mengadakan kontak. Sebuah sumber di kepolisian menyatakan kepada TEMPO bahwa di Ja karta diketahui paling tidak ada tiga orang yang diduga kuat gembong narkotik. Kita sebut saja mereka X, Y, dan Z. Dalam kehidupan sehari-hari, ketiga orang itu - WNI keturunan Cina yang kemungkinan besar punya hubungan kekeluargaan - adalah orang baik-baik, berusaha sebagai wiraswasta. Seorang diantaranya memiliki perusahaan angkutan laut di sebuah kota di Indonesia Tengah, dan banyak petunjuk bahwa armadanya sering dipakai mengangkut narkotik. Di bawah ketiga bos tadi, ada sebuah jaringan yang cukup ruwet, sedikitnya terdiri dari 21 orang (lihat diagram). "Tapi satu sama lainnya boleh dibilang terpisah dan berdiri sendiri-sendiri," tutur sumber itu. Buce dan istrinya, yang tertangkap di Kampung Jati Rahayu, Bekasi, Juni lalu, misalnya, tergolong lapisan paling bawah dalam jaringan. Buce dirangket petugas ketika sedang meracik morfin di rumahnya. Ia tak bisa mungkir karena petugas, yang sudah membayang-bayanginya selama hampir tiga bulan, menemukan bukti berupa lebih dari 1.000 cekak morfin. Diduga, Buce punya jaringan sampai ke Bandung dan Semarang, dengan omset penjualan ratusan cekak sehari. Padahal, harga satu cekak - 4 sampai 11 miligram - di pasaran gelap mencapai Rp 1.500 dan, bila barang sedang langka, naik dua kali lipat menjadi Rp 3.000. Di atas Buce, ada seorang wanita yang mensuplai barang, yang belum lama ini kabarnya sudah pula tertangkap. Di atas wanita tadi, paling tidak ada tiga tingkat lagi, yang biasa menjual dengan ukuran sampai sepuluh cie. Satu cie bisa diracik untuk sekitar 350 cekak. Namun, sumber TEMPO menyatakan bahwa jaringan yang sebenarnya bisa jadi tidak persis seperti itu. "Maklum, mereka itu 'kan kayak siluman, yang tidak ketahuan mana ujung rambut dan mana pangkal kakinya," katanya. "Model jaringan", seperti dikemukakannya, dibuat berdasar pengamatan selama beberapa tahun, ditambah informasi dari sana sini, dan kemudian diperkuat oleh pengakuan beberapa tersangka yang tertangkap. Selain sindikat yang tadi, ada lagi sebuah jaringan lain yang terdiri dari tante-tante, yang biasa beroperasl di hotel mewah, bar, dan klub malam. Beda dengan yang terdahulu, grup yang ini biasa mengedarkan narkotlk dalam bentuk ampul, di antaranya ampul morfin dan amphetamine. Narkotik dalam ampul itu resminya obat suntik yang biasanya dikeluarkan apotek melalui resep dokter. Memang, menurut sumber TEMPO - seorang mahasiswa di Jakarta - tante-tante di atas kepadanya mengaku, mendapatkan barang tadi dari seorang dokter di bilangan Jakarta Pusat. Entahlah, apa dia itu dokter betulan atau gadungan,tapi nama depannya D. " Terkadang mereka membeli sendiri dari Thailand," kata mahasiswa tadi. Dan tahun 1981 lalu, salah seorang di antara mereka pernah tertangkap di sana. Tak jelas dengan cara bagaimana dia bisa lolos tanpa dihukum. Di situ mereka melakukan transaksi biasanya, melalui seorang cowok ganteng berinisial L. Sumber TEMPO itu tahu benar, tas yang diserahkan kepada L berisi ampul- ampul, dan kaleng Valda berisi ganja kelas satu. Kalau ingin tahu, kelima tante itu adalah: yang satu istri pemain band, satunya tak punya suami, yang dua janda (satu janda bintang film, satu lagi tak jelas janda siapa), dan yang terakhir - harap jangan kaget - dikenal sebagai istri seorang pejabat pada instansi yan serin mengurus keluar- masuknya barang dari luar negeri. Sudah tentu, kegiatan para tante tadi berarti telah menambah penggemar narkotik. Menurut data yang dikemukakan Brigjen Polisi Suharjono, kini tercatat hampir 9 ribu orang yang terlibat perkara narkotik. Mayoritas, atau sekitar 7.000, menurut Kolonel Polisi Nyonya J. Mandagi, ketua Kelompok Kerja Narkotik Bakolak Inpres No.6/1971 dan wakil komandan Sattama Sersetik Mabes Polri, berkumpul di Jakarta. Angka pecandu sebenarnya tentu jauh lebih besar. Sebab, kata Mandagi lagi, masalah narkotik itu ibarat gunung es: yan mencuat ke permukaan cuma sedikit. Ancar-ancar yang sering dipakai adalah bahwa dari setiap kasus atau pecandu yang tercatat, yang terpendam berarti sepuluh. Berdasar rumus ini, berarti jumlah pecandu narkotik di Indonesia kira-kira sudah hampir 90 ribu. Perbandingan pemakai ganja dan jenis narkotik lain, seperti morfin, heroin, dan candu adalah 80:20. Tapi, justru yang sedikit itulah yang bikin celaka. Sejauh ini, berdasar catatan yang ada di Markas Besar Polri, diketahui sudah 36 korban yang meninggal akibat keracunan narkotik jenis morfin atau heroin. Jumlah sesunguhnya bisa dipastikan jauh lebih banyak. Stonny, sebut saja begitu namanya, pecandu di Surabaya yang kini masih aktif, menyatakan bahwa dari sembilan temannya yang sering "terbang" bersama, enam meninggal dalam tiga tahun belakangan ini. Yang mengerikan adalah apa yang disebut mati paksa. Menurut sebuah sumber di Kodak VII, Jakarta, sejak 1979 ada 6 orang yang terbunuh gara-gara boat (morfin). Korban pertama adalah Purwadi, bekas anggota angkatan laut yang melakukan desersi. Ia menjadi korban tabrak lari di Cilincing pada 1979. Yang kedua, Maman Caling, yang terbunuh di Galur, Jakarta Pusat. Murti, Umang dan Sofyan menyusul kemudian pada 1981. Ketiganya mati kena tusuk di Tanah Tinggi - salah satu daerah perdagangan gelap narkotik di Jakarta. Korban keenam, adik seorang penyanyi yang cukup dikenal, mati dianiaya dalam taksi di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan . Keenam korban yang meninggal itu, menurut sumber tadi, sudah masuk daftar hitam polisi. Polisi telah memasang jaring-jaring untuk menangkap mereka. Rupanya, rekan atau malah mungkin bosnya tahu bahwa mereka lagi diincar polisi. Sedangkan, keenam orang itu dinilai tak cukup tabah untuk tetap tutup mulut. Akibatnya, begitu kami merencanakan untuk melakukan penangkapan, mereka sudah lebih dahulu dihabisi." Tak heran kalau Kolonel Nyonya Mandagi, dalam Simposium tentang masalah narkotik dua pekan lalu di Jakarta, menyatakan bahwa penjahat narkotik semestinya dijatuhi hukuman mau. Ia terus terang khawatir terhadap menjalarnya bahaya narkotik pada kaum muda. Di beberapa tempat, ia mensinyalir: "Penjualan narkotik sudah seperti menjual barang biasa." Daftar korban bisa jadi bakal panjang. Sebab, narkotik kini tak hanya ramai di Jakarta dan ibukota provinsi, melainkan sudah menyusup ke kota kabupaten, dan bahkan beberapa kota kecamatan. Belum lama ini, 16 orang - sebagian besar pelajar - tertangkap di Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, karena soal ganja. Yang tiga orang, menurut Kopral Dua Suwardi dari Kepolisian Banyumas, adalah pengedar. Umumnya, daerah atau kota yang sering dikunjungi turis - domestik dan apalagi asing - memang menjadi rawan. Bali adalah contoh yang jelas. Sepanjang pantai Pulau Dewata, mulai dari Sanur, Ubud, Kuta, sampai Lovina (Buleleng) boleh dibilang tak pernah sepi dari kegiatan (bisnis dan pemakaian) narkotik. Bar, restoran, rumah penginapan, dan hotel, menurut Kadapol XI Nusa Tenggara Brigjen Achmad Djuaeni, khususnya yang selalu dijubeli turis bule, adalah tempat yang mendapat pengawasan ekstra. Soalnya, tak jarang terdengar, memang, bule dan pribumi di situ bergabung untuk menikmati pesta asap dan bubuk putih. Pengawasan di pelabuhan udara atau laut kini makin meningkat di Bali. Selain Jakarta dan Medan, Bali memang disinyalir dijadikan tempat transaksi dalam ukuran besar sekaligus tempat mengatur peredaran ke segala penjuru. "Bali dijadikan jembatan untuk menyebarkan narkotik di kawasan ASEAN," kata Thomas C. Baker, petugas pemberantasan narkotik Australia yang kini bertugas di Indonesia. Dari Bali itu pula katanya, narkotik diboyong ke Australia dan Selandia Baru. Berbeda dengan sindikat narkotik jenis morfin, yang dikuasai WNI keturunan Cina,ganja- menurut pejabat di Markas Besar Polri - dikuasai orang asal Sumatera Utara, khususnya Tapanuli. "Tentu, tidak semua orang sana main begituan," katanya buruburu. Dimar adalah pengedar di bilangan Grogol, Jakarta Barat. Ia tertangkap tiga minggu lalu dan mengaku sebelumnya, sebulan bisa menjual 2 kg ganja. Lelaki bertubuh gemuk dan senang tertawa itu berkata: "Saya hanya menjual, tak pernah mengisap. Juga jual beli saya lakukan dengan hati-hati. Apa boleh buat, kali ini saya kejeblos," katanya. Di Bandung, ada yang namanya Ogut, 35 tahun. Meski sudah lama dicurigai, ia mengaku baru berkenalan dengan bisnis ganja menjelang Lebaran tempo hari. Ganja 12 kg, yang dibelinya, biasanya cepat sekali terjual habis kepada mahasiswa, pelajar, dan . . . buruh pabrik. Diduga, ia punya hubungan dagang barang haram itu dengan anak seorang pejabat di Sumatera yang belakangan ini diributkan melakukan korupsi. Namun, Ogut menyangkal. "Saya tak kenal dia," kata Ogut yang kini mendekam di tahanan bersama tiga adiknya. Ganja tampaknya kini memang meluas peredarannya. Akhir tahun lalu, Iewat Operasi Taruna, kepolisian Aceh dengan dukungan pesawat helikopter berhasil menemukan 3X hektar ladang ganja di 87 lokasi. Diperkirakan, 190 ton daun ganja dimusnahkan ketika itu. Namun, kini sering dijumpai ada petani di Jawa yang menanam ganja. Di Jawa Barat, misalnya, ditemukan lebih dari 1.000 pohon ganja. Juga di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali disinyalir ada yang menanam. Belum lama ini, polisi Bali berhasil menemukan lebih dari 700 batang ganja di Kecamatan Tista, Kabupaten Ngasem. Hampir di semua daerah yang dianggap rawan polisi, yang dibantu aparat lain, kini berusaha mengerem lajunya kasus narkotik. Hal itu ditempuh dengan berbagai operasi, baik terbuka maupun diam-diam. "Operasi memang gila sekarang," keluh seorang pengedar kelas teri di Bausasran, Yogyakarta. Rekannya di Medan, Bali, Bandung, Semarang, dan Jakarta pun banyak yang mengeluh. Yang sangat mereka takuti ialah bila dalam operasi atau penggerebekan, petugas menggunakan anjing pelacak. Anjing pelacak narkotik dengan kemampuan N5, menurut komandan Sattama Satwa Mabes Polri, Kol. Pol. Gunardi, bisa mencium narkotik yang dibungkus ikan asin atau barang lain yang baunya tajam. Anjing pelacak milik Bea Cukai di bandar Halim Perdanakusuma, Jakarta, misalnya, pernah menangkap penyelundup narkotik yang menyembunyikan barangnya dalam sedotan limun, yang disisipkan di antara lapisan kardus. Di sekitar kardus tadi ditaruh kapur barus. Maksudnya, tentu, agar bau narkotik tidak terendus. Nyatanya, penyelundup itu bisa ditangkap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus