Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL - Pembangunan ekonomi di era globalisasi sangat ditentukan oleh kemampuan suatu negara dalam mengelola potensi kekayaan intelektual (KI) yang dimilikinya. Hal ini telah dibuktikan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Republik Korea, dan Tiongkok. Menurut Dr. Andrie Soeparman dari Ditjen Kekayaan Intelektual Kemenkumham, sistem KI terbagi dalam lima level: pengenalan KI, pendaftaran KI, manajemen KI, KI sebagai nilai ekonomi, dan KI sebagai poros ekonomi. Dengan teknologi dan pengetahuan yang menjadi faktor penting, sistem paten menjadi pendorong utama inovasi dan pembangunan ekonomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Negara-negara maju tersebut menunjukkan dominasi pendaftaran paten domestik yang jauh lebih tinggi dibanding pendaftaran paten asing. Berdasarkan data IP5 Office pada tahun 2022, pendaftaran paten domestik di Eropa mencapai 43 persen, Jepang 76 persen, Republik Korea 77 persen, Tiongkok 90 persen, dan AS 46 persen. Di sisi lain, Indonesia masih tertinggal dengan pendaftaran paten domestik sekitar 15 persen. Industri KI di Amerika Serikat telah menjadi poros ekonomi nasional dengan nilai PDB mencapai $6,6 triliun, menyumbang 38,2 persen dari total PDB negara tersebut. Kontribusi KI di Indonesia, sementara itu, hanya sekitar 7 persen dari total PDB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Asian Development Bank (2017), strategi komprehensif yang berfokus pada inovasi dengan kebijakan strategis aktif adalah satu-satunya cara untuk keluar dari middle income trap. Kebijakan strategis ini diterapkan melalui ekosistem inovasi yang diperkuat dengan pelindungan KI, atau disebut ekosistem KI. Ekosistem ini merupakan siklus berkelanjutan dalam berkreasi dan berinovasi dengan tiga elemen utama: kreasi, proteksi, dan utilisasi KI. Melalui sinergi dan kolaborasi seluruh pemangku kepentingan, ekosistem KI diibaratkan sebagai kendaraan yang bahan bakarnya adalah kreasi KI dan dilengkapi minyak pelumas berupa proteksi KI untuk menggerakkan mesin utilisasi KI, memacu pertumbuhan ekonomi nasional.
Tiongkok melalui Strategi Nasional Berbasis Ekosistem KI tahun 2010, berhasil menjadi negara dengan permohonan pendaftaran KI tertinggi di dunia pada tahun 2020, menggeser posisi Amerika Serikat. Pada tahun 2035, Tiongkok menargetkan menjadi "the powerful intellectual property nation". Untuk mencapai visi "Indonesia Emas 2045" dan keluar dari middle income trap, Indonesia harus menempuh empat peluang: populasi, hilirisasi, digitalisasi, dan inovasi berbasis Ekosistem KI. Ini dapat dicapai dengan menerapkan Strategi Pembangunan Ekonomi di Era Digital Berbasis Ekosistem KI.
Potensi KI Nasional terbagi dalam tiga tingkat piramida: pemberdayaan ekonomi masyarakat dan kewirausahaan, pengembangan sumber daya alam
dan budaya nasional, serta pengembangan teknologi frontier. Tingkat pertama, pemberdayaan ekonomi masyarakat dan kewirausahaan, menjadi pondasi potensi KI nasional yang melibatkan sektor UMKM dan Ekonomi Kreatif berbasis kewirausahaan. Tingkat kedua, pengembangan sumber daya alam dan budaya nasional, bertujuan mengembangkan SDA dan budaya nasional melalui kreativitas dan inovasi di bidang seni, sastra, desain, dan teknologi. Tingkat ketiga, pengembangan teknologi frontier, berfokus pada teknologi kunci yang dapat bersaing di era digital, termasuk teknologi digital, fisik, dan biologis.
Potensi KI di Indonesia mencakup KI personal, yang dimiliki secara individual seperti hak cipta dan properti industri (paten, merek, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, dan varietas tanaman), serta KI komunal yang dimiliki secara kolektif seperti sumber daya genetik, pengetahuan tradisional, ekspresi budaya tradisional, dan indikasi geografis.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan potensi KI yang berasal dari alam dan budaya. Kondisi ini mendukung keberadaan pariwisata sebagai motor penggerak ekosistem KI. Strategi industri pariwisata berbasis KI telah diterapkan di berbagai negara untuk memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi mereka. Salah satu contoh sukses adalah Indikasi Geografis "Edam Cheese" di Belanda, yang memanfaatkan indikasi geografis tersebut sebagai branding dari situs pariwisata. Hal ini terbukti memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, seperti terlihat dari nilai ekspor keju Edam yang mencapai €329.593.000 pada periode 2008-2021, jauh lebih tinggi dari nilai impornya €33.460.000.
Indonesia juga telah melaksanakan upaya membangun branding melalui potensi-potensi KI berbasis komunitas, antara lain program One Village One Brand (OVOB) dari Kemenkumham, One Village One Product (OVOP) dari Kemenperin, dan One Village One Variety (OVOV) dari Kementan. Program-program ini mendukung program “Desa Wisata” yang digagas oleh Kemenparekraf, Kemendes PDTT, KemenLHK, KemenKUKM, dan KKP. Sinergi dan kolaborasi antara program OVOB, OVOP, dan OVOV akan membentuk Desa Wisata Mandiri berbasis KI (IP Tourism) melalui destination branding with community based tourism menuju wisata berkelanjutan. Pelindungan KI menjadi bagian penting dalam membangun destination branding melalui pelindungan merek kolektif, indikasi geografis, desain industri, paten, hak cipta, dan varietas tanaman.
Di negara-negara yang telah berhasil membangun ekosistem KI dengan baik, seperti AS, Eropa, Jepang, Republik Korea, dan Tiongkok, terdapat lembaga pengembangan kapasitas dan pemanfaatan data-informasi KI atau IP Academy. Pembentukan IP Academy di Indonesia menjadi suatu kebutuhan mendesak. Data dan informasi KI di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dan lembaga terkait lainnya, saat ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh pemangku kepentingan ekosistem KI untuk kepentingan bisnis mereka. Republik Korea, sebagai contoh, telah berhasil membangun ekosistem KI dengan menempatkan Strategi Nasional KI mereka langsung di bawah kendali Perdana Menteri melalui pembentukan Presidential Council on Intellectual Property dan Kantor Strategi dan Perencanaan HKI pada tahun 2011. Lembaga ini melibatkan sembilan kementerian, Fair Trade Commission, National Intelligence Service, KIPO, serta anggota sipil seperti ahli KI. Penerapan ekosistem KI di Republik Korea dilakukan oleh lembaga publik dan pemerintah yang bersinergi dalam siklus ekosistem KI.
Di Indonesia, pengelolaan KI perlu digalakkan baik di tingkat nasional maupun daerah. Pembentukan Tim Nasional Pengelolaan Potensi KI (Timnas PPKI) yang dipimpin oleh Presiden diperlukan melalui strategi: membangun kreativitas dan inovasi; perolehan HKI, pengembangan kapasitas, pemanfaatan data dan informasi KI, promosi KI, dan penegakan HKI; serta pemanfaatan KI sebagai poros ekonomi nasional. Timnas PPKI terdiri dari unsur pemerintah dan non-pemerintah seperti ahli, akademisi, industri, dan usaha. Di tingkat wilayah, perlu dibentuk Tim Wilayah PPKI yang dipimpin oleh Gubernur dengan anggotanya yang terdiri dari unsur pemerintah daerah dan non-pemerintah daerah seperti ahli, akademisi, industri, dan usaha. Timwil ini memiliki tugas untuk membentuk Strategi Wilayah PPKI.(*)