Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL – Indonesia sebetulnya bisa meninggalkan plastik Bisfenol-A (BPA) dan memlilih plastik yang lebih aman untuk kemasan makanan dan minuman. Jepang adalah contoh yang paling tepat.
“Jepang sudah meninggalkan plastik BPA dan beralih 100 persen ke plastik Polietilena tereftala (PET) untuk kebutuhan kemasan di negeri itu,’ kata pengajar dan peneliti pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Prof. Mochamad Chalid, pada awal pekan ini.
Pada minggu pertama Agustus, Prof. Chalid baru mengikuti workshop di Tokyo, Jepang, tentang penggunaan plastik berbahan Polyethylene Terephthalate atau disingkat PET, plastik yang dikenal relatif aman dan digunakan untuk kemasan makanan dan botol minuman di seluruh dunia.
Lebih jauh, Prof. Chalid mengatakan, sejauh riset yang ada sudah bisa dikonfirmasi bahwa, “tidak ditemukan pelepasan senyawa antimon berbahaya dalam kemasan plastik PET. Di sisi lain, juga belum ditemukan adanya indikasi munculnya endokrin disruptor (senyawa yang bisa mengganggu sistem hormon tubuh) dalam penggunaan plastik PET,” katanya.
Sebelumnya, jelang peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) memberi dukungan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk memberlakukan regulasi pelabelan BPA pada kemasan plastik, khususnya galon isi ulang polikarbonat, demi keamanan dan perlindungan kesehatan masyarakat.
PB IDI menyebutkan, sejumlah negara sudah menerapkan pengaturan spesifik BPA pada kemasan pangan. Perancis sudah melarang penggunaan BPA pada seluruh kemasan kontak pangan. Negara bagian California di Amerika Serikat mewajibkan produsen untuk mencantumkan label ‘kemasan ini mengandung BPA yang berpotensi menyebabkan kanker, gangguan kehamilan dan sistem reproduksi’.
“Sejumlah negara lain seperti, Denmark, Austria, Swedia, dan Malaysia, juga sudah melarang penggunaan BPA pada kemasan makanan dan minuman untuk konsumen usia rentan 0-3 tahun,” kata Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Tidak Menular PB IDI Agustina Puspitasari, dalam keterangan tertulisnya 15 Agustus 2022.
Penelitian menunjukkan, BPA bisa menimbulkan gangguan hormon kesuburan pria maupun wanita, diabetes dan obesitas, gangguan jantung, penyakit ginjal, kanker hingga gangguan perkembangan anak. Dengan segala risiko kesehatan tersebut, wajar bila masyarakat berhak mendapat perlindungan melalui label kemasan berisi informasi yang benar.
Dukungan kepada BPOM RI juga datang dari kalangan akademisi dan peneliti seperti epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono. Menurutnya, regulasi BPOM untuk pelabelan pada galon BPA adalah langkah konsisten untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Menurut Pandu, kekhawatiran terkait bahaya BPA adalah sifatnya global dan bisa diukur dari regulasi ketat di banyak negara, di mana kemasan pangan tidak diperbolehkan lagi menggunakan wadah yang mengandung BPA. "Di beberapa negara bahkan ada kewajiban pelabelan 'Free BPA' (Bebas BPA), tujuannya untuk edukasi masyarakat," katanya mendukung hadirnya regulasi serupa di Indonesia.
Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) Sofyan S. Panjaitan mengatakan, semua pihak perlu mendukung dan mendorong lahirnya regulasi pelabelan BPA. "Sudah hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar dan tidak menyesatkan, khususnya via Label & Iklan Pangan," katanya belum lama ini.
Sofyan berharap regulasi BPA nantinya bisa dikembangkan secara menyeluruh terhadap semua kemasan pangan berbahan plastik. Sejauh ini, Indonesia dan Vietnam adalah contoh dari sedikit negara berkembang yang belum meregulasi kemasan galon BPA. (*)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini