Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semua Bergerak Mengelola Sampah

Terdapat beberapa pasal yang belum dilaksanakan secara benar berdasarkan UU tentang Pengelolaan Sampah

22 Februari 2023 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengelola Bank Sampah Bintang Mangrove memilah sampah plastik yang dijual warga di Bank Sampah Bintang Mangrove di Gunung Anyar Tambak, Surabaya, Kamis, 9 Mei 2019. Bank ini dikelola oleh warga setempat. ANTARA/Zabur Karuru

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFO NASIONAL – Hasil riset Jenna Jambeck pada tahun 2015 yang mengatakan Indonesia menjadi negara kedua pembuang sampah plastik ke laut menjadikan Indonesia melek mata. Hal itu dikatakan Juru Bicara Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) Felicita Sathrieyanti dalam menanggapi adanya Hari Peduli Sampah Nasional yang jatuh setiap 21 Februari.

“Ada nilai positifnya, adanya statement itu akhirnya membuat Indonesia menjadi melek mata. Artinya meskipun kita mempunyai Undang-Undang tentang Pengelolaan Sampah yang dikeluarkan sejak tahun 2008, tetapi terdapat beberapa pasal yang belum dilaksanakan secara benar berdasarkan UU tersebut,” kata dia.

Felicita lalu mencontohkan, salah satunya aturan tidak boleh mendirikan Tempat Pembuangan Akhir (TPA), pada kenyataannya kata dia, banyak sekali TPA-TPA bermunculan kembali. “Sebenarnya dalam UU juga ada tindakan hukum, namun tidak dilaksanakan. Sementara bagi industri daur ulang, di dalam UU semestinya mendapatkan insentif, tetapi hingga sekarang belum ada sama sekali insentif yang diberikan.”

Adanya statement itu, lanjut Felicita, menjadikan Indonesia membuat berbagai kebijakan. “Keluarlah Rencana Aksi Nasional (RAN) yang menargetkan pengurangan sampah sebesar 30 persen dan 70 persen pengelolaan sampah di tahun 2025.”

Bagi ADUPI, adanya RAN tersebut memiliki nilai positif. Masyarakat, pemerintah, produsen, berlomba-lomba mencari cara untuk penanganan sampah di Indonesia. “Bagaimanapun kita tidak bisa copy paste penangan sampah di beberapa negara. Walaupun bisa ambil sisi positif negara-negara itu dalam mengelola sampah.”

Hal itu, kata Felicita, dikarenakan terdapat perbedaan pada masyarakat. “Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau, tidak bisa disamakan dengan pengelolaan sampah di luar negeri.”

Adanya statement-statement pengelolaan plastik menjadikan ADUPI diberikan kesempatan untuk memberikan masukan kepada pemerintah. Apalagi saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) banyak mengeluarkan peraturan-peraturan yang mendukung adanya pengelolaan sampah yang lebih sirkular ekonomi.

Selain nilai positif, Felicita juga melihat dampak negatifnya dari adanya statement tersebut. Pemerintah banyak mengeluarkan statement pelarangan-pelarangan tentang plastik. “Padahal plastik-plastik yang dilarang itu sangat mudah untuk didaur ulang seperti plastik kresek, sedotan, styrofoam. Yang menyebabkan sampah di laut bukan produknya tetapi bagaimana masyarakat membuangnya.”

Direktur Pengelolaan Sampah KLHK Novrizal Tahar menuturkan, dalam satu dekade ini semua bergerak mulai dari produsen, masyarakat, pemerintah pusat dan daerah. “Semua bergerak,” kata dia kepada Tempo, Selasa 21 Februari 2023 malam.

Memang, lanjut dia, belum 100 persen atau belum tuntas, namun pergerakannya sudah luar biasa. “Semua sudah berkolaborasi. Menurut saya, ini satu kondisi yang sangat jauh yang saya lihat dalam satu dekade ini.”

Dia mengatakan terdapat perubahan-perubahan, salah satunya dari sisi produsen. Adanya kebijakan baru yang dikeluarkan tahun 2019 yaitu Extended Producer Responsibility (EPR) membuat beberapa industri besar membangun industri recycling botol berbahan Polyethylene terephthalate (PET). “Itu kan merupakan respon yang baik dari produsen.”

Salah satunya komitmen Mayora Group dan Le Minerale dalam mengaplikasikan peta jalan sampah perusahaan, didirikanlah PT. Bumi Indus Padma Jaya (BIPJ), pabrik daur ulang plastik khusus PET yang memenuhi standar keamanan pangan (foodgrade).

Sementara perubahan dari masyarakat, kata Novrizal, bisa dilihat dari partisipasi publik. “Kita bisa lihat tumbuhnya gerakan-gerakan masyarakat dengan social entrepreneur, walaupun saat ini tidak hanya gerakan masyarakat saja namun bergerak menjadi business social.”

Dari pemerintah, kata Novrizal, dengan mengupayakan peningkatan target penurunan emisi gas rumah kaca pada 2030 dari yang sebelumnya 29 persen dengan upaya sendiri menjadi 31,89 persen. Peningkatan target itu tertuang dalam dokumen bertajuk Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) yang disampaikan Indonesia ke dunia internasional.

Salah satu upaya penurunan emisi gas rumah kaca dengan adanya kebijakan less landfill. “Hampir 514 kabupaten/kota punya TPA. Makanya untuk 2030 dan pasca 2030 jangka panjang, pasti kebijakannya less landfill untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.”

Kemudian, lanjut dia, membangun upaya-upaya perilaku masyarakat dengan gaya hidup minim sampah. Mulai membatasi penggunaan plastik sekali pakai, belanja tanpa kemasan, pilah sampah dari rumah, habiskan makanan, ngompos di rumah. “Terakhir, upaya mitigasi kita karena sistem landfill itu menjadi less landfill policy tentu kita perlu membangun pengolahan sampah.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prodik Digital

Prodik Digital

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus