Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL - Menuju usia lima abad pada 2027, Jakarta terus berbenah sebagai kota global. Heterogenitas penduduknya menjadi potret kekayaan budaya sekaligus tantangan dalam menjaga harmoni. Di sisi lain, kemajuan transportasi publik yang semakin modern memberi harapan baru bagi mobilitas yang lebih baik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jakarta masih bergulat dengan masalah klasik, seperti kemacetan, banjir, serta isu keamanan, dan kriminalitas. Di tengah dinamika ini, sejumlah warga yang sedang berwisata di Monumen Nasional (Monas) pada libur Natal dan tahun baru, menyatakan pendapat tentang Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bisam Asadi, mahasiswa sebuah perguruan tinggi negeri, harus menembus kemacetan Jakarta dengan mengendarai sepeda motor untuk mencapai kampusnya. Orang tuanya bermukim di kawasan Grogol, Jakarta Barat, sedangkan kampus Bisam di selatan Jakarta. Terkadang ia memilih KRL Commuter Line demi terhindar dari padatnya jalan raya.
Setiap hari, Bisam menjumpai orang dengan berbagai latar belakang. “Menurut gue, Jakarta adalah kota yang sangat heterogen. Dari kaum paling atas, atas, tengah, bawah, dan paling bawah. Semua berkumpul di Jakarta,” ujarnya saat bertemu Tempo pada Jumat, 27 Desember 2024.
Rekan kampusnya, Muhammad Alfan menganggap keberagaman itu menciptakan sejumlah kondisi. Sebagai pemuda yang bertumbuh besar di kawasan Sunter, Jakarta Utara, dia melihat masih kurangnya rasa aman dan kenyamanan. “Tingkat kriminalitas masih cukup tinggi,” kata Alfan.
Selain kriminalitas, dia menambahkan, kenyamanan warga Jakarta kian terancam dengan isu banjir rob yang mulai meluas. “Kemarin ada berita banjir rob sudah mendekati Jakarta International Stadium (JIS). Dekat rumah jadi ikut kebanjiran terdampak luapan dari PLTU,” ucapnya. “Jadi, masalah terbesar di Jakarta adalah banjir. Dari zaman dulu sampai sekarang tetap masalah.”
Gevira Zahira atau biasa dipanggil Gea, mahasiswi sebuah universitas di Rawamangun, Jakarta Timur, berpendapat ancaman banjir tidak hanya dialami wilayah pesisir. Kawasan lain mengalami nasib serupa. “Sepertinya Pemerintah Provinsi Jakarta harus perhatikan pembenahan tata kelola kota,” kata dia.
Tata kelola, menurut Gea, berarti merancang pembangunan secara cermat, seperti kebijakan izin pendirian bangunan, termasuk menyiapkan gorong-gorong, saluran pembuangan, dan resapan air. “Sekarang aneh, kalau hujan sebentar tahu-tahu sudah banjir. Padahal sebelumnya enggak pernah banjir. Mungkin karena yang awalnya banyak tanah lapang jadi resapan air dan sekarang dibangun rumah atau perumahan,” ucapnya.
Mahasiswi lain yang ditemui Tempo, Jasmine Alkarema kaget ketika kali pertama tiba di Jakarta. Dia berasal dari Kuningan, Jawa Barat, yang masih berhias langit biru. “Di sini polusi. Beda banget dengan di kampung yang udaranya masih bersih. Di sana juga belum banyak mobil, sedangkan di sini ke mana-mana macet,” ucapnya.
Kendati begitu, Jasmine yang tinggal bersama neneknya di Pademangan, Jakarta Utara, salut dengan perkembangan transportasi publik yang semakin modern. “Transportasi di sini mudah karena banyak macamnya. Tempat wisata dan mal juga banyak,” ujar dia.
Senada, Muslimin, karyawan swasta yang bermukim di Tangerang Selatan, menilai pemerintah harus mengembangkan transportasi publik sehingga terkoneksi ke kota-kota penyangga. Jalan-jalan di wilayah pinggiran kota juga terus ditingkatkan kapasitasnya guna mempermudah mobilitas masyarakat. “Iya, tidak terlalu macet, sudah lebih tertata dan banyak pelebaran jalan. Di perempatan-perempatan dulu macet, sekarang lebih lancar, mungkin karena jalan semakin dilebarkan,” ucapnya. (*)