Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL-Capaian sektor perikanan selama periode 2015-2021menjadi motivasi dalam percepatan pembangunan perikanan. Capaian ini terjadi ditengah penguatan visi sektor kelautan dan perikanan sebagai “prime mover” ekonomi nasional. Kontribusi sektor maritim sebesar 6,04 persen terhadap PDB padatahun 2016 belum menunjukkan kekuatan penuh dari sektor ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk sektor perikanan,kontribusi PDB selama 10 tahun terakhir masih berkisar pada 2,09-2,80 persen, walaupun terlihat tren peningkatan sejak 2011-2020. Produksi perikanan budidaya dan perikanan tangkap pada 2018 terlihat sedikit meningkat ditengah dekonstruksi kapal perikanan.Namun, fenomena produksi yang relatif konstan pada periode 2015-2021 seharusnya dapatmenjaditolok ukur bahwa potensi stok ikan dan potensi area budidaya yang ada belum dimanfaatkan secara optimal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peningkatan produksi ikan tangkap dan budidaya mendorong tumbuhnya konsumsi ikan dalam negeri seiring dengan stagnasi ekspor hasil perikanan. Namun, neraca ekspor ini belum menunjukkan peningkatan yang signifikan di tengah melambungnya nilai dolar sejak 2018. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih terdapat cukup ruang pertumbuhan dalam sektor perikanan dan kelautan. Faktanya,realisasi investasi di perikanan budidaya, dan tangkap juga masih relatif rendah. Di sisi lain, keberadaan luas kawasan konservasi yang sudah mencapai lebih dari 20 juta hektare belum optima lbergerak meningkatkan kontribusi dari sektor ini.
Sektor kelautan dan perikanan tentunya mempunyai potensi besar untuk didorong dan ditingkatkan guna mewujudkan Visi Indonesia 2045, yaitu berdaulat, maju, adil, dan makmur. Namun, setidaknya ada dua hal penting yang harus segera diselesaikan oleh sektor ini untuk tumbuh dan berkembang sesuai harapan.
Bagian pertama terkait perlunya menerapkan desain sistemik untuk mewujudkan tata kelola kelautan dan perikanan yang bergerak menuju satu tujuan melalui kerangka ruang ekonomi kelautan berbasis Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Kompleksitas perikanan nasional membuat pengelolaan tidak dapat dilakukan dengan pendekatan kebijakan tunggal (one-size-fits-all approach).
Indonesia memiliki 11 WPP Perairan Laut dan 14 WPP Perairan Darat yang mewakili karakteristik dan dinamika ekologi, sosial-ekonomi, dan kompleksitas pengelolaan. WPP dapat dikembangkan menjadi basis pembangunan ekonomi (WPP based economy). Pembangunan ekonomi ini didorong dengan memberikan ruang pada pencapaian common objectives di setiap WPP dengan tetap menjadikan national interests sebagai referensi utama.
Bagian kedua terkait penyelesaian salah satu persoalan klasik, namun krusial dan menyita waktu, tenaga dan sumber daya, yaitu upaya harmonisasi kebijakan dan pelaksanaan pembangunan sektor kelautan dan perikanan.
Tiga Isu Hamonisasi
Ada berbagai Undang-Undang yang saling beririsan dan menjadi pondasi pembangunan ekonomi perikanan dan kelautan, mulai dari UU No 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil, UU No 26 Tahun 2006 tentang Penataan Ruang, UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,hingga yang terbaru UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Paling tidak terdapat tiga isu yang sangat strategis dari irisan kebijakan yang saling terkait ini.
Pertama, harmonisasi kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Jika dilihat dari kacamataUU yang saling terkait tersebut, maka sesungguhnya peran terbesar dalam mempercepat sinkronisasi dan reformasi ada pada tingkat provinsi. Untuk itu langkah pendampingan dan asistensi pada pemerintah provinsi harus dipercepat. Disisi lain, perlu diperkuat mekanisme tata kelola antara kewenangan yang menjadi program turunan kementerian dengan pemerintah daerah.
Sebagai contoh, kewenangan terhadap pungutan dan retribusi di kawasan konservasi perairan yang seringkali menimbulkan friksi dalam tata kelola. Kondisi ini jelas akan membebani dan menghambat investasi, pengembangan usaha dan konservasi, bahkan bisa menyebabkan terjadinya kekosongan pengawasan, dan resiko kerawanan kerusakan ekosistem. Maka implementasi pengelolaan kelautan dan perikanan di Indonesia memerlukan adaptasi dan perubahan mindset baik struktural maupun fungsional, baik di tingkat pusat maupun daerah, yang memastikan sektor ini dapat adaptif dan agile bergerak.
Kedua, harmonisasi koordinasi pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam menumbuhkan iklim investasi. Batasan kewenangan yang sering beririsan dan berbeda tafsir dapat jelas sangat merugikan pengembangan usaha kelautan dan perikanan. Investor tidak akan nyaman dalam berinvestasi apabila tidak dapat didefenisikan intercept antara berbagai undang-undang terkait dengan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta peraturan turunan dari berbagai kementerian terkait.
Sebagai contoh, penyelesaian rencana zonasi sebagai produk turunan dari UU No 1 Tahun 2014 merupakan modalitas penting investasi. Selanjutnya perlu didesain mekanisme benefit sharing antara pemerintah pusat dan daerah yang inovatif memacu kinerja pengelolaan.Pendekatan pengelolaan berbasis WPP menyediakan ruang bagi koordinasi dan integrasi vertikal antara pusat dan daerah, serta integrasi horizontal antar Kementerian/Lembaga, dan antardaerah yang berada dalam sebuah WPP yang sama.
Ketiga,harmonisasi Rencana Pengelolaan Perikanan setiap WPP dengan perencanaan pembangunan nasional dan daerah.Perencanaan pembangunan nasional mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), sedangkan perencanaan pembangunan di daerah dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
RPJMN 2020-2024 secara terang telah menyebutkan WPP sebagai basis bagi perencanaan pembangunan di sektor kelautan dan perikanan. Hal ini tentu sangat relevan karena WPP merupakan unit kewilayahan yang meliputi seluruh perairan Indonesia mulai dariperairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, dan zona ekonomi eksklusif Indonesia. Selanjutnya, WPP juga mencakup seluruh aktivitas di perairan karena merupakan wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan.
Maka, sinkronisasi ketiga dokumen perencanaan ini menjadi kunci bagi harmonisasi kebijakan dan pelaksanaan pembangunan kelautan dan perikanan. Perencanaan perikanan WPP sebaiknya menggunakan pendekatan quasi bottom-up dimana karakteristik WPP menjadi pertimbangan utama dalam arah pembangunan, namun dengan tetap tegak lurus mengacu pada kebijakan strategis nasional yang sudah ditetapkan oleh pemerintah melalui dokumen perencanaan seperti RPJMN dan RPJMD.
Bagi Indonesia, mengelola sektor kelautan dan perikanan merupakan sebuah keniscayaan karena memiliki wilayah laut dan ekosistem perairan yang lebih luas daripada wilayah daratannya. Ditambah lagi, sektor ini memiliki nilai penting yang multi-peran mulai dari lingkungan hidup, pangan, ekonomi, kedaulatan, hingga sosial budaya, yang tentu tidak mudah untuk dikelola. Tata kelola kelautan dan perikanan pada dasarnya adalah mengharmonisasi keterlibatan, peran serta dan interaksi antarpihak yang terkait.(*)
Ditulis oleh Direktur Kelautan danPerikanan, Kementerian PPN/ BAPPENAS Dr. Sri Yanti Wibisana