Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Implementasi PPN 12 Persen, Dampak pada Inflasi Bersifat Temporer

Beberapa faktor membuat kondisi inflasi Indonesia akan tetap rendah meskipun terdapat kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen

25 Desember 2024 | 23.41 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi inflasi 2025. Dok. Akusara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFO NASIONAL – Kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Adanya kenaikan ini akan memberikan dampak kepada inflasi.

Pengamat Pajak Yustinus Prastowo memastikan, ketika PPN 12 persen mulai berlaku maka inflasi pasti terjadi. “Karena kenaikan PPN itu berdampak kepada kenaikan harga,” Kata dia.

Tetapi, Yustinus juga memastikan, belajar dari pengalaman sebelumnya, kenaikan inflasi tidak terlalu besar dan sifatnya temporer atau tidak permanen. “Seperti kenaikan pada bahan bakar minyak meskipun memberikan dampak inflasi, tetapi bersifat temporer,” ucap dia, baru-baru ini.

Adanya Tim Pengendali Inflasi menurut Yustinus harus terus diefektifkan. “Tinggal dilihat saja, komoditas apa yang mesti di capture untuk melihat dinamika di lapangan,” kata dia.

Yustinus juga mengingatkan agar daerah tidak menggunakan cara-cara yang tidak terorganisir untuk menghasilkan inflasi yang rendah. “Semua harus diorkestrasi oleh pusat, jangan sampai daerah karena sedang menekan inflasi sampai mengorbankann pertumbuhan ekonominya.”

Diketahui tingkat inflasi Indonesia pada November 2024 sebesar 1,55 persen (yoy), angka itu relatif lebih rendah dari negara-negara lain misalnya saja Filipina 2,5 persen dan Vietnam 2,9 persen.

Ekonom Bank Permata, Josua Pardede memastikan, kondisi inflasi Indonesia akan tetap rendah meskipun terdapat kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, pertama, kenaikan tarif PPN sebagian besar difokuskan pada barang dan jasa yang dikonsumsi oleh kelompok masyarakat menengah ke atas, termasuk barang mewah seperti beras premium, daging wagyu, dan layanan pendidikan premium.

“Sementara itu, barang kebutuhan pokok seperti beras biasa, gula, dan susu segar tetap dibebaskan dari PPN, sehingga dampak terhadap inflasi konsumsi rumah tangga yang lebih luas tetap minimal,” kata dia.

Kedua, lanjut Josua, pemerintah memberikan insentif signifikan dalam bentuk pembebasan PPN pada beberapa sektor penting seperti kesehatan, pendidikan, transportasi umum, dan UMKM. Total insentif perpajakan PPN diproyeksikan mencapai Rp 265,6 triliun pada 2025. Kebijakan ini membantu mempertahankan daya beli masyarakat secara keseluruhan, meskipun terjadi kenaikan tarif PPN.

Ketiga, inflasi volatile food mengalami penurunan akibat stabilisasi harga pangan, yang juga didukung oleh berbagai kebijakan pemerintah untuk menjaga suplai dan subsidi pangan. “Hal ini tentunya akan mengimbangi potensi tekanan inflasi akibat kenaikan PPN,” ucap dia.

Keempat, menurut Josua, struktur PPN yang baru, termasuk pembebasan dan insentif yang selektif, dirancang untuk mengurangi beban langsung pada kelompok masyarakat rentan. Sebagai contoh, barang-barang yang sangat diperlukan seperti air bersih dan listrik dengan daya tertentu tetap bebas PPN, memastikan bahwa dampak kenaikan tarif PPN pada inflasi inti tetap terkendali.

“Terakhir, indikator ekonomi menunjukkan konsumsi rumah tangga yang stabil dan bahkan meningkat, diperkirakan tumbuh 4,9 persen YoY pada 2024. Ini menunjukkan bahwa daya beli tetap kuat meskipun ada penyesuaian tarif pajak,” kata Josua. (*)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fifia Asiani

Fifia Asiani

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus