Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL – Soffa Ihsan menyadari, masalah terorisme di Indonesia tidak hanya soal kekerasan, tetapi juga tentang perasaan keterasingan dan kurangnya akses terhadap ilmu pengetahuan. Hal itu dia sadari setelah diundang sebuah lembaga swadaya masyarakat untuk menghadiri kegiatan sosialisasi bagi para eks napiter di Poso dan Palembang sekitar satu dekade lalu.
Sempat meneliti tentang radikalisme, Soffa diperkenalkan dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2012, ketika lembaga itu masih berkantor di Jalan Imam Bonjol. Melalui salah satu organisasi masyarakat sipil yang bekerja sama dengan BNPT, Soffa mulai terlibat dalam berbagai program. Dia membantu menyusun panduan, modul, dan SOP untuk pencegahan radikalisme di berbagai sektor.
"Saya menaruh hormat pada BNPT yang memberikan jasa sangat besar. Dari situlah saya bisa mengenal dunia seperti ini,” kata Soffa. “Dunia seperti ini nggak terbayang waktu kecil," tambah dia.
Soffa juga beberapa kali terlibat dalam berbagai kegiatan penanggulangan terorisme, mulai dari resosialisasi hingga deradikalisasi, termasuk di NTT dan wilayah lain yang kerap menjadi pusat radikalisme.
Pengalaman Soffa sebagai peneliti budaya juga menambah kedalamannya dalam melihat fenomena radikalisme di tanah air. Dunia Soffa yang tak pernah jauh dari rimba raya literasi membuatnya teguh menyusuri jalan yang terbilang sunyi ini.
"Saya mencoba untuk melakukan sesuatu walaupun kecil. Yang penting bagi saya itu passion, saya punya ghirah, nothing to lose. Ini yang saya kerjakan. Saya pecinta buku sejak kecil," kata dia.
Bersama Rumah Daulat Buku atau Rudalku, Soffa memulai perjalanan sunyi melawan radikalisme—tidak dengan teriakan atau senjata, melainkan lewat lembaran-lembaran buku yang mengubah hidup.
"Rumah tanpa perpustakaan itu seperti tubuh tanpa jiwa," katanya sambil mengutip Cicero, filsuf Romawi yang menjadi salah satu inspirasinya. Kutipan itu, bagi Soffa, tidak hanya sekadar kata mutiara, tetapi juga prinsip yang dia tanamkan kepada puluhan eks-narapidana terorisme (napiter) yang kini tergabung dalam gerakannya.
Lewat Rudalku, Soffa ingin mendobrak stigma sekaligus membangun kembali jembatan antara eks napiter dan masyarakat luas, sembari menanamkan semangat kebangsaan dan Islam moderat. Bagi Soffa, rumah tidak sekadar tempat tinggal; namun merupakan basis gerakan. Dan dari sinilah gagasannya merangkul para eks napiter melalui buku lahir. Dari kisah Soffa terungkap bahwa perdamaian bukan hanya soal menentang kekerasan, tapi juga soal pendidikan, budaya, dan rasa kebersamaan.
Gerakan Rudalku: Rumah Buku untuk Perdamaian
Rudalku terbentuk dari keyakinan Soffa bahwa membaca adalah jalan efektif menuju perubahan. Program Rudalku berupaya menciptakan ruang baca di rumah-rumah eks napiter, lengkap dengan buku dan rak yang disediakan oleh komunitasnya.
Konsep Rudalku lahir dari filosofi yang sederhana namun mendalam. Rumah menjadi basis gerakan, buku sebagai sarana, dan literasi sebagai jalan. Gerakan ini tidak hanya membagi buku, tetapi mendorong eks napiter untuk membuat perpustakaan mini di rumahnya.
“Rudalku itu sebuah wadah. Saya dulu buat istilah itu memang ada nilai filosofisnya. Rumah Daulat Buku. Jadi, konsepnya adalah komunitas literasi yang khusus untuk para eksnapiter ini dan keluarganya," kata Soffa yang menyebut dirinya sebagai "marbot" Rudalku.
Program ini mengajak para eks napiter untuk menciptakan taman baca di rumah masing-masing. Lewat perpustakaan kecil ini, keluarga dan lingkungan mereka diperkenalkan pada nilai-nilai kebangsaan dan Islam yang moderat.
Dengan membawa bacaan positif, Soffa berharap para eks napiter dapat menanamkan pemahaman Islam yang lebih mendalam dan terbuka pada keluarganya. Melalui literasi, Rudalku menekankan kembali pentingnya membaca sebagai cara untuk mengikis paham radikal yang sering kali tumbuh dari pemahaman sempit.
Rudalku, kata Soffa, bukan sekadar program bagi-bagi buku. Di sinilah Rudalku menjadi berbeda dari pendekatan lain. “Saya tidak hanya ingin memberi buku,” kata Soffa, “saya ingin mereka memahami dan menjadikan buku sebagai bagian dari kehidupan mereka.”
Tak mudah bagi Soffa untuk mensukseskan gerakan ini. Terakadang rintangan datang dari berbagai arah, termasuk kondisi ekonomi para eks napiter yang seringkali memprihatinkan. Kondisi yang sulit ini tak membuat Soffa patah arang, justru tekadnya menguat. Jerih payahnya terbayar bukan dengan uang atau nilai material lain, namun via penyingkapan peristiwa-peristiwa menyentuh kalbu yang dihadapkan Tuhan kepadanya, terutama lewat orang-orang yang dia rangkul.
“Saya sempat menangis haru ketika seorang eks napiter mengirimkan foto perpustakaannya lengkap dengan banner Rudalku. Itu menjadi pengingat bahwa langkah kecil saya ada dampaknya,” katanya mengenang satu dari sekian banyak momen indah yang ia dapat sepanjang perjalanan membangun Rudalku.
Hingga kini, lebih dari 40 perpustakaan mini telah didirikan lewat Rudalku, tersebar di berbagai wilayah seperti Jabodetabek, Jawa Tengah, Palembang, dan Medan. Semua perpustakaan ini dikelola secara mandiri oleh para eks-napiter dengan dukungan minimal dari Soffa. (*)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini