Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INFO NASIONAL — Formasi lingkaran terbentuk di atas pentas. Sebanyak 31 penari menjadikannya dinamis karena setiap tubuh melenggok. Di tengah lingkaran, seorang ibu tua–mewakili mother earth (ibu pertiwi)–didampingi dua pasang pengawal, laki-laki dan perempuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tetiba, di bagian belakang satu penari naik ke pundak rekannya dan mengibarkan bendera ASEAN. Sontak, 26 penari lainnya menangkupkan kedua tangan memberi hormat. Inilah sajian puncak kolaborasi sepuluh delagasi yang mewakili negaranya, dalam ASEAN Contemporary Dance Festival (ACDF) 2019 di Auditorium Driyarkara Universitas Sanata Dharma, Mrican, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, 13 Juli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tarian kolaborasi ini menerjemahkan misi perhelatan besar ACDF untuk memperkuat solidaritas dan meningkatkan kesalingpahaman sebagai satu komunitas bersama di bawah satu bendera, ASEAN.
"Ini adalah semangat ASEAN. Satu untuk semua, semua untuk satu. Seluruh negara ASEAN ini sudah satu jiwa di bidang kebudayaan. Ikatan kebatinan kami dengan negara-negara ASEAN sudah sangat kuat," kata Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadjamuddin Ramly.
Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadjamuddin Ramly, di acara ACDF, 13 Juli 2019.
Ketua delegasi Indonesia, Santi Dwisaputri, menjelaskan tari kolaborasi ini memiliki beberapa segmen. Pertama, bercerita tentang keunikan masing-masing negara dalam perilaku keseharian, termasuk adat dan budaya. Semua elemen itu dipadukan menjadi kesatuan utuh, digambarkan lewat olah gerak yang menjadi bentuk baru. Modern, namun tak meninggalkan gerakan tradisi.
Segmen berikutnya adalah penerjemahan cara menyikapi laju deras era modern yang menginfiltrasi kebudayaan lokal. Bagian ini berlanjut pada segmen tentang keanggunan ASEAN. “Di sini sebagai jawaban kami menyikapi arus moderen itu. ASEAN punya cara sendiri, yang membedakan dengan negara barat. Kita punya tata krama, kesopanan, ASEAN masih punya tradisi,” ujar penari yang juga sebagai pemimpin proyek penyelenggaraan ACDF ini.
Selanjutnya, jelas Santi, muncul kekuatan dalam tubuh ASEAN. Inilah jawaban terhadap berbagai pengaruh luar yang masuk. “Kita tahu ancaman sangat banyak. Ada yang ingin memecah-belah, dan lain-lain. Segmen inilah cara kita menunjukkan kekuatan negara-negara di Asia Tenggara ini,” jelasnya.
Dengan kekuatan negara-negara ASEAN, maka rasa persatuan, solidaritas, serta kebersamaan diwakili pada segmen terakhir, Harmony of ASEAN. Persatuan berarti tak boleh ada pembedaan. “ASEAN itu berarti satu orang makan, maka yang lain harus ikut. Enggak boleh ada yang kelaparan,” katanya.
Implementasi dari makna utama segmen terakhir tampak jelas pada proses pembuatan tari kolaborasi ini. Pada hari pertama kedatangan semua delegasi ke Indonesia, mereka menggelar rapat yang membahas koreografi. Belum cukup, dilanjutkan pada pertemuan berikutnya. Hasil final tercapai pada H-1 pementasan.
Sekitar 10 jam, dimulai setelah makan siang, mereka berlatih bersama, dan usai menjelang tengah malam. Lelah, wajah-wajah kuyu, tenaga terkuras, dialami semua peserta.
Namun, tawa dan lelucon kerap dilontarkan beberapa penampil agar semangat tetap terpelihara. Inilah makna sesungguhnya solidaritas, keakraban, dan kebersamaan. Tak ada sekat di antara delegasi. Mereka seolah menanggallkan identitas kebangsaan, lalu melebur dalam kesatuan bernama ASEAN.
“Ya, ini tantangan. Setiap delegasi punya banyak ide dan semua itu harus disatukan. Untunglah, pada akhirnya semua setuju pada gerak hasil diskusi bersama,” ujar Nicole Primero, pemimpin delegasi Filipina.
Menurutnya, penyatuan olah gerak sebenarnya tak terlalu sulit mengingat terdapat persamaan gerak tari antarnegara ASEAN. “Sebagian besar memiliki masyarakat petani (agraris), dan ada juga yang berasal dari kawasan pesisir. Gerak tari dari daratan (petani) dan dari nelayan boleh dibilang hampir sama,” ucap perempuan yang karib disapa Nico itu.
Ihwal persamaan gerak juga diungkapkan wakil dari Thailand, Zack Kampanath Ruangkittivilas. “Ya, beberapa berbeda dan beberapa sama. Contoh di Kamboja, Thailand, dan Laos, ada gerak kaki yang tampak sama dari sudut pandang awam, padahal sedikit berbeda. Di Thailand telapak kaki kami memijak tanah dan memantulkannya, sedangkan penari Kamboja lebih melayang.”
Perbedaan yang berhasil dialihfungsikan menjadi keragaman, lalu disatukan dalam bentuk baru, melahirkan percik harapan para delegasi ini. Ajang tari kontemporer internasional ini, harap Nico, berlanjut terus. “Tak hanya sampai di titik ini. Tiap negara harus jadi tuan rumah.”
Sementara, ketua delegasi Vietnam, Le Hai Minh, memiliki asa lebih dalam. “Saya harap setelah ini kita akan terus berkolaborasi dalam hal lainnya, seperti bertukar pengetahuan, tampil di tiap negara, meneliti bersama, dan bekerja sama lagi. Kami ingin event ini terselenggara lagi sehingga semakin mempertegas identitas dan komunitas bangsa-bangsa ASEAN,” kata Minh. (*)