Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terobosan Pertamina Gunakan Green Energy di Industri Penerbangan

Kewajiban pencampuran bahan bakar nabati dalam bahan bakar jenis avtur telah diatur pemerintah dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 tahun 2015

26 Maret 2024 | 21.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFO NASIONAL – Banyak orang yang tidak sadar bahwa ada potensi untuk mengurangi emisi karbon melalui bioavtur di industri penerbangan Indonesia. Hal itu dikatakan CEO PT Info Media Digital atau Tempo.co, Wahyu Dhyatmika saat membuka acara Ngobrol@Tempo dengan tema “Green Aviation Dialogue: Implementasi Sustainable Aviation Fuel di Indonesia” di Gedung Tempo, Jakarta, Selasa 26 Maret 2024.

“Memang baru dimulai tapi sebuah terobosan yang patut terus kita gaungkan supaya penggunanya cukup banyak. Jadi tidak hanya kendaraan yang menggunakan biofuel tapi juga penerbangan kita,” kata pria yang akrab disapa Bli Komang ini.

Dia berharap, dengan penggunaan green energy, aviasi justru menjadi pelopor net zero emission untuk semua sektor industri. “Saya kira itu sebuah cita-cita yang harus kita kawal bersama.”

Salah satu perusahaan yang melakukan terobosan adalah PT Pertamina (Persero). Sudah sejak tahun 2010 dilakukan penelitian dan pengembangan produk dengan katalis yang mengusung Sustainable Aviation Fuel (SAF) melalui Riset & Inovasi Teknologi Pertamina. Di tahun 2021, PT Kilang Pertamina Internasional berhasil memproduksi SAF J2.4 di Refinery Unit IV Cilacap dengan menggunakan teknologi Co-Processing dari Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO), dengan kapasitas harian sebesar 1.350 kiloliter (KL).

Produk SAF menjalani serangkaian pengujian pada mesin dan unit pesawat. Pengujian dimulai dari cell test di Garuda Maintenance Facility (GMF), ground run, uji terbang pada pesawat militer CN-235 milik PT Dirgantara Indonesia, hingga uji terbang pada pesawat komersil Garuda Indonesia pada 4 Oktober 2023 menggunakan Boeing 737- 800 NG milik PT Garuda Indonesia.

“Kita sudah melakukan test dengan menggunakan CN-235 rute Bandung-Jakarta-Bandung. Kemudian tahun 2023 diuji coba di pesawat komersil di Boeing 737-800 NG dari Jakarta-Solo-Jakarta. Itu salah satu terobosan yang utama,” kata Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Edi Wibowo.

Menurut dia, saat ini semua hasil yang diperoleh masih memiliki stastus riset. Untuk J2.4 baru uji tahap pertama. Namun, keberhasilan uji terbang menggunakan bioavtur, kata Edi, akan menjadi tahap awal dalam peningkatan kontribusi bioavtur di sektor transportasi udara dalam rangka meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi nasional.

Uji penerbangan tersebut, lanjut dia, termasuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) Hilirisasi Industri Katalis dan Bahan Bakar Biohidrokarbon yang dikoordinasikan oleh Kementerian ESDM, serta termasuk dalam etalase Prioritas Riset Nasional (PRN) Pengembangan Teknologi Produksi Bahan Bakar Nabati berbasis Minyak Sawit dan Inti Sawit, yang dikoordinasikan oleh Badan Riset & Inovasi Nasional (BRIN).

Kewajiban pencampuran bahan bakar nabati dalam bahan bakar jenis avtur telah diatur pemerintah dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 tahun 2015 dengan persentase sebesar 3 persen pada tahun 2020, dan pada tahun 2025 akan meningkat bioavtur menjadi 5 persen. “Ke depan kita akan revisi mandatory. Mudah-mudahan tahun ini bisa naik dari 2.4,” ujar dia.

Oki Muraza, Senior Vice President Research and Technology Innovation Pertamina mengatakan, SAF merupakan kebutuhan, berbeda dengan bahan bakar minyak (BBM) yang cukup besar melakukan energi transisi hingga saat ini menjadi B35 dan sedang menuju B40.

“Di aviation, SAF bukan hanya di Indonesia tetapi juga pesawat yang terbang ke luar negeri. Sehingga SAF menggunakan standar dunia,” ujar dia.

Pertamina pun berusaha menjalin kerja sama dengan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) untuk mengejar eligibility atau kelayakan. “Kita harus lihat dulu apa yang bisa diterima oleh pihak internasional,” ujar dia. Saat ini, lanjut dia, penggunaan campuran dengan minyak inti sawit dilakukan untuk diterima di dunia internasional. Meskipun menurut dia, hal itu juga rentan dengan kepentingan politik global.

Pertamina juga sedang mengembangkan used cooking oil (UCO) yaitu bahan bakar dari minyak goreng bekas atau jelantah. “Perlu meyakinkan pihak internasional untuk mendorong bahan baku yang ada di Indonesia,” kata Oki. Selain minyak sawit dan UCO, Pertamina juga terus melakukan penelitian dan pengembangan bahan nabati lainnya.

Pengamat Penerbangan Gerry Soejatman mengatakan, Indonesia termasuk yang terlambat untuk mengembangkan bioavtur, namun di sisi lain apa yang telah dilakukan Indonesia juga berada di depan banyak negara. “Untuk perkembangan bioavtur cukup menggemaskan,” kata dia.

Gerry menyayangkan adanya unsur politik dalam mengembangkan bioavtur terutama dari kelapa sawit. “Ini adalah tantangan bagaimana kita berkomunikasi mengenai palm industry kita,” kata dia.

Menurut Gerry, selama ini yang menjadi masalah bukan dari sisi bioavturnya tetapi masalah di persepsi dunia terhadap industri kelapa sawit. “Yang bikin gemesin juga, orang membahas masalah penerbangan yang katanya menyebabkan banyak green house emission, padahal cuma berapa persen? kurang dari 5 persen. Tapi industri ini salah satu industri yang mengeluarkan begitu banyaknya investasi untuk biofuel.”

Dia pun berharap, industri penerbangan dapat memanage persepsi tersebut. Karena, terdapat masalah baru dalam industri ini yaitu pembukaan lahan untuk kelapa sawit. “Tantangannya apa? kalau kita mau supply 30 persen biofuel di indonesia dengan palm oil kita butuh lahan berapa? siap nggak? kita menyelesaikan masalah emisi di penerbangan tetapi jangan sampai ada pembukaan lahan masif.”

Gerry mengatakan, pertumbuhan di industri penerbangan gila-gilaan. “Kita tidak bisa mengejar emisi karena pertumbuhannya gila-gilaan. Ujung-ujungnya kita harus mencari cara lain, salah satunya biofuel. Kalau tidak cukup ke electric, dan seterusnya,” kata dia. Saking banyak pilihan, kata Gerry,  pemerintah pun bingung mah pilih yang mana. “Oleh karena itu pilihlah bahan bakar yang paling ready ke depan,” ucap dia. (*)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

 

Prodik Digital

Prodik Digital

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus