AKHIRNYA Phnom Penh jatuh lagi. Sekitar pukul 17.00 waktu
setempat (7 Januari) Radio Phnom Penh lenyap dari udara.
Malamnya Radio Moskow menyiarkan masuknya "pasukan revolusioner
Kamboja yang bekerjasama dengan rakyat" ke Phnom Penh dan
menduduki pusat pemerintahan "rejim Pol Pot dan leng Sary."
Front Persatuan Nasional untuk Keselamatan Kamboja (KNUFNS) yang
pro Vietnam menyatakan Phnom Penh dibebaskan seluruhnya Minggu
siang pukul 112.30 dan "rejim diktator dan militeristis Pol
Pot-leng Sary telah dihancurkan seluruhnya." Bendera KNUFNS yang
merah dengan 5 bintang kuning dikibarkan di berbagai gedung
pemerintah di ibukota itu.
Ini adalah "pembebasan" Phnom Penh yang kedua. Kurang dari 4
tahun lalu, pada 17 April 1975, pasukan Khmer Merah memasuki
ibukota ini dan menghancurkan "rejim kapitalis" Lon Nol. Sekjen
Partai Komunis Kampuchea Pol Pot kemudian bersama leng Sary
muncul sebagai penguasa baru Republik Demokrasi Kampuchea.
Di bawah pimpinan mereka Kamboja segera melakukan langkah yang
menggunncangkan dunia. Usaha mencapai masyarakat sosialis
"murni" ditempuh secara radikal dengan memporak-porandakan
segala tata nilai lama. Kota-kota dikosongkan dan penduduk
dikerahkan bekerja di proyek pertanian dalam usaha mencapai
berdikari penuh. Tata sosial dan ekonomi dirombak dengan
misalnya, tidak dipakai lagi sistim uang dan pasar. Kerja paksa
tanpa kenal ampun ini menimbulkan ratusan ribu korban. Kota-kota
mati. Phnom Penh sendiri tinggal dihuni 20 ribu penduduk.
Merembesnya berita tentang apa yang terjadi di negeri ini segera
menimbulkan banjir protes dari banyak negara termasuk negara
Komunis. Kamboja dituduh secara sengaja melakukan pembunuhan
massal pada rakyatnya. Kamboja mulai kehilangan simpati dunia.
Sekutu
Begitu lahir, negara ini bentrok dengan Vietnam, bekas sekutunya
sesama komunis. Saling tuduh dan insiden perbatasan terjadi.
Vietnam misalnya menuduh Kamboja menekan penduduk keturunan
Vietnam, menyerbu wilayah Vietnam dan merampok serta membunuh
penduduk perbatassannya. Bentrokan perbatasan ini berlangsung
terus selama 3 tahun dan tinggal di RRC yang masih membantu
Kamboja.
Tahun lalu lahir KNUFNS yang jelas dibidani Vietnam. Dengan
dipelopori meriam, tank dan senjata berat Vietnam, pasukan
pemberontak ini segera maju dengan pesat dan menduduki beberapa
jalan raya utama menuju Phnom Penh. Serangan baru ini
ditingkatkan sekitar Natal tahun lalu, dilakukan dari 3 daerah:
Pleiku di dataran tinggi Vietnam, Tay Minh di barat Kota Ho Chi
Minh (dulu Saigon) dan dari Can Tho di delta sungai Mekong.
Vietnam menggunakan kendaraan lapis baja, artileri dan pesawat
tempur yang dikoordinir rapi, menyerbu lebih dulu ke timurlaut
yang jarang penduduknya dan bergerak ke sungai Mekong yang
membelah dua negeri ini. Kefudian jalur perbekalan dan
komunikasi ke Phnom Penh diputuskan dan ibukota ini segera
terkepung.
Keprihatinan RRC atas perkembangan keadaan Kamboja tampak dengan
disiagakannya pasukan Cina di perbatasannya dengan Vietnam. Juga
RRC mengerahkan tank, artileri berat dan pesawat pembom dan
Mig-l9. Tapi Wakil PM RRC Deng Xiaoping (Teng Hsiao-ping)
mengisyaratkan pekan lalu bahwa Cina tidak akan mengirim
pasukannya ke Kamboja untuk membantu negara itu. Tampaknya Bei
Jing (Peking) beranggapan Kamboja sudah tidak tertolong lagi
walau mendukung seruan Pol Potleng Sary yang meminta Dewan
Keamanan PBB bersidang untuk menghentikan agresi Vietnam.
Sikap Cina makin jelas ketika negara itu meminta ijin bagi
pesawatnya untuk melintasi udara Muang Thai guna mengangkut para
tokoh penting Kamboja ke Peking. Gawatnya situasi Kamboja akhir
pekan Ialu makin nyata ketika bekas penguasa Kamboja Pangeran
Sihanouk yang sejak 3 tahun terakhir "hilang dari peredaran"
dikirim pemerintah Pol Potleng Sary menghadiri sidang Dewan
Keamanan PBB yang direncanakan pekan ini.
Gerilya
Berpakaian hitam, tersenyum lebar sambil bertepuk tangan, Sabtu
malam lalu Sihanouk tiba di Peking. Bersama isterinya Monique
dan bekas PM Penn Nouth, ia disambut teman lamanya Deng
Xiaoping. Kantor berita Cina menyebutkan: "Ia memimpin delegasi
tingkat tinggi pemerintah Demokrasi Kampuchea untuk menghadiri
sidang DK PBB yang akan menuduh Vietnam atas serbuannya ke
negara tersebut." Sihanouk yang dijatuhkan Lon Nol pada 1970
pernah sebentar menjabat kepala negara pemerintah demokrasi
Kamboja dan mengundurkan diri pada 1976. Agaknya reputasinya
yang baik di negara Barat digunakan sebagai kartu terakhir
Kamboja untuk menyelamatkan negeri itu.
Asean tampaknya yang paling priha tin atas perkembangan Kamboja
ini. Jatuhnya Phnom Penh diduga akan mempercepat
dilangsungkannya suatu pertemuan puncak Asean. Sikap Asean
selama ini mengakui adanya tiga negara terpisah dengan
kedaulatan masing-masing di Indocina. Indonesia akhir tahun lalu
malahan mengirim misi ke Phnom Penh dalam rencana membuka
perwakilan di sana. Walau pemerintah Kamboja bertekad untuk
terus melakukan perlawanan secara gerilya, kemungkinan untuknya
merebut kekuasaan lagi hampir tidak ada.
Sidang Panitia Kerja Asean yang dipimpin Menlu Mochtar
Kusumaatmadja di Jakarta pekan ini membicarakan masalah ini.
Dubes Vietnam di Jakarta Tranh My tampak bermaksud meredakan
kekhawatiran Asean. Ia mengatakan: "Bantuan Vietnam (pada
KHUFNS) hendaknya dimengerti para negara sahabat di Asia
Tenggara dan tidak ada alasan mereka untuk khawatir."
Diulanginya janji PM Pham van Dong bahwa "Vietnam tidak akan
membantu gerakan subversi di Asia Tenggara." Usaha penggulingan
rejim Pol Pot disebutnya "hanya untuk menormalkan situasi
Kamboja dan membendung ekspansi Peking." Ia menolak anggapan
bahwa bantuan Vietnam itu dilakukan untuk mencapai Federasi
Indocina seperti dicitakan almarhum Ho Chi Minh.
Menlu Mochtar sendiri sampai awal pekan ini berhati-hati
menanggapinya. "Kita belum tahu keadaan yang sebenarnya dengan
jelas. Kita tunggu laporan resmi dari perwakilan kita yang
terdekat," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini