PARAS sudah berkerut-merut dan tubuhnya tipis. Kumisnya
terpasang seperti orang Inggeris dalam film yang dimainkan David
Niven. Necis berpakaian seperti laiknya orang tua dari kelas
atas, Dr. Shapur Bakhtiar, 63 tahun, sebenarnya nampak tak cocok
untuk mengatasi keadaan sebuah negeri yang dilanda revolusi.
Memang, pertanvaan yang tersebar kini bisakah politikus ahli
hukum itu menyelamatkan Iran dari kekalutan?
Beberapa jam setelah ia ditunjul Shah Iran guna membentuk kabine
sipil pekan lalu ia berkata: "Ada saat saat seseorang harus
mengambil keputusan dan berkorban .... Jika neger ini menang,
itulah yang saya inginkan Jika ia kalah, sayalah yang pertama
kali mengalami kekalahan." Tapi ia tak menyebutkan apa yang
dimaksudkan nya dengan istilah "kalah" untuk Iran.
Enam Kali
Mungkin saja itu berarti suatu kerusuhan politik yang tak
habis-habisnya. Atau munculnya pemerintahan militer yang lebih
keras menindas tiap jenis oposisi -- dan menambah jumlah korban
jiwa yang sudah sekitar 2000 selama kerusuhan berlangsung
kurang-lebih setahun. Atau, suatu pemerintah kiri yanjuga tak
kurang diktatorialnya. Atau, "kalah" bagi Bakhtiar berarti
berdirinya sebuah "Republik Islam" yang dicita-citakan pemimpin
Islam Syi'ah Ayatullah Khomeini yang sangat berpengaruh itu.
Sebab Shapur Bakhtiar lebih seorang sosial-demokrat ketimbang
seorang tokoh massa Islam yang berapi-api. Ia dididik di
Perancis, dan memperoleh gelarnya untuk ilmu hukum dan politik
di Universitas Sorbonne. Sebagaimana banyak kaum cendekiawan
Iran segenerasinya, ia tak asing dengan bahasa dan kebudayaan
Perancis. Ia bahkan pernah dalam dinas militer Perancis selama
18 bulan. Satu-satunya tanda "Islam" yang nampak darinya
mungkin serangkaian huruf Arab pada papan kecil keemasan di
rumahnya, berbunyi, "Bismillahirrokhmanirrohiim. "
Di rumah itu juga terpasang gambal besar Mohammad Mossadegh
almarhum, tokoh nasionalis Iran yang menentang Shah Iran di
tahun 1953, tapi gagal dan dihukum tahanan rumah sampai akhir
hidupnya. Bakhtiar pernah jadi Menteri Muda Perburuhan di masa
Mossadegh. Ia sendiri termasuk penentang Shah -- seperti banyak
tokoh politik lain setelah Shah Iran membungkam mereka.
Dikabarkan ia pernah enam kali dipenjarakan sang Raja-di-Raja.
Ia menjadi Sekjen Partai Iran, yang termasuk dalam Front
Nasional yang sampai kuranglebih tujuh bulan yang lalu masih
harus bekerja setengah di bawah tanah. Dengan demikian Bakhtiar
punya surat kepercayaan sebagai bukan "orangnya Shah". Tapi
dapatkah ia diterima kalangan oposisi lain, terutama yang
sejalan dengan Ayatulah Khomeini?
Begitu ia ditunjuk jadi orang yang harus membentuk kabinet sipil
ia disingkirkan. Ia dipecat dari kedudukannya sebagai wakil
ketua Front Nasional oleh sang Ketua, Karim Sanjabi. Dua pekan
sebelumnya memang Front Nasional menggariskan untuk menolak tiap
usaha ikut serta dalam pemerintahan yang dibikin Shah. Kini
makin jadi tanda-tanya cukupkah dukungan dari kalanan oposisi
yang bermacam-macan itu buat kabinet Bakhtiar. Ayatullah
Khomeini sendiri sudah menyatakan sikapnya: dari Paris, tempat
ia dapat izin tinggal lebih lama, menyerukan agar rakyat
menentang ikhtiar Bakhtiar.
Jika tokoh ini gagal, Shah agaknya makin tak punya pilihan lagi
kecuali turun tahta dan mengasingkan diri ke luar negeri. Sudah
tiga orang ia tunjuk selama lima bulan ini untuk membentuk
pemerintahan yang ia perkirakan akan dapat meredakan gelombang
oposisi. Semuanya gagal. Yang pertama ialah orang
kepercayaannya, Jamshid Amouzegar. Oposisi kian menggemuruh.
Kemudian Jaafar Sharif-emami. Juga demonstrasi kian melanda.
Terakhir Jenderal Gholamreza Azhari yang pekan lalu juga
dikabarkan mendapat serangan jantung, sementara serangan
demonstrasi tak juga reda.
Namun harapan, biarpun samar, ada juga bagi Bakhtiar. Sehabis
Perdana Menteri baru ini berhasil membentuk kabinet, Shah akan
terbang ke luar negeri. Dikabarkan ia berniat istirahat. Tapi
Bakhtiar menyatakan bahwa Shah akan menyerahkan semua
kekuasaannya -- kecuali sebagai panglima tertinggi angkatan
bersenjata -- kepada sebuah majelis kerajaan. Kepergian Shal
diharapkan akan menurunkan suhu kerusuhan di Iran, malah kalau
bisa mematikan api demonstrasi sama sekali. Negeri itu toh perlu
bisa mengambil nafas.
Porak Poranda
Soalnya, suasana memang sudah porak poranda. Ekonomi nyaris
lumpuh Perusahaan penerbangan Iran Air ditutup oleh pekerja
teknisnya. Kereta api dan bis tak jalan. Bank-bank di Teheran
kehabisan uang tunai dan terpaksa tutup pintu. Sebagian besar
toko dan kantor usaha tak berdagang. Para saudagar mengangkut
barang-barang mereka agar tak dirayah demonstran. Harga mencakar
langit. Celakanya, ladang minyak bumi Iran juga praktis
terhenti. Orang antri minyak tanah di negeri yang penuh tambang
minyak ini. Jika minyak tanah itu juga habis, rakyat akan tak
punya alat pemanas dan pemasak makanan.
Pekan lalu, para ayatullah menyerukan agar produksi minyak
untuk konsumsi dalam negeri jangan sampai terganggu -- dan buruh
yang mogok patuh. Namun hari masih gawat bagi Shapur Bakhtiar.
Di jalanan sudah ada yang memakinya sebagai alat Amerika, dan
dukungan pemerintah AS kepadanya mungkin malah memperberat
posisinya. Bapak dua pasang anak laki-perempuan ini dikenal
sebagai orang jujur, tapi kurang panjang berfikir, dan kini
nampak gugup. Duma menunggu apa yang akan dilakukannya setelah
kabinet terbentuk
Memang, terbentuknya kabinet yang terdiri dari orang-orang yang
belum pernah dikenal sebagai "orangnya Shah" dalam waktu singkat
memperlihatkan potensi Bakhtiar. Namun ia mungkin perlu
mengundang segera Khomeini pulang, mencari kesefakatan
dengannya. Atau, dengan kaum ayatullah lain, ia harus
menyisihkan Khomeini. Pemimpin Syi'ah yang lama tinggal di
pembuangan ini bukan penggerak tunggal oposisi. Pernah
orang-orangnya di Paris memperhitungkan Shah Iran akan jatuh di
awal Januari 1979 -- tapi ternyata belum. Itulah sebabnya ia
minta izin tinggal lebih lama di Paris, setelah 6 Januari yang
lalu visanya habis. Dan pemerintah Perancis -- mungkin berfikir
akan hubungan baiknya dengan Iran setelah Shah peri -- setuju.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini