Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kini Giliran Bakhtiar

DR. Shapur Bakhtiar, 63, ditunjuk Shah Iran untuk membentuk kabinet sipil untuk meredakan demonstrasi oposisi. sesudah PM. ini membentuk kabinet, Shah akan ke luar negeri supaya demonstrasi berhenti. (ln)

13 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARAS sudah berkerut-merut dan tubuhnya tipis. Kumisnya terpasang seperti orang Inggeris dalam film yang dimainkan David Niven. Necis berpakaian seperti laiknya orang tua dari kelas atas, Dr. Shapur Bakhtiar, 63 tahun, sebenarnya nampak tak cocok untuk mengatasi keadaan sebuah negeri yang dilanda revolusi. Memang, pertanvaan yang tersebar kini bisakah politikus ahli hukum itu menyelamatkan Iran dari kekalutan? Beberapa jam setelah ia ditunjul Shah Iran guna membentuk kabine sipil pekan lalu ia berkata: "Ada saat saat seseorang harus mengambil keputusan dan berkorban .... Jika neger ini menang, itulah yang saya inginkan Jika ia kalah, sayalah yang pertama kali mengalami kekalahan." Tapi ia tak menyebutkan apa yang dimaksudkan nya dengan istilah "kalah" untuk Iran. Enam Kali Mungkin saja itu berarti suatu kerusuhan politik yang tak habis-habisnya. Atau munculnya pemerintahan militer yang lebih keras menindas tiap jenis oposisi -- dan menambah jumlah korban jiwa yang sudah sekitar 2000 selama kerusuhan berlangsung kurang-lebih setahun. Atau, suatu pemerintah kiri yanjuga tak kurang diktatorialnya. Atau, "kalah" bagi Bakhtiar berarti berdirinya sebuah "Republik Islam" yang dicita-citakan pemimpin Islam Syi'ah Ayatullah Khomeini yang sangat berpengaruh itu. Sebab Shapur Bakhtiar lebih seorang sosial-demokrat ketimbang seorang tokoh massa Islam yang berapi-api. Ia dididik di Perancis, dan memperoleh gelarnya untuk ilmu hukum dan politik di Universitas Sorbonne. Sebagaimana banyak kaum cendekiawan Iran segenerasinya, ia tak asing dengan bahasa dan kebudayaan Perancis. Ia bahkan pernah dalam dinas militer Perancis selama 18 bulan. Satu-satunya tanda "Islam" yang nampak darinya mungkin serangkaian huruf Arab pada papan kecil keemasan di rumahnya, berbunyi, "Bismillahirrokhmanirrohiim. " Di rumah itu juga terpasang gambal besar Mohammad Mossadegh almarhum, tokoh nasionalis Iran yang menentang Shah Iran di tahun 1953, tapi gagal dan dihukum tahanan rumah sampai akhir hidupnya. Bakhtiar pernah jadi Menteri Muda Perburuhan di masa Mossadegh. Ia sendiri termasuk penentang Shah -- seperti banyak tokoh politik lain setelah Shah Iran membungkam mereka. Dikabarkan ia pernah enam kali dipenjarakan sang Raja-di-Raja. Ia menjadi Sekjen Partai Iran, yang termasuk dalam Front Nasional yang sampai kuranglebih tujuh bulan yang lalu masih harus bekerja setengah di bawah tanah. Dengan demikian Bakhtiar punya surat kepercayaan sebagai bukan "orangnya Shah". Tapi dapatkah ia diterima kalangan oposisi lain, terutama yang sejalan dengan Ayatulah Khomeini? Begitu ia ditunjuk jadi orang yang harus membentuk kabinet sipil ia disingkirkan. Ia dipecat dari kedudukannya sebagai wakil ketua Front Nasional oleh sang Ketua, Karim Sanjabi. Dua pekan sebelumnya memang Front Nasional menggariskan untuk menolak tiap usaha ikut serta dalam pemerintahan yang dibikin Shah. Kini makin jadi tanda-tanya cukupkah dukungan dari kalanan oposisi yang bermacam-macan itu buat kabinet Bakhtiar. Ayatullah Khomeini sendiri sudah menyatakan sikapnya: dari Paris, tempat ia dapat izin tinggal lebih lama, menyerukan agar rakyat menentang ikhtiar Bakhtiar. Jika tokoh ini gagal, Shah agaknya makin tak punya pilihan lagi kecuali turun tahta dan mengasingkan diri ke luar negeri. Sudah tiga orang ia tunjuk selama lima bulan ini untuk membentuk pemerintahan yang ia perkirakan akan dapat meredakan gelombang oposisi. Semuanya gagal. Yang pertama ialah orang kepercayaannya, Jamshid Amouzegar. Oposisi kian menggemuruh. Kemudian Jaafar Sharif-emami. Juga demonstrasi kian melanda. Terakhir Jenderal Gholamreza Azhari yang pekan lalu juga dikabarkan mendapat serangan jantung, sementara serangan demonstrasi tak juga reda. Namun harapan, biarpun samar, ada juga bagi Bakhtiar. Sehabis Perdana Menteri baru ini berhasil membentuk kabinet, Shah akan terbang ke luar negeri. Dikabarkan ia berniat istirahat. Tapi Bakhtiar menyatakan bahwa Shah akan menyerahkan semua kekuasaannya -- kecuali sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata -- kepada sebuah majelis kerajaan. Kepergian Shal diharapkan akan menurunkan suhu kerusuhan di Iran, malah kalau bisa mematikan api demonstrasi sama sekali. Negeri itu toh perlu bisa mengambil nafas. Porak Poranda Soalnya, suasana memang sudah porak poranda. Ekonomi nyaris lumpuh Perusahaan penerbangan Iran Air ditutup oleh pekerja teknisnya. Kereta api dan bis tak jalan. Bank-bank di Teheran kehabisan uang tunai dan terpaksa tutup pintu. Sebagian besar toko dan kantor usaha tak berdagang. Para saudagar mengangkut barang-barang mereka agar tak dirayah demonstran. Harga mencakar langit. Celakanya, ladang minyak bumi Iran juga praktis terhenti. Orang antri minyak tanah di negeri yang penuh tambang minyak ini. Jika minyak tanah itu juga habis, rakyat akan tak punya alat pemanas dan pemasak makanan. Pekan lalu, para ayatullah menyerukan agar produksi minyak untuk konsumsi dalam negeri jangan sampai terganggu -- dan buruh yang mogok patuh. Namun hari masih gawat bagi Shapur Bakhtiar. Di jalanan sudah ada yang memakinya sebagai alat Amerika, dan dukungan pemerintah AS kepadanya mungkin malah memperberat posisinya. Bapak dua pasang anak laki-perempuan ini dikenal sebagai orang jujur, tapi kurang panjang berfikir, dan kini nampak gugup. Duma menunggu apa yang akan dilakukannya setelah kabinet terbentuk Memang, terbentuknya kabinet yang terdiri dari orang-orang yang belum pernah dikenal sebagai "orangnya Shah" dalam waktu singkat memperlihatkan potensi Bakhtiar. Namun ia mungkin perlu mengundang segera Khomeini pulang, mencari kesefakatan dengannya. Atau, dengan kaum ayatullah lain, ia harus menyisihkan Khomeini. Pemimpin Syi'ah yang lama tinggal di pembuangan ini bukan penggerak tunggal oposisi. Pernah orang-orangnya di Paris memperhitungkan Shah Iran akan jatuh di awal Januari 1979 -- tapi ternyata belum. Itulah sebabnya ia minta izin tinggal lebih lama di Paris, setelah 6 Januari yang lalu visanya habis. Dan pemerintah Perancis -- mungkin berfikir akan hubungan baiknya dengan Iran setelah Shah peri -- setuju.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus