PERKAMPUNGAN baru yang tersuruk dalam hutan karet 3 km dari
jalan besar itu tampak makin ramai. Puluhan warung bermunculan,
juga pedagang kelontong dan sayur yang tiap hari laris
dikerubung pembeli. Belasan oplet bolak balik melayani route
baru mengangkut penghuni perkampungan untuk berbelanja ke kota.
"Lumayan, dengan tarip Rp 150 per orang sehari dapat Rp 6.000
sampai Rp 7.000 bersih," tutur seorang supir oplet. Perkampungan
transmigrasi Bukan. Mereka adalah pengungsi Vietnam yang
tinggal di tempat penampungan Air Raja, l4 Km dari Tanjung
Pinang. Ada 8 barak dengan kapasitas masing-masing sampai 250
orang yang dibangun PBB untuk menggantikan tempat penampungan
lama di Tanjung Unggat yang bekas gudang beras dan semen. Tempat
penampungan lama ini belum sama sekali ditinggalkan karena terus
membanjirnya pengungsi baru.
Sulit memang untuk mempercayai mereka yang berpakaian rapi,
rajin belanja dan royal itu sebagai orang yang berteriak minta
tolong selagi masih dalam perahu. Tiap hari masyarakat Tanjung
Pinang bisa melihat mereka berbondong-bondong keluar masuk toko
berbelanja. Tak sedikit pengungsi muda tampak berleha-leha di
tempat rekreasi bagaikan turis saja. Sejak kedatangan mereka,
para tukang potret amatir juga panen. "Mereka senang berpotret,
katanya untuk kenang-kenangan di Amerika nanti," kata seorang
tukang potret.
Pakaian mereka cukup parlente, tak mencerminkan tampang
pengungsi. Rombongan baru pengungsi Vietnam yang belakangan ini
membanjiri Asia Tenggara memang tampak berbeda dengan pendahulu
mereka. Potret lama pengungsi yang kumal, lusuh dan wajah yang
pilu mengharap belas kasihan, agaknya tidak terpakai lagi begitu
mereka masuk tempat penampungan. Tidak heran beberapa negara
Asean menolak menerima mereka karena dianggap bukan "pengungsi
sejati" tapi imigran gelap yang membayar untuk bisa keluar
Vietnam. Konon pengungsian mereka diatur suatu sindikat
internasional yang bekerja dengan sepengetahuan pejabat Vietnam.
Betulkah semua pengungsi Vietnam yang baru datang itu kaya? "Ah,
tidak semua," kata seorang pastor dari Pastoran Tanjung Pinang.
"Yang mewah umumnya yang keturunan Cina." Ini diakui Nguyen Thai
Nguyen (25 tahun). "Kami datang hanya dengan pakaian saja,"
katanya. Pengungsi keturunan Cina menurut ceritanya punya banyak
uang dan emas, hingga sering terjadi keributan dengan pengungsi
Vietnam yang asli yang umumnya miskin, karena berebut harta yang
dibawa dari Vietnam itu.
Komisi Tinggi PBB untuk Masalah Pengungsi (UNHCR) membiayai
hidup pengungsi selama dalam penampungan lewat Tim
Penanggulangan Pengungsi yang dibentuk Pemerintah Indonesia.
Tiap 10 hari masing-masing pengungsi mendapat jatah 4 kg beras,
3 butir telur, « kg sayur, 2 ons gula serta ikan dan minyak
goreng. "Memang tidak cukup," kata Nguyen Thai. Mereka harus
menambah belanja hidup dengan sekitar Rp 300 sampai Rp 400 tiap
hari. Buat pengungsi keturunan Cina biaya hidup mereka bukan
suatu masalah. Nguyen Thai sendiri serta isterinya Bie Thu Hong
tiap bulan menerima kiriman cek AS$50 dari kakaknya yang telah
selamat tiba di Amerika.
Sponsor
Ada pengungsi yang harus ditampung sampai satu tahun menunggu
suatu negara, umumnya negara Barat, mau menerima mereka. Mereka
melewatkan waktu ini dengan berbagai kegiatan, antara lain
kursus bahasa Inggeris untuk hekal hidup mereka di negara baru
nanti. Natal 1978 mereka rayakan dengan upacara khusus di gereja
Katolik Tanung Pinang yang dihadiri sekitar 100 pengungsi.
Pernah juga diadakan upacara pembaptisan massal anak mereka.
Kedua kelompok ini mempunyai persamaan mereka tidak bisa
menerima hidup di bawah pemerintah komunis dan ingin mencari
hidup baru di negara Australia, Eropa atau Amerika. Indonesia
sendiri cukup dipusingkan oleh membanjirnya pengungsi ini. Pada
1975 hanya 27 pengungsi yang datang. Tahun berikutnya naik
menjadi 230 orang termasuk 6 bayi yang lahir dalam penampungan.
Angka ini melejit menjadi 622 orang pada 1977. Sampai akhir 1978
sekitar 3000 pengungsi ditampung di Indonesia. Tapi dibanding
Malaysia misalnya, beban Indonesia jauh lebih ringan. Sekitar 30
ribu pengungsi saat ini ada di Malaysia.
Indonesia rupanya dianggap negara favorit untuk mendamparkan
diri. "Karena Indonesia lebih cepat dan lebih mudah memproses
pengiriman ke Australia atau Amerika Serikat," cerita Tie Thai
Hien (48 tahun), pengungsi keturunan Cina yang tiba dengan kapal
Saouthern Cross September 1978. Ia mengakui membayar sekitar AS$
2000 pada suatu sindikat untuk bisa keluar Vietnam Sindikat
inilah yang memilih Indonesia sebagai tempat penampungan mereka.
Negara penerima umumnya hanya menerima mereka yang sehat,
berpendidikan dan mempunyai sponsor. Hina "kami tidak tahu 60%
dari 3000 ini mau dikemanakan," ujar seorang anggota Tim
Penanggulangan Pengungsi Tanjung Pinang. Banyak pengungsi yang
frustrasi karenanya. Seorang pengungsi Tran Chan Dung, pernah
mencoba bunuh diri karena dari 27 anggota rombongannya, hanya
dia dan nakoda perahu yang mtreka tumpangi yang ditolak menetap
di AS. Alasannya mereka tidak mempunyai keluarga di AS yang bisa
menjadi sponsor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini