Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font color=#FF0000>Rusuh Minoritas</font> di Tanah Sendiri

Kebijakan diskriminatif terhadap kaum minoritas Uighur merupakan akar ketegangan antaretnis di Provinsi Xinjiang, Cina. Setidaknya 156 orang tewas dalam kerusuhan yang akhirnya memaksa Presiden Hu Jintao mempersingkat kehadirannya pada Konferensi Tingkat Tinggi Kelompok Negara Delapan di Italia itu.

13 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA mulanya hanya segelintir orang yang melakukan aksi unjuk rasa. Lama-lama jumlah tersebut meningkat, dari puluhan menjadi ratusan, lantas ribuan. Pria, wanita, dan anak-anak berbaur, meneriakkan yel-yel. Mereka memadati jalan-jalan Kota Urumqi di Provinsi Xinjiang, Cina, Minggu dua pekan lalu.

”Hari ini, semua orang berhenti bekerja dan turun ke jalan untuk melampiaskan rasa benci mereka,” ujar Mehmet Tohti, salah seorang penduduk Urumqi dari etnis Uighur. Tohti yang aktivis ini menggambarkan betapa mudahnya mengumpulkan orang sebanyak itu berunjuk rasa di saat seperti ini. Biasanya mengumpulkan 20-30 orang saja sudah sulit.

Aksi yang berlangsung tertib itu berubah menjadi anarkistis manakala polisi mulai kewalahan dan bertindak brutal. Para pengunjuk rasa, semuanya dari etnis Uighur, tidak terima dan mulai melempari orang-orang dari etnis Cina Han yang mereka jumpai di jalan-jalan. Mereka kemudian membakar, merusak toko, dan memblokade jalan-jalan. Bongkahan batu besar dan kecil melayang ke arah barisan polisi. Ketika situasi benar-benar di luar kendali, tentara dan ratusan polisi antihuru-hara diterjunkan.

Gas air mata dilepaskan untuk membubarkan massa. Mobil pemadam kebakaran, ambulans, dan mobil pengangkut pasukan berseliweran. ”Saya juga melihat ada tank. Dan terdengar rentetan tembakan,” ucap seorang saksi mata kepada CNN.

Hanya dalam hitungan jam, petugas keamanan berhasil menguasai keadaan. Massa sempat terkepung oleh ratusan personel pasukan bantuan dari Tentara Pembebasan Rakyat. Menurut saksi mata, polisi antihuru-hara mengejar para pengunjuk rasa hingga ke rumah-rumah. Mereka dipukuli.

Insiden berdarah pada Minggu malam itu menewaskan sedikitnya 156 orang. Ribuan orang cedera dan polisi menahan lebih dari 1.400 warga. Situasi ini memaksa Presiden Cina Hu Jintao mempersingkat kehadirannya pada Konferensi Tingkat Tinggi Kelompok Negara Delapan (G-8) yang berlangsung di Italia.

Warga etnis Cina Han sempat berencana melakukan aksi balas dendam. Di jalan-jalan terlihat mereka berkumpul, membawa senjata tajam, pentungan, dan pipa besi, sembari mencari warga Uighur, yang dituding telah melakukan kejahatan. Beruntung, aksi ini dapat diredam aparat keamanan.

Aksi unjuk rasa ini merupakan reaksi atas tindak kekerasan rasial terhadap warga etnis Uighur pada 26 Juni lalu oleh sekelompok etnis Cina Han. Bentrokan terjadi di sebuah pabrik mainan di Provinsi Guangdong antara para pekerja etnis Uighur dan Cina Han. Buntutnya, dua orang Uighur tewas. Aksi unjuk rasa tersebut merupakan protes etnis Uighur dalam menuntut keadilan atas kematian warganya.

Xinjiang adalah rumah bagi etnis Uighur, yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Akibat kerusuhan berdarah itu, lima masjid utama di Urumqi ditutup Jumat pekan lalu. Warga dilarang menunaikan salat Jumat di masjid dan diimbau tetap berada di rumah. Meski begitu, menurut kantor berita Xinhua, beberapa masjid kecil masih boleh digunakan.

Konstitusi Cina menjamin warga minoritas mendapat hak yang sama dengan etnis mayoritas Han. Kenyataannya, ketegangan antaretnis selalu terjadi. Grup minoritas, seperti Uighur, merasa diperlakukan sebagai warga kelas dua dan selalu mendapat perlakuan diskriminatif.

Menurut para pengamat politik Cina, peristiwa berdarah di Urumqi ini menjadi peringatan kedua bagi pemerintah pusat Beijing dalam menangani kaum minoritas. Insiden yang dikecam dunia internasional ini berlangsung hanya 16 bulan setelah tragedi serupa menimpa warga Tibet pada Maret 2008.

Kongres Amerika Serikat bahkan mengeluarkan kecaman resmi kepada pemerintah Cina pada Jumat pekan lalu. Kecaman ini menyusul sikap pemerintah Amerika Serikat di bawah pimpinan Presiden Barack Obama yang ragu dalam mengambil sikap atas tindakan brutal dalam meredam aksi unjuk rasa tersebut.

Pemerintah Cina menuding peristiwa kerusuhan di Urumqi ini didalangi pemimpin Uighur yang berada di pengasingan di Amerika Serikat, Rebiya Kadeer. Tahun lalu, pemimpin spiritual Dalai Lama juga dituduh sebagai penggerak kerusuhan di Lhasa.

”Pemerintah Cina tak menangkap akar permasalahan, yakni rasa tak nyaman yang dialami etnis Uighur. Mereka selalu diperlakukan diskriminatif oleh warga mayoritas Cina Han,” ucap James Millward, pengamat Xinjiang dari Georgetown University di Washington. ”Rasa kesal yang terpendam itu akhirnya meledak.”

Warga Uighur dan Tibet sebelumnya menikmati otonomi besar atas wilayah masing-masing. Namun, sejak imigran Cina Han berdatangan ke wilayah mereka, pemerintah pusat mulai memperkuat cengkeramannya di kedua daerah tersebut.

”Sumber permasalahan dari berbagai ketegangan etnis di sana adalah Cina telah berubah dari penganut paham multietnis menjadi negara otoriter,” ucap Nicholas Bequelin, aktivis Human Rights Watch di Hong Kong. ”Itu adalah awal dari rasa tertekan kaum minoritas.” Menurut Bequelin, insiden berdarah pada Minggu sore itu merupakan puncak kemarahan warga etnis Uighur yang sudah lama terpendam. ”Kami sudah memperingatkan, kejadian ini suatu saat akan muncul,” katanya.

Jumlah warga etnis Uighur sebenarnya masih merupakan mayoritas di Provinsi Xinjiang. Namun etnis Cina Han, yang mencapai 90 persen dari populasi Cina secara keseluruhan, lebih berkuasa di wilayah yang kaya akan minyak dan gas bumi itu selama 60 tahun terakhir.

Semasa Mao Zedong berkuasa pada 1949-1976, etnis Cina Han berkembang pesat di wilayah yang sebelumnya merupakan bagian dari entitas muslim Turki tersebut. Dari sebelumnya hanya 6 persen, kini etnis Cina Han meliputi 40 persen dari total 20 juta penduduk Xinjiang.

Tibet mengalami hal serupa, meski dengan jumlah imigran etnis Cina Han yang jauh lebih sedikit ketimbang di Xinjiang. Pemerintah pusat Cina berdalih, demi keamanan, mereka menerapkan kebijakan represif di sana. Beijing tak mau Tibet dan Xinjiang terlepas dari wilayah daratan Cina.

Kebijakan pemerintah pusat yang terlalu menancapkan kukunya di kedua wilayah tersebut ditanggapi negatif oleh penduduk setempat. ”Mereka akhirnya merasa menjadi warga minoritas di wilayah sendiri,” ujar Elliot Sperling, guru besar dari Indiana University di Bloomington.

Populasi etnis Cina Han yang terus berkembang dan menguasai angkatan bersenjata cenderung menekan kaum minoritas. ”Tak dimungkiri lagi, setiap pergerakan selalu akan ditumpas. Mereka dianggap separatis dan membahayakan negara,” tutur Wenran Jiang, dosen di University of Alberta, Kanada.

Sebelum 1951, Cina tak memiliki kekuasaan di Tibet, yang berada di bawah kepemimpinan Dalai Lama. Xinjiang juga sempat menjadi negara independen dari Turkestan Timur pada 1945-1949, sebelum pasukan Mao menguasai wilayah tersebut.

Namun, sejak menancapkan kekuasaannya di Xinjiang, pemerintah Cina selalu memata-matai kegiatan beragama di sana. ”Aktivitas beragama dilarang. Selalu ada yang mengawasi dan mencatat siapa saja yang ke masjid,” kata Omer Kanat, Sekretaris Jenderal Asosiasi Uighur pimpinan Rebiya Kadeer di Amerika Serikat, melalui saluran telepon internasional kepada wartawan Tempo, Yophiandi, Jumat pekan lalu.

Menurut dia, kebijakan pemerintah Cina ini juga sudah mengarah ke pembersihan etnis. Pada 2003, bahasa Uighur dilarang di sekolah-sekolah, terutama di perguruan tinggi. Pemerintah Cina menyebutnya kebijakan dwibahasa. ”Kenyataannya cuma satu: bahasa Cina.”

Pemerintah Cina juga memaksa perempuan Uighur bekerja di berbagai pabrik di Cina Selatan. Di daerah industri tersebut, mereka dijadikan buruh murah. ”Pemerintah bilang ini bagian dari migrasi biasa.” Menurut Kanat, yang diinginkan warga etnis Uighur adalah kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, dan kesetaraan.

Firman Atmakusuma, Yophiandi (CNN, Reuters, AFP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus