Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Gedung Gostiny Dvor, Moskow Tengah, persis di belakang Lapangan Merah Kremlin, Selasa pekan lalu, seribu mahasiswa New Economic School, Moskow, duduk terpaku. Di hadapan mereka, seorang pembicara mengajak memandang dunia dengan cara berbeda.
Barack Obama, Presiden Amerika Serikat yang jadi pembicara itu, mengutarakan, ”Keinginan memiliki kekuasaan tidak lagi mutlak. Kemajuan harus dibagi bersama. Saya mengimbau agar dilakukan ’penataan ulang’ dalam hubungan antara Amerika dan Rusia, dan itu harus lebih dari sekadar awal baru antara Kremlin dan Gedung Putih.” Obama juga menjanjikan penataan ulang itu akan mempererat hubungan kedua negara, yang bakal berdampak pada keamanan lingkungan dunia.
Tak ada tepuk tangan yang menyela di antara pidato yang berdurasi setengah jam itu. Para mahasiswa baru bertepuk tangan saat pidato berakhir. Pidato yang penuh dengan tawaran damai itu juga tidak disiarkan langsung stasiun televisi utama Rusia. Hanya satu stasiun televisi swasta tak terkenal yang menyiarkan acara itu.
Obama tetap berapi-api menyampaikan gagasannya, tapi Rusia tak serta-merta menyambutnya. Beberapa jam sebelumnya, Obama bertemu dengan Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin di kediamannya di Novo Ogarjovo, daerah pinggiran Kota Moskow. Putin didampingi Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, sedangkan Obama ditemani Asisten Menteri Luar Negeri Amerika William Burns.
Ini merupakan pertemuan pertama Putin dengan Obama. Sumber pemerintah Rusia menyatakan, dalam pertemuan selama dua jam itu, Putin menjamu Obama dengan kaviar hitam dengan krim yogurt serta teh tradisional Rusia. Hidangan tersebut dipercaya mampu mencairkan suasana yang terasa kaku. Maklum, sepekan sebelumnya, keduanya sempat berpolemik di media massa.
Toh, saat pertemuan berlangsung, keduanya berusaha bersikap hangat. Kepada Putin, Obama mengatakan mereka mungkin tidak sependapat dalam banyak hal, tapi kedua negara memiliki kesempatan lebih besar untuk membina hubungan lebih erat. ”Sejarah hubungan Rusia dan Amerika mengalami berbagai fase. Ada periode kelabu, menjemukan, bahkan konfrontasi. Namun kami berharap perbaikan hubungan (negara) kita bersama nama Anda,” kata Putin.
Obama tampaknya benar-benar berusaha memanfaatkan waktu singkatnya di negara bekas Uni Soviet itu. Sehari sebelumnya, Obama melakukan pertemuan dengan Presiden Rusia Dmitry Medvedev. Keduanya sepakat mengurangi ketegangan antara Washington dan Moskow yang terjadi beberapa tahun terakhir ini. Mereka juga berjanji mengurangi jumlah hulu ledak nuklir dalam arsenal strategis mereka sampai 30 persen, dalam tujuh tahun mendatang. Saat ini Amerika diperkirakan memiliki 2.200 hulu ledak, sedangkan Rusia mempunyai 2.700 hulu ledak strategis. Rencana pengurangan hulu ledak strategis itu pernah dibahas Obama dan Medvedev saat mereka bertemu di London, April lalu.
Medvedev juga mempersilakan wilayah udara Rusia dipakai untuk kepentingan operasi militer Amerika di Afganistan. Masa berlaku Strategic Arms Reduction Treaty yang akan habis pada Desember disepakati untuk diperpanjang. Satu persoalan yang masih mengganjal dalam hubungan Amerika dengan Rusia adalah sistem pertahanan rudal Amerika di Polandia dan Republik Cek. Moskow curiga sistem pertahanan rudal yang dibangun di dekat perbatasannya itu dimaksudkan untuk menangkis kekuatan nuklir Rusia. Amerika berdalih sistem itu bisa menangkis sejumlah rudal yang diluncurkan dari Iran atau Korea Utara, bukan Rusia. Invasi Rusia ke Georgia serta penghentian pasokan gas ke Ukraina juga membuat hubungan kedua negara menegang.
Di Rusia, uluran tangan Obama disambut dengan skeptisisme. Obama sadar tawarannya mengharmoniskan kembali hubungan Washington-Moskow kurang memikat publik Rusia. Dalam kunjungan sepanjang tiga hari itu, nyaris tidak pernah terlihat kerumunan massa mengelu-elukan pemimpin 47 tahun itu, seperti yang terjadi di Kairo, Mesir, baru-baru ini. Media Rusia pun terlalu enggan menjadikan kunjungan Obama itu sebagai headline.
Namun tanggapan dingin publik Rusia ini tidak mengejutkan Tom Malinowski. Bekas penulis pidato Bill Clinton yang kini menjabat Direktur Advokasi Human Rights Watch itu menyatakan publik Rusia adalah anomali. ”Mereka tidak pernah mudah dirangkul dan dijangkau,” katanya.
Nunuy Nurhayati (Reuters, AP, AFP, The Moscow Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo