Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Qaris Tajudin
*) Wartawan
PADA kolom Bahasa! di majalah Tempo beberapa pekan lalu, Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Nikolaos van Dam, menulis tentang bagaimana mengeja kata serapan Arab dalam bahasa Indonesia. Kolom ini menarik karena ia menganggap pelafalan tersebut masih belum seragam, meski kata serapan dari bahasa Arab begitu banyak memenuhi kamus kita.
Kolom tersebut sebenarnya sudah mencakup hampir semua aspek pelafalan kata serapan Arab ke bahasa Indonesia. Hanya ada satu hal yang tampaknya belum dibahas oleh Van Dam: berubahnya akhiran h menjadi t dalam pelafalan kata-kata bahasa Arab berkelamin perempuan, saat masuk ke bahasa Indonesia. Orang Arab mengenal zakah bukan zakat, maklumah bukan maklumat, ayah bukan ayat. Zakat, maklumat, ayat hanya dipakai saat berbentuk jamak.
Dalam bahasa Indonesia, semua ”tampaknya” menjadi jamak. Zakat, sahabat, maklumat. Tapi benarkah yang kita serap itu adalah bentuk jamaknya? Tunggu dulu, tampaknya bukan itu yang terjadi. Buktinya, kita memakai kata sahabat, bukan ashab (bentuk jamak yang sebenarnya). Lalu dari mana t itu datang? Sesungguhnya ia datang dari Persia, bukan Arab. Iran lebih senang memakai alamat, ayat, dan alat, sedangkan Arab memakai alamah, ayah, dan alah.
Meski kata-kata itu berasal dari bahasa Arab, bentuk yang dikenal di Indonesia adalah dari Persia. Selain soal huruf t itu, bentukan Persia lain yang kita kenal adalah penambahan bi seperti pada biadab. Adab yang berarti kesopanan memang berasal dari bahasa Arab. Tapi bi jelas bukan bahasa Arab. Bi adalah bahasa Persia yang berarti tidak ada. Jadi, biadab adalah tidak punya kesopanan.
Hal ini kerap lolos dari deteksi radar kita, karena selama ini kita menganggap bahasa Persia tidak menyumbangkan banyak kata ke dalam bahasa Indonesia. Padahal banyak sekali kata dari bahasa Persia yang kita serap. Misalnya pesiar (jauh), destar (tutup kepala yang diikat), nisan (dari nisyan: menandai dengan batu kapur), kismis (kishmish), cadar (chador), anggur, takhta (dari takht: kursi besar), kurma (qurma), bandar (pelabuhan), saudagar (sauda: belanja, gar: melakukan), piala, pahlawan.
Dalam buku 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing, Alif Danya Munsyi mengutip penelitian yang dilakukan Sutan Mohammad Zain. Setelah memeriksa Dictionary of Persian Language oleh E.H. Palmer, Zain menemukan banyak kata yang berasal dari bahasa Persia, seperti bius (dari bihusy: tidak sadar) onar (honar), cambuk, geram, jam, lazuardi, nakhoda, nobat, sasar, pelita, sorban, serunai, bedebah, domba, dan kawin.
Ini semua memperkuat pendapat yang mengatakan Islam datang ke Indonesia tidak dari Arab atau Gujarat (India), tapi dari Persia. Seperti yang diungkapkan oleh Prof Dr P.A. Hoesein Djajadiningrat dalam buku Sekitar Wali Sanga yang ditulis oleh Solichin Salam.
Dan, tampaknya, jalur perdagangan berperan penting. Banyak kata yang berhubungan dengan lalu lintas perdagangan (bandar, nakhoda, saudagar) berasal dari Persia. Tapi, untuk anggur dan piala, tampaknya kita tahu dari mana berasal: puisi-puisi Umar Khayyam yang memabukkan.
Bangunlah, o budak kelana, hari lah pagi
Isilah piala dengan anggur ratna merah pagi
Karena saat bagai dalam lembah sunyi ini
Selama hidup fana tak kan kau jumpai lagi
(Rubaiyat, terjemahan B.M. Thahar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo