Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melvyn Adam Mildiner terenyak ketika menyimak berita di salah satu stasiun televisi Israel, Selasa pagi pekan lalu. Dalam siaran berita itu, namanya terpampang di antara deretan tersangka pelaku pembunuhan Mahmoud Abdel Rauf al-Mabhouh.
Melvyn, yang bekerja di salah satu perusahaan teknologi informasi dan tinggal di Beit Shemesh, kota kecil di pinggiran Yerusalem, tak habis pikir bagaimana namanya bisa muncul dalam pembunuhan tokoh militer Hamas itu. ”Saya tidur dengan pneumonia, dan sekarang bangun sebagai pembunuh,” Melvyn, 31 tahun, menyergah marah.
Nama dan nomor paspor yang dipakai tersangka pembunuhan itu, kata Melvyn, memang serupa dengan miliknya. Tapi tanggal lahirnya salah dan foto yang dipajang juga sama sekali tidak mirip dengan wajahnya. ”Paspor saya ada di rumah dan tidak ada stempel Dubai karena saya memang tidak pernah ke Dubai,” katanya.
Bukan cuma Melvyn yang mendadak menjadi ”pembunuh”. ”Sungguh menakutkan kala ada orang yang mencuri identitasmu,” kata Paul John Keeley, 42 tahun. Paul beserta keluarganya pindah ke Israel dari Inggris 15 tahun lalu. Sekarang dia tinggal di Naehsholim Hof, utara Tel Aviv. Terakhir kali dia pergi ke luar negeri dua tahun lalu.
Mahmoud al-Mabhouh ditemukan tewas di kamar 230 Hotel Al-Bustan Rotana, tak jauh dari Bandara Internasional Dubai, Uni Emirat Arab, pada 20 Januari lalu. Di bagian kakinya ada beberapa titik menghitam. Menurut Kepala Kepolisian Dubai Letnan Jenderal Dhahi Khalfan Tamim, Mahmoud diduga meninggal akibat sengatan listrik.
Berdasarkan rekaman kamera pengawas di Hotel Al-Bustan, bandara, serta beberapa hotel lain dan pusat belanja, Kepolisian Dubai menetapkan sebelas orang tersangka pelaku pembunuhan, termasuk Melvyn Mildiner. Berdasarkan paspornya, mereka berasal dari Inggris, Irlandia, Jerman, dan Prancis. Namun sudah bisa dipastikan semua paspor itu palsu. Selain muncul bantahan dari kesaksian Melvyn dan empat warga Israel, menurut Departemen Luar Negeri Irlandia, tak ada nama Gail Folliard, Kevin Daveron, dan Evan Dennings dalam daftar pemilik paspor negara itu.
Merujuk pada berbagai bukti dan pola pembunuhan Mahmoud, jari Khalfan Tamim menuding ke arah Mossad, dinas intelijen Israel. Berulang kali, seperti dalam upaya pembunuhan Khalid Mishal (sekarang Kepala Biro Politik Hamas) pada 1997 di Amman, Yordania, agen Mossad selalu memalsukan paspor negara lain. ”Jika tidak seratus persen, saya yakin 99 persen bahwa Mossad berada di balik pembunuhan ini,” kata Khalfan Tamim, Kamis pekan lalu. Baik Mossad maupun Israel sampai saat ini masih bungkam soal pembunuhan Mahmoud.
Tak terang benar untuk keperluan apa Mahmoud, 50 tahun, berada di Dubai. Selama ini, salah satu pendiri sayap militer Hamas, Brigade Izzaddin al-Qassam, itu tinggal di Damaskus, Suriah. Dia menjadi incaran Israel setelah terlibat dalam pembunuhan dua prajurit Negeri Bintang David, Avi Sasportas dan Ilan Saadon, pada 1989. Para petinggi Hamas menolak mengungkap tujuan kepergian Mahmoud.
Menurut sumber yang dikutip Palpress, kantor berita Palestina, beberapa pekan sebelum pembunuhan, petinggi Hamas menerima pesan dari salah satu penyelundup senjata. Dia meminta Hamas mengirim Mahmoud ke Dubai untuk membicarakan urusan bisnis senjata. Mahmoud memang sering disebut sebagai salah satu pemasok senjata bagi pejuang Hamas di Gaza.
Mahmoud terbang dari Damaskus dan mendarat di Bandara Internasional Dubai pukul 15.17 pada 19 Januari lalu. Sebagai tokoh senior Hamas, tak sari-sarinya dia pergi tanpa pengawalan. Mahmoud juga menggunakan paspor asli, padahal dia punya empat paspor palsu di dalam tasnya. Talal Nasser, juru bicara Hamas di Damaskus, mengatakan para pengawal Mahmoud tak bisa menyertainya karena mereka tak mendapatkan tiket pesawat. ”Mahmoud juga sudah berulang kali ke Dubai dan tak pernah ada masalah,” katanya dua pekan lalu.
Mahmoud tak sadar sekelompok pembunuh tengah mengintainya. Mereka, kata Khalfan Tamim, terbang dari Paris, Roma, Frankfurt, Zurich, dan mendarat di Dubai pada 19 Januari dinihari, 19 jam sebelum pembunuhan. James Leonard Clarke dan Michael Bodenheimer tiba pertama kali, dan Peter Elvinger, yang diduga menjadi otak pembunuhan, tiba terakhir, pukul 02.30 pagi.
Mereka tinggal menyebar di beberapa hotel. Mereka juga selalu bertransaksi dengan uang tunai. Selama di Dubai, komunikasi di antara kesebelas orang itu tidak terlacak. Diduga mereka menggunakan perangkat radio komunikasi jarak pendek. Polisi hanya menemukan komunikasi cukup intensif antara mereka dan empat nomor telepon di Austria, yang mungkin menjadi pusat komando.
Sejak Mahmoud mendarat di Dubai hingga check in di hotel bintang lima, Al-Bustan Rotana, pada pukul 15.25, kelompok ini terus menempelnya. Tak lama setelah Mahmoud masuk kamar 230, Peter Elvinger menelepon Al-Bustan dan memesan kamar 237, yang tepat berada di seberang kamar Mahmoud.
Mahmoud tak lama ada di kamarnya dan pergi meninggalkan hotel. Tak diketahui ke mana. Selama Mahmoud pergi inilah, menurut polisi, kunci magnetik kamarnya bisa ”dijebol”. Polisi menduga tim pembunuh itu sudah menunggu Mahmoud di dalam kamarnya. ”Pembunuhannya sangat cepat,” kata Khalfan Tamim. Pada pukul 20.20, Mahmoud pulang ke hotel dan sekitar 20 menit kemudian tim pembunuh ini berurutan meninggalkan Hotel Al-Bustan.
Satu setengah jam setelah pembunuhan, Melvyn dan Stephen Daniel Hodes terbang ke Afrika Selatan. Daveron dan Folliard terbang ke Paris, sementara Bodenheimer dan Jonathan Louis Graham menuju Hong Kong. Dennings berpisah terbang ke Zurich.
Mayat Mahmoud al-Mabhouh ditemukan siang harinya. Setelah dua kali berhasil berkelit dari upaya pembunuhan oleh Israel, kali ini dia tak lagi bisa menghindar.
Sapto Pradityo (Guardian, Times Online, Haaretz, Jerusalem Post)
Tersangka Pembunuh Mahmoud al-Mabhouh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo