Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GERAKAN menumpas Ahmadiyah terus menggelinding. Sekitar 300 anggota Komando Laskar Islam menggelorakan tuduhan Ahmadiyah sesat di halaman Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis pekan lalu. Bahkan surat keputusan bersama soal Ahmadiyah yang kabarnya bakal terbit pekan ini dianggap tak cukup. Mereka menuntut pembubaran Ahmadiyah berbentuk keputusan presiden agar berkekuatan hukum. ”Bola di tangan Presiden Yudhoyono,” kata Munarman, Koordinator Komando.
Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat, April lalu, telah merekomendasi Ahmadiyah dilarang. Sebelumnya, pada 2005, Majelis Ulama Indonesia menyatakan Ahmadiyah sesat. Keputusan ini didukung Majelis Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia, Front Pembela Islam, dan sejumlah elite Nahdlatul Ulama, organisasi Islam bermassa terbesar di Indonesia. Tapi, di tengah arus besar itu, muncul gerakan antitesis: Ahmadiyah tak sesat. Penggagasnya sejumlah kiai Nahdlatul Ulama dari luar Jakarta, yang kurang dikenal di panggung nasional. Pondok pesantren mereka tak besar.
Sebelas kiai dalam barisan ini dua pekan lalu mengetuk pintu Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Konstitusi, dan Majelis Ulama Indonesia. Wahid Institute, lembaga yang didirikan Gus Dur dan gencar menebar gagasan Islam damai, memfasilitasi. Mereka antara lain Kiai Haji Imam Ghazali Said dari Pondok Pesantren An-Nur, Wonocolo, Surabaya, dan Kiai Haji Maman Imanulhaq Faqieh, pengasuh Pesantren Al-Mizan, Majalengka, Jawa Barat.
Ada juga Kiai Haji Abdul Tawwab dari Pesantren Darus Sa’adah, Surabaya; Kiai Haji Abdul Aziz (Sampang, Madura); Kiai Haji Imam Nakha’i (Salafiyah Syafiiyyah, Situbondo, Jawa Timur); dan Kiai Haji Nuruddin Amin, Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Jepara, Jawa Tengah. ”Kami hanya menyampaikan kebenaran dan pemerintah wajib melindungi warga negara,” kata Kiai Said, Kamis pekan lalu.
Pembelaan mereka berlandaskan kuat teologi. Menurut Kiai Said, akidah Ahmadiyah sama dengan kelompok Islam lain, mengakui Allah yang tunggal. Ahmadiyah juga mengakui kerasulan Muhammad. Soal Mirza Ahmad, peletak dasar Ahmadiyah, yang diakui sebagai nabi, kata Said, adalah seperti wali yang dipersepsi umat Nahdlatul Ulama. Dalam pemahaman Ahmadiyah yang dipelajari Said, Mirza adalah penerima wahyu untuk dirinya sendiri.
Mirza, kata kiai-kiai itu, tak membawa kitab suci dan hukum agama baru. Islam ahlussunnah waljamaah, Islam Sunni yang dianut Nahdlatul Ulama, menerima konsep ini. ”Bisa jadi, jika hari ini Ahmadiyah yang disesatkan, besok giliran kami,” kata Kiai Said. Kiai Haji Mustain Syafii dari Pondok Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, menguatkan pendapat ini. Menurut dia, sepanjang orang bersyahadat, ”Tak ada Tuhan selain Allah, maka ia Islam.” Mengecap sesat Ahmadiyah, dia melanjutkan, berarti zalim. Kiai Mustain tak ikut bertamu dengan rombongan karena sibuk tapi berada dalam satu barisan.
Kiai pembela Ahmadiyah ini juga merujuk pada konstitusi. Menurut Kiai Maman, hingga kini hukum negara belum menyatakan Ahmadiyah terlarang. Membungkam keyakinan warga negara, kata dia, melanggar konstitusi. Bencana besar jika pengelola negara justru melanggar konstitusi. Pemerintah, ajak kiai, harus netral untuk urusan agama dan mengayomi. Mereka juga mendesak Majelis Ulama kembali menjadi lembaga dialog an-tarulama.
Majelis Ulama, kata dia, cenderung menyikapi perbedaan dengan fatwa yang tak menjunjung nilai Islam. ”MUI jangan sedikit-sedikit bilang sesat,” kata Kiai Tawwab. Tapi kedatangan kiai ini disambut dingin Majelis Ulama. Sekretaris Komisi Pengkajian Majelis Ulama Amirsyah Tambunan menganggap mereka tidak mewakili kepentingan umat Islam. ”Tidak jelas mewakili siapa,” katanya.
Siapakah kiai ini? Kiai Said, selain mengasuh pondok pesantren, dia mengajar di Fakultas Adab Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya. Pondok ini memiliki 250 santri, semua mahasiswa. Santri putri dan putra dipisah meski tetap ada ruang untuk saling lempar pandang. Lokasi pesantren hanya setengah kilometer di timur Institut. Persisnya di Gang Modin, Wonocolo. Kurikulum pesantren relatif longgar. Tak tiap hari wajib mengaji kitab kuning, kitab klasik rujukan pesantren. Wajib berjemaah hanya untuk salat magrib, isya, dan subuh. ”Kami biasa berpikir liberal,” kata Hasan Djunaidi, santri yang juga pengurus pondok.
Kiai Said lahir 12 Februari 1960 di Sampang, Madura. Ia meraih gelar sarjana di Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel dan di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Master bidang pengajaran bahasa Arab ia peroleh dari Khartoum International University, Sudan. Gelar doktor ia sandang dari Al-Azhar Kairo. Kini, ia rais syuriah, semacam lembaga legislatif, Nahdlatul Ulama Surabaya, dan anggota Lembaga Bahsul Matsail, pengkajian masalah aktual, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Sosok Kiai Maman punya warna beda. Selain pendakwah agama, ia aktif berkesenian. Tahun lalu ia meluncurkan antologi puisi Kupilih Sepi. Ia juga Ketua Kepala Adat Jawa Barat. Pada 1998 ia mendirikan pesantren di Desa Ceborelang, Jatiwangi. Kiai muda kelahiran Sumedang ini juga memimpin komunitas gamelan tradisional Ki Buyut. Setiap tahun pondoknya menggelar festival budaya yang tak tabu mementaskan calung dan debus.
Kang Maman, panggilan dia, lulusan Pesantren Baitul Arqam, Lemburawi Ciparay, Bandung. Semula ia mengaku berpandangan agama secara sempit. Kerusuhan Mei 1998 membekas padanya. Ia murung melihat banyak orang di Jatiwangi menghancurkan toko, gereja, dan rumah milik warga Tionghoa, seraya berteriak, ”Babi.” Sejak itu ia berpikir tentang pentingnya hormat pada kemajemukan. Pada 2004 ia mengikuti program Interreligious Dialogue di Ohio University, Amerika Serikat.
Di Yogyakarta, barisan menolak pembekuan Ahmadiyah juga nyaring diteriakkan Kiai Haji Abdul Muhaimin. Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat Prenggan, Kota Gede, ini menjadi salah seorang inisiator Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai yang getol berkampanye pluralisme setelah keluar rekomendasi Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat. Dalam varian berbeda, sejumlah kiai sepuh Cirebon membentuk Forum Kiai Peduli Khittah Nahdlatul Ulama 1926. Mereka menolak rekomendasi yang melarang Ahmadiyah, walau tak bersetuju pada teologi Ahmadiyah.
Mereka antara lain Kiai Haji Syarif Usman Yahya (Pesantren Kempek), Habib Abu Bakar bin Yahya (Pesantren Babakan Ciwaringin), dan Kiai Haji Taufiqur Rahman dari Pesantren Gedongan. Direktur Wahid Institute Ahmad Suaedy melihat mereka adalah kiai progresif yang suaranya terpencil di tengah riuhnya pendapat ulama formal yang diakui negara. Selama ini, kata dia, pendapat damai kiai ini tidak diakomodasi oleh Majelis Ulama. Sebaliknya, mereka gelisah atas fatwa Majelis Ulama yang justru memanas-manasi umat. ”Padahal, jika pecah konflik di masyarakat, kiai-kiai ini juga yang turun tangan,” katanya.
Sunudyantoro, Gabriel Wahyu Titiyoga (Jakarta), Fatkhurrohman Taufiq (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo