Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gedung besar dan tua itu terlihat suram. Memasuki ruangan dalam yang gelap, sesekali terdengar langkah kaki orang yang lewat dalam diam. Di tepi koridor ruangan berderet drum dan kantong plastik besar berwarna putih dan merah jambu. Semuanya seperti tempat sampah biasa.
Tapi, jangan salah, isi drum dan kantong plastik tersebut adalah barang-barang sangat berbahaya. ”Potongan-potongan peralatan fasilitas nuklir,” Claude Tauzin menyampaikan penjelasan.
Dulu, bangunan di Pierrelatte, Prancis, ini merupakan salah satu fasilitas Komisi Energi Atom Prancis—tepatnya fasilitas pengayaan nuklir. Namun, pada 1996, fasilitas ini berhenti beroperasi, kemudian dibongkar, dan sampai sekarang masih dalam proses pembongkaran. Claude Tauzin adalah pemimpin proyek pembongkaran fasilitas nuklir Pierrelatte ini.
”Ini yang nantinya akan dibawa ke tempat penyimpanan akhir,” Tauzin menjelaskan isi kantong plastik ataupun drum itu, di pengujung April silam.
Tak hanya fasilitas Pierrelatte yang ditutup. Fasilitas operasi pemrosesan kembali sisa bahan bakar UP 1 yang berada di Marcoule juga ditutup setelah berhenti berproduksi pada 1997. Berbeda dengan Pierrelatte yang sudah kosong, di UP 1 masih terlihat banyak aktivitas pembongkaran.
”Kami sudah sepakat melakukan pelucutan (senjata nuklir),” kata Antoine Beaussant, Deputi Kepala Staf Gabungan Kantor Presiden Republik Prancis, di kantornya di kompleks Istana Kepresidenan, Paris. ”Kami juga sudah mengurangi senjata nuklir kami.”
Dia mengutip penegasan Presiden Nicolas Sarkozy atas komitmen Prancis untuk pelucutan senjata nuklir saat berpidato di Cherbourg tiga tahun silam. Sarkozy juga mengklaim Prancis merupakan negara pertama yang menutup dan membongkar fasilitas produksi bahan senjata nuklirnya. Juga telah mengurangi sepertiga rudal balistik nuklir bawah laut, rudal nuklir jarak jauh, dan hanya menyisakan 300 hulu ledak nuklir. Selain itu, Prancis mulai transparan dalam isu nuklir.
”Karena itulah kita berada di sini,” ujar Daniel Verwaerde, Direktur Aplikasi Militer Komisi Energi Atom Prancis. Dua pekan lalu dia menerima rombongan wartawan, termasuk Tempo, menjelang konferensi peninjauan pelaksanaan traktat nonproliferasi nuklir di New York, awal hingga 28 Mei ini.
Verwaerde juga menegaskan pernyataan Beaussant. ”Seperti yang dinyatakan Presiden Sarkozy di Cherbourg, komitmen Prancis untuk pelucutan tidak terbatas pada pidato dan janji, tapi diterjemahkan dalam bukti nyata.”
Kendati tak mudah, komitmen itu memang berusaha dijalankan dengan penuh kesungguhan. Melucuti fasilitas senjata nuklir tidaklah semudah membalik telapak tangan. Selain semua bekas peralatan tidak bisa benar-benar dibuang, biaya yang dibutuhkan sangat besar.
Penutupan fasilitas Pierrelatte saja membutuhkan biaya sekitar 600 juta euro. Adapun untuk penutupan UP1 sekitar 5 miliar euro. Total ongkos proses pelucutan sekitar 6 miliar euro.
Pembongkaran fasilitas nuklir juga memakan waktu lama. Dimulai dari pembersihan, pembongkaran, hingga pengurusan sisa-sisa peralatan karena tidak bisa dibuang begitu saja. ”Jalan yang panjang sejak kami memulainya,” kata pemimpin proyek pembongkaran UP1, Gerard Fraize. ”Membongkar lebih lama daripada membangunnya,” Tauzin menegaskan pernyataan rekannya.
Sementara pekerjaan pembangunan sampai beroperasinya semua fasilitas Pierrelatte memakan waktu tujuh tahun, penutupan yang dilakukan sejak 1996 sampai sekarang belum juga usai. ”Sudah dua pertiga bagian,” kata Tauzin.
Proyek bekas reaktor G1, G2, dan G3 di Marcoule, yang penutupannya sudah dimulai pada 1969 dan 1986, pun sampai sekarang belum tuntas. Setelah beres pembongkaran peralatan G1 pada 1980-an, dan G2 serta G3 pada 1996, kini mereka masih menunggu tahap pembongkaran berikutnya yang baru akan dimulai pada 2020.
Toh, apa yang dilakukan pemerintah Prancis itu dinilai belum cukup oleh kelompok antisenjata nuklir. Soalnya, negeri Menara Eiffel itu masih mempertahankan sebagian senjata nuklirnya, dengan alasan untuk berjaga-jaga.
”Kita tidak tahu siapa pemimpin Prancis di masa mendatang. Bagaimana kalau dia mau menggunakannya,” ujar Jocelyn Peyret dari Sortir-du nucleaire. Ia didukung Michele Lafouasse, yang saat ditemui sedang melakukan aksi puasa 10 hari menuntut penghapusan senjata nuklir. ”Harus sampai penghapusan total.”
Purwani Diyah Prabandari (Prancis)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo