Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=brown><B>Toleransi</B></font><BR />Jalan Dialog Raja Abdullah

Arab Saudi, yang lekat dengan paham Wahabi, menggelar dialog antaragama. Sebuah langkah berikut sang Raja untuk saling toleransi.

28 Juli 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebenarnya pemandangan dalam konferensi antaragama yang digelar di Hotel Auditorium Madrid, Spanyol, dua pekan lalu itu biasa-biasa saja. Ratusan orang dengan latar belakang agama beragam, mulai Islam, baik Sunni maupun Syiah, Kristen, Katolik, Yahudi, Hindu, Buddha, sampai Konghucu, berkumpul membicarakan perlunya rekonsiliasi untuk perdamaian dunia.

Hasil pertemuannya juga bukan kejutan: perlu dialog antaragama, toleransi, dan seterusnya. Yang membuat World Conference on Dialogue itu tidak umum adalah pertemuan ini diprakarsai Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz al-Saud.

Maklum saja, pemerintah dan masyarakat Saudi, yang mayoritas beraliran Wahabi, dianggap relatif kurang toleran terhadap kelompok dan agama lain. Itu sebabnya, jangan berharap bisa menemui gereja, apalagi sinagoge di sana. Penganut Syiah, yang jumlahnya 15 persen saja, harus sembunyi-sembunyi saat beribadah.

Maka tidak aneh jika Departemen Luar Negeri Amerika Serikat memasukkan negeri petrodolar itu sebagai salah satu pelanggar hak asasi untuk beragama. ”Di Arab Saudi masih ada larangan terhadap kebebasan beragama dan diskriminasi sistematis terhadap agama minoritas,” demikian background note yang dikeluarkan pemerintah Amerika.

Tapi cap antitoleransi itu kini meluntur. Raja Abdullah adalah orang yang melakukan reformasi dalam hubungan antaragama di negeri itu. Dan ini bukan pula langkah pertamanya. Sejak memimpin Saudi pada 2005, ia aktif berdialog dengan penganut agama lain.

November tahun lalu, misalnya, ia menjadi pemimpin Saudi pertama yang bertemu dengan pemimpin tertinggi agama Katolik, Paus Benediktus XVI, di Vatikan. Ini sebuah langkah yang berani.

Dalam pertemuan itu, Paus minta Saudi mengizinkan berdirinya gereja di sana. Konon, ada sekitar satu juta penganut Nasrani, yang merupakan pegawai asing dan keluarganya. Sebuah permintaan yang terlihat muskil, karena di Saudi selama ini lambang salib dan Bibel saja dilarang.

Nyatanya, Abdullah, 84 tahun, pelan-pelan bisa meyakinkan ulama Saudi, penganut paham Wahabi yang ortodoks dan menjalankan agama seperti pada zaman nabi. Kerajaan harus mengumpulkan 40 ribu khatib dan imam masjid untuk menjelaskan bahwa mereka tidak menganut satu aliran lagi. Maka, Maret lalu, keluar izin dari Raja untuk mendirikan gereja di negeri itu meski belum diputuskan lokasi dan waktunya.

Sepak terjang Raja tidak berhenti sampai di sini. Bulan lalu, ia menggelar konferensi Islam di Mekkah, yang untuk pertama kalinya melibatkan wakil kelompok Syiah. Bukan perkara mudah mengumpulkan Syiah dan Sunni di satu tempat karena masih ada ulama Saudi yang menilai Syiah bukan bagian dari Islam. Bahkan, untuk bicara dengan kelompok ini pun dilarang.

Tak tanggung-tanggung, hadir dalam pertemuan itu imam besar Al-Azhar Mesir, Mohamed Sayed Tantawi, dan mantan Presiden Iran Akbar Hashemi Rafsanjani. Dari konferensi ini, digagas konferensi Madrid. ”Saudi benar-benar sudah membuka diri. Sebelumnya sudah ada pertemuan lintas agama seperti ini, tapi bukan Raja Saudi yang menyelenggarakan,” kata Rabi David Rosen, satu-satunya orang Israel yang hadir dalam sidang tiga hari di Madrid itu.

Meski banyak pujian, ada juga pihak yang skeptis terhadap langkah Raja Abdullah itu. Ada yang menduga dialog itu akibat tekanan Amerika, atau mempersoalkan karena tak banyak perempuan yang dilibatkan, hingga kritik bahwa undangan untuk wakil Yahudi hanya basa-basi karena Rabi David Rosen sehari-hari tinggal di Amerika. Ada lagi yang menganggap dialog itu digelar di Spanyol karena Abdullah takut ulama menolak kehadiran delegasi nonmuslim di Saudi.

Namun sosok Abdullah dinilai telah memberikan harapan Saudi yang lebih terbuka. Raja dengan tujuh anak laki-laki dan 15 perempuan ini, begitu menduduki takhta, menggelar pemilihan umum untuk menentukan dewan daerah, membangun universitas. Sayangnya, masih terlalu banyak larangan untuk wanita, seperti ikut pemilu.

Raja Abdullah juga masih harus meyakinkan aparat dan ulama agar memberikan kebebasan berbagai aliran menjalankan ibadah mereka. Seperti dikatakannya sendiri, ”Jika semua orang bisa menjalankan agama mereka seperti diperintahkan Allah, dunia ini akan bebas dari pertentangan.”

Yudono Yanuar (AP, Timesonline, CNN, BBC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus