Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RED CLIFF Sutradara: John Woo Skenario: John Woo, Chen Han, Sheng Heyu, Berdasarkan Chronicle of the Three Kingdoms Pemain: Tony Leung, Takeshi Kaneshiro, Chang Chen Produksi: Terence Chang, Han Sanping, Lion Rock Entertainment, China Film Group
BURUNG merpati pembawa berita; panah yang melesat dari busur hingga ke leher yang menciptakan air mancur darah; puluhan ribu kesatria dan seorang mahaputri yang jelita. Inilah kisah tiga kerajaan dalam satu sejarah besar Cina di abad ketiga, di masa keruntuhan Dinasti Han, yang telah berulang-ulang diangkat ke layar lebar.
Film Red Cliff (bagian pertama) seolah sebuah ”perjalanan pulang” sutradara John Woo ke akarnya. Film ini dibuka dengan adegan sang Kaisar muda yang nyaris ngantuk di singgasana, yang tampak begitu mudah disentak oleh sang Perdana Menteri Cao Cao (Zhang Fengyi) yang penuh ambisi. Cao Cao, dengan segala keangkuhan karena mampu menundukkan pemberontakan di seluruh penjuru, meminta kaisar yang peragu dan hijau itu merestuinya menaklukkan Liu Bei (Young Yu), yang menguasai kawasan selatan Cina, dan Sun Quan (Chang Chen), untuk alasan yang lebih personal: Cao Cao jatuh cinta pada istri Sun Quan. Sang Kaisar memberi restu penyerbuan, sementara Cao Cao dengan santai menghukum penggal petinggi yang berani menentangnya.
Selanjutnya, layar terbentang; medan perang dibuka. Bagi mereka yang tak mengenal tokoh-tokoh besar three kingdoms, tiga kerajaan, di masa Dinasti Han ini, sutradara John Woo dengan baik hati memperkenalkannya satu per satu, dengan teliti, dengan berbagai adegan dan diskusi filsafat lengkap dengan pantun berbalas pantun.
Tapi tiga tokoh penting dalam film ini para jenderal, bukan para raja. Cao Cao, sang perdana menteri dan pendekar ulung yang culas, keji, dan memiliki tentara di seluruh muka bumi; Zhuge Liang (diperankan aktor Jepang-Taiwan tampan itu, Takeshi Kaneshiro), pembuat strategi militer dari kubu Liu Bei; dan Zhou Yu (siapa lagi kalau bukan Tony Leung, yang masih saja menggetarkan layar pada usia 46 tahun), tangan kanan Raja Sun Quan, seorang kesatria yang intens filosofis, garang di medan perang dan lembut di tempat tidur.
Untuk satu jam di awal film, perkenalan begitu banyak tokoh dianggap penting—meski agak berkepanjangan—karena tampaknya karakter ini akan mempengaruhi cara mereka menguasai medan perang. Tokoh Zhuge Liang, sosok terkemuka dalam sejarah, ditafsirkan oleh aktor Takeshi Kaneshiro sebagai seorang lelaki cerdas, sarkastis, penuh humor, intelektual, dan sedikit flamboyan (senantiasa memegang kipas bulu) dan persuasif. Cara dia meyakinkan Zhou Yu untuk bersekutu dengan pasukannya melalui sebuah ”diplomasi”, di mana Liang membantu kelahiran seekor kuda. Persuasi itu tak cukup. Di suatu malam, di hadapan istri Zhou Yu yang jelita, mereka berduet memainkan alat musik petik; sebuah adegan yang erotis yang memberi sekilas kesan adanya udara ketertarikan di antara kedua pria, meski kemudian diakhiri dengan ”ketertarikan” yang lebih bersifat sebagai ”persaudaraan” di lapangan perang. Sikap John Woo yang memberi ruang untuk berbagai interpretasi akan hubungan persahabatan Zhou Yu, yang dimainkan oleh Tony Leung dengan intensitas yang membakar, dengan Zhuge Liang adalah salah satu tafsir yang menarik, yang absen dalam film Three Kingdoms karya Daniel Lee yang baru saja beredar di Indonesia.
Persahabatan kedua ”kesatria”—jika kita ingin menyebutnya demikian—yang saling mengisi dan saling membutuhkan itu menjadi bagian drama penting di samping gontok-gontokan dengan berbagai strategi dan eksotisme martial art. Tentu saja adegan klimaks adalah perang besar di lapangan. Zhuge Liang adalah seorang ahli strategi yang cemerlang; yang menawarkan strategi yang dianggap kuno, yakni ba gua (segi delapan), sebuah strategi yang diinspirasikan dari bentuk tempurung kura-kura. Tentara Cao Cao yang banyak dan begundal—sampai titik ini tentu saja kita sudah berpihak berat pada pasukan Zhou Yu yang terasa begitu miskin dan underdog—dipancing ke tengah, dan mereka dikurung oleh lapisan-lapisan tentara Zhou Yu. Pemandangan sigap dan eksotis yang direkam dari atas ini tidak saja menghibur dan seru, tapi sekaligus memamerkan keahlian John Woo yang kita kenal: seorang sutradara yang menaklukkan kerja kamera.
Bagi penonton Indonesia penggemar martial art yang sudah sangat mengenal karya Ang Lee dan Zhang Yimou, adegan perang film John Woo terasa jadi jantan, keras, dan machismo. Otot dan kegarangan adalah roh film. Bahkan adegan percintaan dan tarian para wanita akhirnya menjadi tempelan (dibuang juga tak apa).
John Woo sengaja mengulur. Si jahat Cao Cao dibiarkan banyak tersenyum tengil, bahkan ketika para tentaranya kalah pada hari pertama. Lagi-lagi, ini mengingatkan analogi bagaimana malam-malam Bharatayudha penuh dengan pertemuan di dalam tenda Kurawa dan Pandawa yang sibuk bersiasat untuk perang keesokan hari.
Sialnya, ketika darah sudah naik karena ingin menyaksikan strategi pembalasan Cao Cao pada hari kedua melalui laut, kalimat itu muncul: ”to be continued”. Dua jam lebih tak terasa, karena John Woo menggedor-gedor kita dengan campuran berbagai emosi. Menanti Januari 2009 untuk lanjutan film ini sungguh keterlaluan. Tapi itulah taktik ”perang” mereka dalam industri film.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo