Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=#f090>Libanon</font><br />Para Perempuan Perkasa

Sekelompok perempuan Libanon bekerja sebagai tim pencari bom yang ditanam Israel. Keluarga mereka awalnya menentang.

5 September 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Helm dan jaket keselamatan itu menutupi jilbab yang mereka kenakan. Perlahan, sekelompok perempuan itu menyusuri rerimbunan semak. Sekitar pukul 3 sore, ketika temperatur mencapai 40 derajat Celsius, kegiatan dihentikan. Sejumlah bom telah ditemukan dan dihancurkan.

Lamis Zein, 33 tahun, pemimpin lapangan, memerintahkan anak buahnya mengemasi peralatan, masuk ke minivan, dan pulang. Dari penjinak bom, mereka kembali menjadi ibu rumah tangga. "Saya sangat senang kalau kami menemukan bom," kata Zein, ibu dua anak yang terlatih membongkar dan menghancurkan bom dalam tanah.

Lima tahun setelah perang Israel-Hizbullah, bumi Libanon Selatan masih dipenuhi ribuan bom curah yang tidak meledak. Pertempuran itu dimulai pada Juli 2006, ketika Hizbullah menyerang Israel dengan roket. Menjelang pertengahan Agustus, kedua pihak berunding dan menyepakati gencatan senjata. Namun, 72 jam menjelang perdamaian pada 14 Agustus 2006, Israel menanami lahan Libanon Selatan dengan gugusan bom.

Sekelompok perempuan pemberani membantu membersihkan desa-desa di Libanon Selatan dari warisan mematikan itu. Mereka sebelumnya bekerja sebagai guru, perawat, dan ibu rumah tangga, yang kemudian dilatih oleh lembaga swadaya masyarakat Bantuan Rakyat Norwegia (NPA) untuk menyingkirkan bom yang belum meledak. Organisasi pencari ranjau menawarkan upah US$ 750-850 per bulan, lebih tinggi ketimbang upah normal di sana, yang rata-rata US$ 200 per bulan.

Tim perempuan ini bekerja sama dengan tim pencari laki-laki, di bawah koordinasi tentara Libanon. Zein telah menjalani tahun keempat sebagai pencari bom. "Sebelumnya, saya delapan tahun bekerja sebagai guru bahasa Inggris," ujarnya.

Awalnya, para pria terkejut menyaksikan perempuan ikut mengerjakan tugas yang biasa dilakukan laki-laki itu. Keluarga Zein bahkan baru bisa menerima pekerjaannya setelah empat tahun. "Sekarang, tiap hari mereka bertanya, berapa gugusan bom yang saya temukan, dan berapa yang saya hancurkan," Zein berkata dengan bangga.

Zein yakin kinerja para perempuan dalam pekerjaan ini tak kalah dengan laki-laki. Perempuan bahkan lebih berhati-hati dan teliti. Medan dan cuaca adalah faktor terbesar yang melelahkan para pencari bom. Musim dingin yang beku, hujan lebat yang mempengaruhi pergeseran bom dalam tanah, dan akar tumbuhan yang melilit bom menyulitkan pekerjaan mereka. Bahang matahari di musim panas menyebabkan tanah menjadi tandus dan sulit digali.

Bom-bom Israel itu tertanam di perkebunan pisang, zaitun, dan jeruk. Bersembunyi di balik semak belukar, dan terjerat cabang serta akar tanaman. Ancaman gigitan ular, laba-laba, dan kalajengking mengintai para pencari bom, sehingga mereka harus bekerja dengan konsentrasi penuh sepanjang hari. Membiarkan pikiran mengembara bisa membuat mereka kehilangan anggota tubuh, bahkan nyawa.

"Anak-anak selalu khawatir, terutama setiap mereka dengar ada kecelakaan," kata Abir Asaad, anggota tim. Saking ketakutannya, suami dan kelima putrinya kerap meminta Asaad berhenti dari pekerjaan itu. Ketika awal bergabung dalam tim, Asaad merahasiakan pekerjaan itu dari suami dan anak-anaknya. Mulanya ia pun merasa waswas saat bekerja, tapi kemudian kepercayaan dirinya tumbuh. "Yang penting kami mengikuti prosedur, waspada, fokus, dan memeriksa lahan dengan perlahan," ujarnya.

Sejak Mei lalu, tim NPA telah menemukan 38 bom di lahan milik penduduk, dan dua bom di jalan umum. Bom terkutuk itu telah menelan 400 korban dan menewaskan 50 orang.

Salah satu korban adalah Rasha Zayyoun, 17 tahun. Suatu hari, ayahnya membawa pulang sayuran untuk dimasak. Rasha tak menyadari ada bom di antara dedaunan. Ia melempar begitu saja ke sisinya karena dikira sampah. Bom itu meledak begitu menghantam tanah. Gadis yang tinggal di Desa Maarakeh ini kehilangan kaki kirinya sampai selutut. "Ini menyakitkan," katanya.

Kisah korban seperti Rasha menyulut semangat Zein, Asaad, dan kawan-kawannya dalam mencari bom. Buat mereka, menemukan sebuah bom sama dengan menyelamatkan kehidupan seseorang. "Perasaan yang tak bisa dijabarkan dengan kata-kata," ujar Asaad.

Nieke Indrietta (The Guardian, AP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus