Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIBYA, akhir Agustus 2011. Di wilayah Suq al-Juma, bagian tepi timur Tripoli, perang praktis selesai. Lebaran dirayakan dengan takbir di masjid-masjid dan anak-anak terus bermain sampai lewat tengah malam. Tiga hari yang lalu pasukan pemberontak menduduki wilayah ini, dan keadaan relatif rapi. Laporan Nicolas Pelham di The New York Review of Books pekan ini menyebut para sukarelawan yang siap memanen kurma dan tomat, menggantikan buruh Mesir yang sudah menyingkir. Seorang pekerja perminyakan yang jadi penjaga toko pangan yang dibuka terus selama pertempuran agar penduduk tetap bisa makan. Orang yang menggali sumur untuk menjaga suplai air, bensin yang didapatkan dan dibagikan gratis, sebuah masjid yang menampung bekas tahanan politik yang masih tampak pucat.
Akan demikian seterusnyakah Libya, setelah ribuan orang membebaskan diri dari otokrasi yang berkuasa bertahun-tahun? Selalu ada saat yang indah dalam tiap revolusi kemerdekaan: ketika banyak orang merasakan pertalian dengan para teman seperjuangan dan sepengharapan; ketika masa depan yang sedang ditegakkan adalah masa untuk berbagi; ketika liyan dan sesama bertemu kembali—dan orang merasakan sesuatu yang universal pada manusia, meskipun yang universal itu tak dapat dirumuskan, meskipun mungkin sebenarnya mustahil, tapi, di saat seperti itu, memberi arti bagi sebuah perlawanan untuk kemerdekaan. Biarpun tak untuk selama-lamanya.
Tak untuk selama-lamanya; sampai kapan?
Perlawanan di Libya, seperti halnya di Tunisia, Mesir, Suriah, disebut "Musim Semi Arab". Kiasan ini di satu pihak mengandung citra kesegaran kembang yang muncul setelah tertimbun musim dingin. Di lain pihak, mengandung kesan umur pendek, tiga bulan. Setelah itu: musim panas. Di Timur Tengah, itu bisa berarti udara gerah dan terik yang memungkinkan api membasmi cepat dan luas. Kemudian musim gugur, the Fall….
Tak berarti keadaan ditakdirkan jadi buruk. Siklus musim bisa mengandung optimisme. Bahkan musim dingin yang lazim muram bisa juga mengandung janji. Tentu saja itu tergantung di posisi mana orang memandangnya. Dalam lakon Shakespeare Richard III musim dingin adalah harapan bagi Gloster yang berada dekat takhta. Ia adik Raja Edward IV yang berhasil melintasi perang dan menang. Ia di pihak yang memutuskan masa depan. "This is the winter of our discontent…," katanya di awal lakon. Musim panas akan dibuat gemilang. Tanda kemenangan akan teruntai di alis. Lengan yang luka akan terjuntai ke monumen. Suara tegas tanda bahaya akan berubah jadi suara riang perjumpaan, dan langkah barisan yang gemuruh beringas akan jadi langkah gembira.
Now are our brows bound with victorious wreaths;
Our bruised arms hung up for monuments;
Our stern alarums chang’d to merry meetings,
Our dreadful marches to delightful measures.
Tapi kita belum tahu adakah "musim semi Arab" akhir dari sebuah masa yang suram. Kita belum tahu adakah barisan yang beringas itu akan berubah jadi gembira. Dan kita tak tahu akankah dari gegap-gempita optimisme muncul seorang Gloster yang jadi Richard III: bengis, culas, untuk berkuasa.
Yang kita tahu, pesimisme sudah terdengar. "Sungguh malang, musim panas Mesir 2011 akan diingat sebagai tanda akhir revolusi… ketika potensi pembebasan dicekik."
Itu kesimpulan Slavoj Žižek di sebuah artikel di The London Review of Books. Adapun para pencekik, para penggali kubur, menurut pemikir Slovenia ini, adalah tentara dan kaum Islamis. Kalangan "liberal pro-Barat" Mesir lemah, dan bagi Žižek bukan di situ berhimpun "potensi pembebasan". Pelaku sejati revolusi Mesir adalah "kaum kiri sekuler yang baru muncul, yang telah mencoba membangun satu jaringan masyarakat madani dari serikat buruh sampai gerakan feminis".
Žižek tampaknya ingin mengatakan "kaum kiri sekuler" begitu mudah dicekik karena mereka tak membangun kekuatan politik yang terorganisasi. Mereka belum menjawab, tatanan baru apa yang seharusnya menggantikan tatanan lama setelah pemberontakan usai, ketika "gairah yang sublim dari saat pertama" sudah lewat.
Žižek menengok ke para demonstran di Madrid, kaum indignados, yang dari bermacam aliran memprotes keadaan ekonomi Spanyol. Mereka menolak kekuatan politik mana pun, kiri atau kanan. Tapi tak jelas kepada siapa mereka mempertaruhkan harapan perubahan.
Kelemahan fatal gerakan protes seperti ini, kata Žižek, adalah "menyatakan amarah yang sungguh-sungguh tanpa bisa mengubahnya jadi program yang tegas untuk perubahan sosial-politik". Mereka hanya "mengekspresikan semangat pemberontakan tanpa revolusi".
Agaknya Žižek hendak menganjurkan sesuatu yang mirip partai Leninis: "Diperlukan satu badan yang kuat yang mampu mencapai keputusan cepat dan menerapkannya dengan kekerasan yang perlu," tulis Žižek di akhir esainya.
Sebuah anjuran yang masuk akal. Tapi ada catatan.
Kini, seperti dulu, kekuatan yang dihadapi kaum "kiri sekuler" adalah kapitalisme. Tapi kapitalisme kini, kata Žižek, lebih berbahaya: "Dimensi global kapitalisme mewakili kebenaran tanpa makna." Kapitalisme tak perlu makna hidup, asal dan arahnya, tak peduli sangkan paraning dumadi dan apa konsekuensinya bagi sikap dan perbuatan.
Melawan keadaan itu berarti melawan ketiadaan makna. Pertanyaan besar yang harus dijawab gerakan "kiri sekuler" ialah bagaimana di abad ini ia menawarkan makna—bukan teori revolusi semata, tapi makna yang tumbuh dari laku dan perjuangan sehari-hari. Mungkin seperti laku orang Suq al-Juma: dengan bersahaja mereka tumbuhkan kesetaraan dan kebebasan, antara sesama dan liyan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo