Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=2 color=#FF0000>Pembaru Media Myanmar, Soe Myint:</font><br />Persiapan Pulang Saya 24 Tahun

3 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua babak besar membelah 45 tahun hidup Soe Myint, Pemimpin Redaksi Mizzima News dan tokoh pembaru media Myanmar. Episode pertama berlangsung selama 21 tahun di Yangon, ibu kota Myanmar. Dia belajar politik internasional di Rangoon University dengan target menjadi diplomat. Target itu rontok macam rumah kertas ketika rezim junta naik selepas geger politik besar di negeri tersebut pada 1988.

Soe lari ke hutan, dan menyaksikan dari dekat bagaimana tentara membunuh para mahasiswa dan kaum sipil. Pemuda itu memutuskan kabur dari negerinya. Dia naik Thai Air, membajak pesawat tersebut, dan memaksa pilot membelokkan arah penerbangan ke Kolkata, India. "Saya hendak menggelar jumpa pers di India dan menyiarkan berita pembunuhan massal warga sipil kami ke dunia luar."

Aksinya berakhir dengan masuk bui di New Delhi selama tiga bulan. Dan babak kedua hidupnya dimulai: Soe Myint menjadi pelarian politik selama 24 tahun. Dengan satu laptop hasil iuran beberapa penderma, anak muda itu belajar menjadi wartawan. Dia "membuka kantor berita" di laptop itu dengan nama Mizzima. Soe mengaku bertekad untuk survive karena yakin betul bahwa ia pulang ke Myanmar pada saat yang tepat.

Saat itu tiba pada Januari 2012—setahun setelah turunnya rezim junta di bawah Jenderal Than Shwe.

Memboyong kembali seluruh jaringan Mizzima ke Yangon pada awal 2012, Soe Myint berhasil merebut tempat terdepan bisnis pers Myanmar—pascajunta—dalam waktu setahun. Dia menerbitkan majalah politik, jurnal ekonomi, dan media online dalam bahasa Inggris dan Burma. "Yang paling sulit adalah menghidupkan aspek bisnisnya," katanya. Untuk membantu biaya operasional Mizzima, Soe menerima tawaran untuk menjual mebel dan furnitur.

Di sela-sela pertemuan Asian Journalism Forum di Chiang Mai, Thailand, dua pekan lalu, Soe Myint memberikan wawancara khusus selama tiga jam kepada wartawan Tempo, Hermien Y. Kleden.

Apa yang dapat menyatukan tiga kelompok wartawan pascarezim junta: mereka yang tak pernah keluar dari Myanmar, yang pulang dari pengasingan, dan yang masih bertahan di luar negeri?

Kebebasan berpendapat serta peningkatan kemampuan etika dan tanggung jawab media adalah isu-isu dasar yang mampu mengikat kami. Pemerintah dan negara belum mampu menangani kebebasan pers hingga sekarang.

Karena sejarah masa lalu?

Karena kami tak punya pengalaman. Di masa lalu, semua informasi harus disensor sebelum disiarkan. Selama junta berkuasa, ada 30 lembaga sensor yang mengawasi publikasi media. Sejak Agustus 2012, sensor mulai dihapus. Namun "media bebas dan independen" adalah sesuatu yang amat baru bagi media massa Myanmar.

Yang kami dengar, media di sana belum bisa mengkritik pemerintah secara terbuka.

Begini. Kebebasan dan penghapusan sensor tentu bertahap. Tapi, sejak Agustus 2012, bisa dikatakan sensor media sudah banyak dihapus. Kondisi itu yang membuat kami memutuskan pulang.

Anda wartawan Myanmar pertama yang kembali dari pengasingan—lengkap dengan jaringan media yang sudah jadi. Bagaimana menyiapkan semua itu?

Saya menyiapkannya terus-menerus selama 24 tahun, selama menjadi pengungsi di bawah perlindungan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR atau Komisi Tinggi Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa) di New Delhi. Gerak hidup sebagai pengungsi amat terbatas. Tapi tak satu pun hari lewat tanpa saya mengamati situasi Myanmar.

Karena Anda ingin menyaksikan jatuhnya rezim junta?

Karena saya ingin memastikan kapan pintu Myanmar terbuka terhadap kebebasan berpendapat. Saya mampu bertahan sebagai pelarian karena ada tujuan yang menghidupkan spirit saya: pulang ke Myanmar.

Dan, Anda memilih pulang pada Januari 2012....

Saat merebutnya, bukan sekadar memilih. You have to find ways, many ways; Anda harus mencari rupa-rupa jalan karena kesempatan tidak jatuh ke tangan Anda begitu saja.

Bagaimana merebutnya?

Sejak 1998, saya membuka "kantor" Mizzima di New Delhi dengan modal laptop hasil urunan kawan-kawan donor. Saya belajar menulis berita, berlari-lari ke telepon umum untuk mengirim berita, dan berkali-kali digerebek polisi India. Tapi saya jalan terus, dan kawan-kawan mulai bergabung. Pada 2006, kami membuka dua kantor bawah tanah di Yangon—dan satu kantor yang lebih besar di Chiang Mai, Thailand, yang membuat kami makin lancar berhubungan dengan sumber-sumber di Myanmar. Oktober 2011—setahun setelah pemilihan umum Myanmar—saya dan semua editor Mizzima bertemu di Chiang Mai. Kami memutuskan pulang. Saya menulis surat kepada Presiden (Thein Sein) dan menteri-menteri terkait, termasuk Menteri Informasi ketika itu (Kyaw Hsan).

Isinya apa?

"Undanglah saya. Manfaatkanlah saya untuk membantu mengembangkan kehidupan media di negeri kita," itu isinya, antara lain.

Wah, kedengarannya lancar saja?

Justru sulitnya bukan main. Betul, Presiden sudah merespons positif niat kami—begitu pula menteri bidang pemulangan pengungsi dan menteri informasi. Tapi mekanisme mengatur penerbitan baru belum ada. Jadi, di masa-masa awal, saya harus mengimpor majalah kami di Chiang Mai ke Myanmar—dan bukan menerbitkannya di Yangon.

Bantuan apa yang Anda berikan kepada para wartawan Myanmar?

Dari hal yang amat mendasar, mengatur rapat redaksi yang efektif, hingga menentukan angle berita. Bagian yang lebih sulit adalah aspek bisnisnya.

Dari pengalaman setahun terakhir, berita apa saja yang menurut Anda paling dibutuhkan di Myanmar?

Liputan kami pada dasarnya bergerak bersama perubahan politik. Awalnya kami menggarap berita tentang aktivis dan para pelarian politik. Mulai 2006, isu-isu politik menjadi lebih menarik. Dua tahun setelah itu, demo terhadap pemerintah, anarki, referendum, dan kejahatan terhadap hak asasi manusia menjadi isu utama. Setelah pemilu dan turunnya junta, kami lebih banyak menggarap berita ekonomi, isu pembangunan, dan problem etnis. Satu wilayah yang akan sangat kami kembangkan ke depan—karena amat dibutuhkan pembaca—adalah laporan-laporan investigasi.

Apa kesulitan terbesar?

Mizzima harus menghidupi diri sendiri—dan tak lagi bergantung pada para donor seperti saat kami hidup di pengasingan. Bila Anda memberi saya 100 baht, saya tahu betul memanfaatkannya seefektif mungkin. Yang saya belum tahu—dan masih perlu banyak belajar—adalah menciptakan 100 baht itu melalui bisnis media.

Kebebasan macam apa yang Anda rasakan sekarang?

Bisa saya katakan saya merasa sangat bebas.

Tepatnya bagaimana?

Sekarang ini saya merasa jauh lebih bebas ketimbang 24 tahun saat saya berada di India. Di sana saya tidak punya identitas, tidak punya paspor resmi. Ruang hidup saya hanya seputar laptop. Ibaratnya, saya hidup di "kantor Mizzima", ya laptop itu, dan hidup bukan di India. Saya sulit ke mana-mana.

Padahal, sebagai wartawan, Anda tidak bisa terus-menerus bergerak di bawah tanah.

Oh, saya bepergian juga, berkali-kali, dengan paspor-paspor palsu.

Paspor negara apa saja?

Ha-ha-ha... cukuplah Anda tulis dengan aneka paspor palsu.

Berapa orang wartawan yang menyokong Anda sekarang?

Sekitar 80 orang, kebanyakan anak muda.

Boleh tahu apa yang Anda lakukan ketika pertama kali menginjak Yangon—setelah 24 tahun?

Saya lahir dan tumbuh dewasa di rumah orang tua saya di Okkalapa Selatan, ­Yangon. Selama di India, minimal sepekan sekali saya dilanda mimpi yang sama, yakni kembali ke rumah di Okkalapa dan masuk dari pintu belakang. Itulah yang saya lakukan saat pertama kembali ke rumah.

Boleh tahu siapa yang paling Anda percayai setelah melampaui 24 tahun di pengasingan: Tuhan, keluarga, atau siapa?

Saya tidak percaya Tuhan—walaupun resminya saya seorang Buddhis. Saya percaya pada diri sendiri. Terutama saya percaya bahwa—sekecil apa pun—manusia harus mengisi hidupnya dengan sedapat-dapatnya membantu orang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus