Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ADAMA Drabo duduk bersimpuh di sebuah sudut ruangan gelap kantor polisi di Gendarmerie Sevare, Mali. Tuniknya lusuh. Wajahnya cemong tak keruan. Sore itu ia bertingkah kikuk dengan rona wajah yang diliputi ketakutan, apalagi kalau didekati polisi. "Saya takut karena mereka mengancam membunuh saya," rapal lelaki 16 tahun itu berulang-ulang.
Sepekan lalu, Adama memberi kesaksian kepada polisi dan lembaga Amnesty International, berbagi cerita tentang pengalamannya saat menjadi bagian dari kelompok perusuh di Mali. Ia satu dari ratusan anak yang direkrut menjadi serdadu oleh sayap militer Al-Qaidah yang beroperasi di wilayah Afrika Utara.
Dalam ceritanya kepada koalisi lembaga swadaya masyarakat perlindungan anak Afrika, yang dikutip situs berita National Post, bocah asal Desa N'Denbougou—berjarak 25 kilometer dari Niono, kota yang merupakan garis depan pertempuran ekstremis Islam di Mali—itu lahir dari keluarga papa. Ayahnya hanya petani yang kadang menyewakan sapi miliknya untuk membajak ladang tetangga.
Adama tak pernah bersekolah. Satu-satunya pendidikan yang ia peroleh berasal dari sebuah madrasah di dekat rumahnya. Alih-alih ia mendapat pencerahan, justru dari tempat itulah kesengsaraannya bermula.
Pada suatu hari yang tak lagi bisa diingat Adama, ia dan belasan kawan sekelasnya terangkut segerombolan orang yang belakangan diketahui sebagai MUJAO. Kelompok tersebut merupakan salah satu yang mengklaim sebagai Gerakan Jihad Al-Qaidah di Afrika Barat.
Adama jelas tak berdaya. Sebab, gerombolan penculik menenteng senapan dengan badan berselempang peluru. "Yang bisa saya ingat, kala itu pelajaran hampir selesai, kemudian seorang pemimpin dari mereka masuk dan menunjuk kami satu per satu untuk keluar dari kelas," katanya.
Saat di luar kelas, pemimpin gerombolan itu lantas berseru bahwa bocah-bocah yang mereka pilih tersebut adalah serdadu pilihan Tuhan. Lebih dari itu, mereka juga menjanjikan bisa memberikan penghidupan berupa gaji yang bakal mereka terima tiap bulan. Besarnya beberapa kali lipat dari rata-rata penghasilan orang dewasa di Mali.
"Saya waktu itu dijanjikan bergaji setara dengan US$ 200 per bulan, tapi hingga sekarang uang itu cuma khayalan," ujar pemuda yang punya cita-cita membantu kesulitan hidup orang tuanya ini. Sejak hari itu, Adama pun bekerja sebagai bujang di dapur umum serdadu MUJAO.
Adama masih termasuk beruntung, kata Amnesty International dalam rilisnya. Sebab, ia hanya dijadikan koki di dapur umum. Sedangkan puluhan atau mungkin ratusan lainnya harus terlibat perang dan baku tembak melawan tentara Mali dan Prancis di Diabaly, kota yang terletak sekitar 400 kilometer timur laut Bamako, ibu kota Mali.
"Waktu itu saya bahkan melihat bocah-bocah menenteng senapan, dan saking kecilnya sampai-sampai senapan yang ia tenteng terseret-seret di jalan," kata Corinne Dufka, peneliti senior untuk Afrika Barat di Human Rights Watch.
Lebih ke wilayah selatan, tepatnya di Ségou, masih di Mali, kelompok Amnesty dan koalisi lembaga swadaya masyarakat di bidang hak asasi manusia bertemu dengan dua tentara anak yang ditangkap tentara lantaran dianggap sebagai kelompok perusuh. Yang menyedihkan, salah satu anak menunjukkan tanda-tanda penyakit jiwa. Perangainya sangat agresif, seperti kesetanan.
"Ada dugaan, mereka juga dicekoki semacam ramuan pembangkit keberanian. Kami curiga itu narkotik, tapi dugaan itu masih terus kami pelajari," ujar Corinne. Dari kesaksiannya setelah ditahan, dia menambahkan, "Mereka mengaku selalu diberi nasi yang ditaburi bubuk putih dengan saus yang ditaburi bubuk merah. Setelah makan, biasanya mereka lupa apa yang mereka kerjakan seharian."
Data UNICEF tahun lalu mencatat, di Mali ada 175 pengaduan kasus dari orang tua yang kehilangan anak lelaki. Sedangkan menurut data dari badan hak asasi manusia pemerintah Mali, angkanya lebih mencengangkan. Sejak perang antara Prancis dan Al-Qaidah in The Islamic Maghreb—koalisi sayap militer Al-Qaidah di Afrika Utara dan Afrika Barat—berkecamuk di negara mereka, sudah ada seribu lebih kasus perekrutan anak-anak yang dijadikan tentara perusuh. Terakhir, empat bocah tewas dalam pertempuran saat tentara gabungan Prancis dan Mali berhasil merebut Diabaly dari para ekstremis.
Adama dan bocah-bocah yang ditangkap tentara Mali, menurut Rudolph Atallah, mantan Direktur Kontraterorisme untuk Afrika di Pentagon selama pemerintahan Presiden George W. Bush, adalah bukti nyata dari korban perang yang sesungguhnya. Mereka dijadikan tameng para teroris Al-Qaidah di Afrika Utara di garis terdepan pertempuran.
Seperti dikutip dari kantor berita Associated Press, sebuah insiden paling celaka terjadi di Gao pada medio Januari lalu, saat sebuah penyergapan dilakukan tentara gabungan terhadap sebuah bangunan bekas bea-cukai Mali yang dicurigai sebagai markas pemberontak. Tentara gabungan dalam Operasi Serval siang itu membombardir bangunan dengan mortir dan senapan. Namun kenyataan pahit harus mereka terima sesaat setelah melongok ke dalamnya. Di antara puing bangunan yang hancur berantakan, ditemukan sepatu dan sandal anak kecil yang berserakan. Seorang saksi mata melihat, para bocah terluka dan diungsikan para pemberontak ke luar bangunan.
"Ini yang jelas membuat situasi menjadi sulit dan membingungkan, ketika operasi pemberantasan terorisme berhadapan dengan anak kecil tanpa dosa," kata Atallah. Tapi ia kemudian bertanya, "Apa yang akan Anda lakukan ketika melihat bocah-bocah itu menenteng senjata atau bahkan berselimut rompi penuh bom. Ini membuat permasalahan lebih pelik."
Permasalahan sepelik itulah yang kemudian membuat pemerintah Amerika Serikat tak mau gegabah terjun memberantas kelompok sayap militer Al-Qaidah di Afrika Utara, seperti yang dilakukan Prancis sejak sebulan lalu. Walau mereka sadar, negara di Afrika Utara, seperti Mali dan Aljazair, adalah jembatan migrasi bagi Al-Qaidah yang mulai kehilangan tempat di Timur Tengah dan Asia.
"Amerika tidak mungkin mau terjun langsung di medan pertempuran Mali," ujar Atallah, seperti dikutip New York Times. Karena itu, militer negeri adidaya tersebut berencana membangun pangkalan pesawat tanpa awak, andalan mereka di Nigeria atau Burkina Faso. "Informasi itu menyatakan pembangunan akan berlangsung pada Maret ini, dan siap menampung 300 personel militer kiriman Pentagon."
Soal bocah-bocah ingusan yang dijadikan tameng di garis depan, Atallah yakin, cerita perekrutan mereka ini tidak melulu melibatkan ideologi Islam garis keras. Menurut dia, ini juga berkaitan dengan kemiskinan di Mali. Mengutip data Bank Dunia, negara berpenduduk 15,8 juta jiwa itu termasuk 25 negara termiskin di dunia. Pendapatan perorangan masih kurang dari US$ 2 atau di bawah Rp 20 ribu per hari, yang 77,1 persen rakyatnya hidup di bawah garis kemiskinan. Belum lagi mereka hidup di alam yang ekstrem dengan kekeringan yang tidak menguntungkan bagi pertanian.
Hal itu dibenarkan Abdourhamane Maiga, Asisten Direktur Madrasah Adadatou Alislamiatou di Gao. Menurut dia, milisi Islam memanfaatkan kemiskinan kota, menawarkan bonus dan gaji bulanan, serta menjadikan para bocah Mali sebagai tentara bayaran.
"Beredar juga desas-desus yang menyebutkan di lingkungan kami sejumlah anak lelaki dijual oleh orang tuanya sendiri," kata Maiga kepada Al-Jazeera. Praktek itu ia diduga sudah terjadi sejak April tahun lalu, saat kelompok kekerasan mulai mengobarkan kerusuhan di negara bekas jajahan Prancis tersebut.
Nyawa bocah terus berjatuhan. Orang tua tak tahu harus bergantung pada siapa, karena pemerintah Mali di bawah kendali Presiden Dioncounda Traore tak berdaya. Sebanyak 4.600 serdadu kiriman Presiden Prancis Francois Hollande terus mengacak-acak seantero negeri, meninggalkan luka dan merenggut nyawa anak-anak di sana.
Amnesty International mengingatkan, perekrutan seperti ini tak hanya terjadi di Mali. Berdasarkan temuannya, sejak Januari 2011, perekrutan serupa telah dilakukan di sedikitnya 19 negara, antara lain Aljazair, Nigeria, Chad, Pantai Gading, Republik Demokratik Kongo, Kongo, Sri Lanka, Somalia, Sudan, Sudan Selatan, Thailand, Kolombia, Myanmar, Afganistan, dan Yaman. Perkiraan total, menurut situs peacedirect.org, saat ini 250 ribu anak di seluruh dunia terlibat sebagai serdadu di medan perang. Semuanya merasa ketakutan seperti Adama.
Sandy Indra Pratama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo