Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tiga Wajah Pasca-Junta

Turunnya rezim junta melahirkan kerja sama tiga kelompok media di Myanmar. Bekas pelarian menjadi penggerak reformasi pers.

3 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tepi sungai kecil yang membelah Resor Belle Villa di Chiang Mai—kota pegunungan di wilayah utara Thailand—sekelompok pria tengah bercakap-cakap seraya melihat beberapa majalah. Salah satu dari mereka, seorang dokter hewan yang beralih profesi menjadi wartawan, menyodorkan majalahnya kepada Tempo. Dia mengaku tengah menimbang untuk mengalihkan mingguan berita itu ke media online. "Menghemat banyak biaya dan mempercepat berita ke pembaca," Myo Min Htike memberi alasan.

Pria itu adalah Pemimpin Redaksi Venus News Weekly dan salah satu wartawan Myanmar yang hadir dalam Journalism Asia Forum 2013. Berlangsung pada pertengahan Februari lalu di Chiang Mai, acara yang diselenggarakan Southeast Asian Press Alliance dan Center for Media ­Freedom and Responsibility tersebut menghadirkan para wartawan Myanmar sebagai "tamu utama".

Mereka terdiri atas setidaknya tiga kelompok pekerja media, yakni wartawan yang tak pernah meninggalkan Myanmar, yang lama hidup sebagai pelarian dan kembali setelah berakhirnya rezim junta, dan yang terus bertahan di pengasingan. Kini kerja sama di antara mereka cenderung lebih terbuka. "Kebebasan berpendapat, etika, dan tanggung jawab media adalah isu yang dapat merekatkan tiga kelompok wartawan Myanmar ini dalam reformasi media," ujar Soe Myint, Pemimpin Redaksi Mizzima News. Soe baru setahun kembali ke tanah airnya setelah 24 tahun hidup sebagai pelarian di New Delhi, India.

Dalam waktu kurang dari 18 bulan, grup media yang dipimpinnya berhasil menempati garda terdepan di Myanmar. Delapan puluh lebih anak muda langsung bergabung dengan Mizzima, yang menerbitkan majalah politik, jurnal ekonomi, dan media online. "Saya bahkan sedang berpikir membikin majalah travel yang menulis lokasi wisata sejarah. Ini bisa memikat iklan dan membantu pembiayaan media-media utama kami," kata Soe kepada Tempo.

Soe Myint tidak sedang menciptakan keajaiban. Hasil yang dia petik dalam waktu singkat itu adalah hasil kerja keras 24 tahun di masa pengasingan (lihat wawancara Soe Myint). Salah satu cara yang dia tempuh adalah membuka dua kantor media "bawah tanah" di Yangon, sejak 2006. "Ini bagian dari strategi menyiapkan jalan pulang," ujar Soe.

Pemilu Myanmar pada 2010 disusul turunnya rezim junta sekitar enam bulan kemudian perlahan-lahan membuka pintu Myanmar bagi pers yang lebih bebas. Yang tadinya lari dan bersembunyi di negeri lain pulang satu per satu. Pengalaman luar negeri serta persentuhan dengan jaringan media internasional membuat mereka masuk jajaran penggerak reformasi media.

Sebagian wartawan lokal yang tadinya bekerja di "media serabutan" tiba-tiba menemukan tempat "belajar sekaligus bekerja" baru. Ko Ko Gyi, 27 tahun, adalah contoh wartawan lokal yang bergabung dengan Mizzima. Sarjana sastra Inggris ini mengatakan, "Kebebasan saja ternyata jauh dari cukup. Kini yang amat kami perlukan adalah pelatihan-pelatihan serius agar dapat menghasilkan kualitas berita lebih baik."

Mereka mengaku mendengar perihal "kebebasan media di Indonesia yang berhasil mengirim koruptor ke penjara—melalui hasil investigasi". Di samping Ko Gyi, berdiri Tin Soe—bukan nama sebenarnya—wartawan muslim asal Rohingya yang masih bertahan sebagai pelarian di Bangladesh. "Betapa inginnya saya kejahatan militer terhadap etnis Rohingya bisa diinvestigasi seperti di negeri Anda," ujarnya kepada Tempo.

Tin Soe adalah contoh tipikal wartawan media etnis—salah satu genre media di Myanmar. Pria ini mengaku hanya berbakti kepada Rohingya. Menurut Tin, kondisi terbaru di Myanmar membuat dia bisa menjalin hubungan lebih baik dengan para koleganya setanah air. Tapi untuk kembali ke Myanmar? Ayah dua anak ini menjawab tegas-tegas: "Saya hanya sudi pulang bila warga Rohingya yang amat menderita itu telah diperlakukan dengan patut di Myanmar."

Hermien Y. Kleden (Chiang mai)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus