Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejarah Israel, yang tahun ini berusia 68 tahun, tak dapat dilepaskan dari riwayat Shimon Peres. Kakek delapan cucu dan dua cicit ini telah menjadi aktivis gerakan Zionis sejak berumur 18. Enam tahun kemudian ia ditugaskan Ben Gurion sebagai penanggung jawab pengadaan senjata dan personel Haganah, organisasi bawah tanah yang menjadi cikal bakal tentara Israel. Umurnya baru 29 tahun ketika ia diangkat menjadi direktur jenderal termuda di Kementerian Pertahanan.
Karier politik sepupu artis Lauren Bacal ini sungguh panjang dan berliku. Ia pernah menjadi menteri di 12 kabinet dan berbagai posisi di lima partai sebelum dilantik sebagai presiden kesembilan Israel. Sebagai Menteri Luar Negeri ia menjalin komunikasi rahasia dengan almarhum Yasser Arafat, Ketua Organisasi Pembebasan Rakyat Palestina, tanpa setahu bosnya, Perdana Menteri Yitzhak Rabin. Berbagai pertemuan rahasia itu dibiarkan berlangsung oleh Rabin dan akhirnya bermuara pada perjanjian damai Oslo yang membuat Peres, Rabin, dan Arafat dianugerahi Hadiah Nobel untuk Perdamaian 1994.
Peres yang dikenal bergaris keras saat belia berevolusi menjadi pendukung perdamaian setelah memasuki usia senja. Upayanya menjalin kesepakatan damai dengan Raja Hussein dari Yordania pada 1987 ditolak oleh Perdana Menteri Yitzhak Shamir. Gerakan intifada pun meletup hingga 1993. Peres tak kapok dan dengan dukungan Rabin akhirnya mencapai kesepakatan Oslo dengan Arafat.
Pecahnya intifada Al-Aqsa pada September 2000 tak membuat dukungan Peres kepada pembentukan pemerintahan Palestina dan penerapan hasil perjanjian Oslo berkurang. Di sisi lain, ia selalu mendukung penggunaan operasi militer untuk menuntaskan aksi bom bunuh diri para pejuang Palestina. Kini ia pun mendukung gagasan perdamaian Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice untuk mengadakan perundingan damai di kota Annapolis, Amerika Serikat.
Saat menerima kunjungan tujuh wartawan Indonesia, termasuk Bambang Harymurti dari Tempo, di istananya di Yerusalem, Selasa pekan lalu, kakek berusia 84 tahun ini sigap menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan. Berikut adalah petikannya:
Optimiskah Anda menghadapi perundingan di Annapolis nanti?
Saya kira tak bisa dinyatakan sebagai optimis atau pesimis, karena nuansa di antaranya kuat sekali. Perundingan kali ini harus diiringi dengan kesepakatan kerja sama di bidang ekonomi agar berhasil. Di zaman sekarang kekuatan ekonomi sangat hebat, lebih kuat dari pasukan tank. Jika hal ini dilakukan, pertemuan ini akan berhasil, setidaknya berhasil sebagian karena tak ada satu pun pihak yang terlibat menginginkan kegagalan. Jangan harapkan hasilnya adalah sebuah kesepakatan final. Ini adalah pertemuan untuk menyiapkan perjanjian perdamaian dan menyepakati butir-butir yang akan dinegosiasikan.
Faktor-faktor apa yang membuat Anda merasa pertemuan ini akan berhasil?
Tahun ini kami merayakan proklamasi kemerdekaan kami yang ke-68. Selama tiga dekade pertama yang terjadi adalah konflik militer dan yang menjadi perhatian adalah bagaimana menang perang. Sekarang semakin banyak yang mendukung perdamaian. Kami paham bahwa rakyat Palestina berhak atas kemerdekaan negara mereka.
Dunia juga sudah mengalami perubahan. Tetangga kami di dunia Arab pun telah mengalami perubahan besar. Kebangkitan kepemimpinan kaum ayatullah telah memicu ketegangan antara kelompok moderat dan kelompok ekstrem dalam menghadapi modernitas. Ini bukan lagi konflik antara Israel dan dunia Arab seperti zaman dulu, tapi antara pihak moderat dan pihak ekstrem.
Soal sengketa Yerusalem apa mungkin diselesaikan? Rakyat Palestina ingin Yerusalem menjadi ibu kota negaranya?
Kami akan menemukan solusinya. Sekarang ini berapa jumlah ilmuwan per kilometer persegi bagi kami lebih penting dibandingkan berapa kilometer persegi luas tanah kami. Ketergantungan ekonomi kami pada tanah telah jauh berkurang dibandingkan sebelumnya. Tinggal sedikit sekali warga Israel yang hidup dari bertani. Persoalan Yerusalem bukanlah konflik agama, tapi hanya soal demografi. Ini dapat dibicarakan di meja perundingan.
Menurut Anda, peran apa yang dapat dimainkan Indonesia untuk mewujudkan perdamaian di Timur Tengah?
Temperamen warga muslim di Indonesia lebih sejuk dibandingkan di sini. Sikap masyarakat Indonesia menghadapi modernitas dengan melakukan pembangunan telah menciptakan era baru persepsi dunia terhadap Islam. Memang ada juga gerakan ekstrem di negara Anda, tapi secara umum modernisasi berjalan baik. Negara Anda terdiri dari begitu banyak pulau, pasti tak mudah mengelolanya. Kami yang berada di satu pulau saja menghadapi begitu banyak kesulitan. Saya tak tahu bagaimana Anda melakukannya.
Indonesia dapat membantu Palestina dan dunia Arab mengembangkan kesejahteraan mereka dan kami akan senang kalau hal itu dilakukan. Beri mereka pekerjaan, jangan beri senjata.
Antara kedua negara kami tak ada konflik. Kami tak menyerang negara Anda dan negara Anda tak menyerang negara kami. Tak ada alasan untuk bermusuhan. Kami tentu lebih senang kalau hubungan kedua negara lebih baik. Kami tak bermusuhan dengan Islam atau Arab. Kami punya hubungan diplomatik dengan negara Arab dan negara Islam seperti Mesir, Yordania, dan Turki.
Indonesia mengirim satu batalion pasukan untuk menjadi penjaga perdamaian PBB di Libanon. Bagaimana pendapat Anda tentang satuan ini?
Ini hal baik. Sampai saat ini mereka menjalankan tugas yang diemban dengan baik. Tentu kami senang. Sebenarnya kami ingin memiliki hubungan baik dengan Libanon tanpa harus melibatkan tentara, tapi kenyataan di lapangan tak memungkinkan hal ini.
Anda ingin perekonomian Palestina membaik, tapi tembok pemisah yang dibangun Israel menyebabkan mereka kehilangan pekerjaan dan kehidupannya semakin sulit?
Bukan tembok yang memisahkan mereka dari kami, tapi terorisme, serangan bom bunuh diri terhadap rakyat kami. Pers memang memberitakan peristiwa seperti kontroversi pembangunan pagar keamanan dan bukan pembangunan kesejahteraan. Jangan lupa, dari hampir 7 juta rakyat Israel, sekitar 1,3 juta adalah warga minoritas Arab. Belakangan ini mereka mulai membangun kemampuan sistem pendidikan. Sekarang ada 50 ribu lulusan akademi dan 20 ribu mahasiswa perguruan tinggi. Kebanyakan lulusan akademi menjadi guru dan dari universitas banyak yang menjadi dokter. Warga Israel mungkin takut mempekerjakan warga keturunan Arab di perusahaan mereka, tapi mereka tak takut menghadapi pisau bedah dokter keturunan Arab. Dokter adalah dokter, tak peduli etnik atau agamanya.
Tapi warga Israel dan Arab dibesarkan dan bermain di sekolah dan kawasan yang berbeda. Mereka baru saling bertemu di tempat bekerja atau perguruan tinggi. Ini menyulitkan terjadinya pembauran?
Filsuf terkenal Adonis mengatakan, identitas adalah ruang dan bukan pagar, bukan pembatas. Kami mempunyai banyak program untuk meningkatkan komunikasi antarwarga. Di Nazareth kami membangun hubungan internet antara sekolah warga Arab dan sekolah permukiman Yahudi di Upper Nazareth. Komunikasi antara mereka berjalan sangat baik. Program seperti ini terus kami kembangkan.
Anda berunding dengan kelompok Fatah, tapi tidak dengan Hamas. Mengapa?
Hamas tak ingin berdamai dengan kami. Mereka ingin memusnahkan kami dan mendirikan kekhalifahan. Jadi, tak ada ruang untuk dinegosiasikan. Ini bukan soal dengan partai apa kami berunding, tapi soal konsep. Dalam konsep mereka tak ada negara Israel. Kami ingin hidup berdampingan dan damai dengan negara Palestina.
Bagaimana dengan nasib para pengungsi Palestina dan hak mereka untuk kembali ke tanah mereka atau mendapatkan kompensasi?
Ini semua adalah hal yang bisa dirundingkan. Silakan bawa ke meja perundingan.
Tapi Hamas kini menguasai jalur Gaza?
Jajak pendapat terakhir menunjukkan popularitas Hamas terus melorot. Ketika kami menarik pasukan secara unilateral pada 2005, popularitas mereka 41 persen; sekarang tinggal 13 persen. Rakyat Palestina di Gaza kecewa terhadap Hamas, mengapa setelah tak ada lagi tentara Israel di Gaza, pertempuran tak juga berhenti? Tak ada lagi alasan untuk saling menembak dan pertempuran yang terjadi hanya membuat kehidupan warga semakin sulit. Data Bank Dunia menunjukkan pendapatan per kapita Israel semenjak penarikan pasukan unilateral dari Gaza berlipat ganda hingga lebih dari 31 ribu dolar, tapi di Palestina malah turun 30 persen dan sekarang hanya seribu seratusan dolar saja. Mengapa memakai dana yang ada untuk membeli senjata dan membiayai kekerasan. Lebih baik digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo