Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Safari Rujuk <font color=brown>Abu Mazen</font>

Palestina-Israel dijadwalkan berunding pada akhir November, tapi Presiden Mahmud Abbas sudah berkeliling mencari dukungan sejak dua pekan lalu.

29 Oktober 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertemuan itu bakal dilangsungkan di Annapolis, sebuah kota sungai yang permai di Negara Bagian Maryland, Amerika Serikat. Masih lama, sekitar akhir November nanti. Penggagas sekaligus tuan rumahnya adalah Presiden George Bush. Yang bakal hadir: Palestina dan Israel. Sepasang jiran ini sudah berseteru selama hampir enam dekade. Perundingan damai bolak-balik digelar sejak 1993, tapi tak kunjung terwujud. Keduanya tetap aktif bergebuk dan baku tembak sampai pekan lalu.

Alhasil, banyak yang meragukan efek pertemuan Annapolis. Lawan-lawan Bush malah mengoceh bahwa ini cuma cara Presiden AS meminjam ”cantolan isu” agar kelak bisa lengser dengan patut setelah menebar citra buruk kian kemari dalam Perang Irak. Pesimisme menyebar, tapi Presiden Palestina Mahmud Abbas tetap berbesar hati. Ibu Kota Ramallah di Tepi Barat dia tinggalkan sejak pekan lalu. Abbas dan sejumlah pejabat teras bersafari ke beberapa negara, termasuk Indonesia pekan lalu. Dia giat mencari dukungan sebelum terbang ke Amerika.

Abbas telah menyiapkan enam tuntutan yang bakal dia ajukan dalam sidang tersebut. Yang utama adalah menjadikan Yerusalem ibu kota Palestina dan mundurnya Israel dari wilayah pendudukan 1967. ”Kami punya 6.205 kilometer persegi di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Kami mau itu seutuhnya,” kata Abbas kepada televisi Palestina. Agenda lain adalah menuntut empat juta pengungsi Palestina bisa kembali ke wilayah Israel, menempati permukiman, serta mendapatkan akses air dan keamanan.

Riad Malki, penjabat Menteri Luar Negeri Palestina yang mendampingi perjalanan Abbas ke Asia, menyatakan Israel kini sudah cukup dewasa untuk datang ke meja perundingan. ”Masyarakat Israel sendiri yang menginginkan tegaknya negara Palestina.” Menurut Malki, Wakil Perdana Menteri Israel Haim Ramon bahkan menyatakan akan mempertimbangkan wilayah Yerusalem Timur masuk ke Palestina. ”Dulu itu semua tabu. Sekarang kami akan berjuang meminta jadwal yang ketat,” kata Malki kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.

Abu Mazen—nama panggilan Abbas—bukan tidak sadar bahwa mendung tebal bisa terbit di langit Annapolis. Sebab, di balik punggung Bush, pemerintahan Fatah pimpinan Abu tengah menjalin dialog gencatan senjata dengan Hamas. ”Kami terbuka untuk dialog asalkan mereka mau mundur dari Gaza dan mengembalikan situasi seperti sebelum kudeta mereka bulan Juni lalu,” ujarnya saat di Jakarta.

Upaya ini dilakukan diam-diam karena Amerika dan Israel bakal naik darah bila Abbas dan pemerintahan Fatahnya bekerja sama dengan Hamas. Mingguan Al-Ahram di Mesir melaporkan, mediator dialog Fatah-Hamas adalah Mustafa Othman Ismail. Dia diplomat senior Sudan yang mengantongi dukungan dari Mesir dan Arab Saudi, mediator sebelumnya. Ismail mengajak pemimpin Fatah dan Hamas berdamai. Upaya ini dilanjutkan oleh Omar Suleiman, Kepala Intelijen Mesir. Dia mempertemukan kedua pihak di Kairo selepas Idul Fitri lalu.

Dua bulan sebelumnya, tokoh Fatah, Jibril al-Ragub, dan Muhamad Nazzal dari Hamas berjumpa di Beirut, ibu kota Libanon. Dalam pertemuan tersebut sempat dibahas kemungkinan gencatan senjata. Tawar-menawar terjadi. Hamas bersedia mengembalikan kekuasaan atas Gaza kepada Mesir sebagai perantara sebelum diserahkan ke tangan pemerintahan Fatah. Hamas juga setuju membentuk ulang aparat keamanan yang profesional dan nasionalis tanpa condong ke faksi mana pun.

Sebagai gantinya, mereka meminta Presiden Abbas mencabut larangan aktivitas Hamas dan pergerakannya di Tepi Barat, sekaligus membebaskan para tahanan Hamas. ”Harus ada pemerintahan pusat bersatu untuk Tepi Barat dan Gaza. Kami ingin kembali ke Perjanjian Mekkah,” begitu bunyi salah satu tuntutan Hamas.

Aksi-aksi keras Hamas memang sempat membuat Presiden Abbas serba sulit. Abu Mazen berkali-kali menuai kecaman publik karena konflik yang tak kunjung berakhir. Apalagi setelah Hamas mengambil alih Jalur Gaza dan menutup rapat akses pemerintahan Fatah di Gaza, wilayah Palestina seluas 360 kilometer persegi di pinggir Laut Tengah.

Saking geramnya, Abbas memerintahkan para pegawai negeri di Gaza, termasuk dokter dan perawat rumah sakit, mogok kerja. Kalau tetap bekerja di bawah Hamas, mereka tak akan digaji. Yang menjadi korban tentu 1,4 juta warga sipil. ”Celakalah Abbas itu,” ujar seorang perempuan Gaza, seperti dikutip The Guardian.

Rencananya, semua ini baru akan resmi dibuka ke publik setelah perundingan Annapolis. Tidak resminya, sudah jadi rahasia umum bahwa Fatah dan Hamas tengah mencoba berpelukan di balik punggung Pak Bush. Padahal Amerika dan Israel bakal memprotes keras bila pemerintahan Fatah bekerja sama dengan Hamas. Walau mendapat banyak tempat di hati rakyat Palestina, Hamas masuk daftar kelompok teroris versi Amerika dan Uni Eropa.

Di pihak Israel, masalah tak kurang ribetnya. Popularitas Perdana Menteri Olmert melorot ke titik terendah, 3 persen, dalam jajak pendapat akhir Mei lalu. Dia dinilai gagal menakhodai serangan Israel ke Libanon, di samping sejumlah tudingan korupsi. Olmert berharap dapat memengkilapkan citranya kembali melalui pertemuan di Annapolis. Tapi, belum-belum, dua dari lima partai pendukungnya di Knesset, parlemen Israel, sudah menggeram. Mereka berjanji akan mencabut dukungan bila Olmert terlalu sering mengangguk pada tuntutan Palestina di meja perundingan November.

Perundingan damai Palestina-Israel yang benar-benar terlaksana adalah pada tahun 2000 di Camp David. Mantan Presiden AS Bill Clinton menjamu Yasser Arafat (almarhum) dan mantan Perdana Menteri Israel Ehud Barak. Alih-alih berdamai, Israel-Palestina tetap gencar bertarung.

Tujuh tahun berlalu. Jika tak ada aral dan pembatalan, Mahmud Abbas dan Ehud Olmert kembali bersua untuk urusan damai di Annapolis. Banyak kalangan pesimistis bahwa ”temu kangen” di tepi Sungai Severn ini dapat berbuah hasil positif. Sebab, penjajakan damai sekaliber Camp David saja hasilnya masuk laci. Apalagi kali ini, tatkala Bush sudah hampir pensiun. Apalagi Menteri Luar Negeri AS Condoleezza Rice sudah tujuh kali mondar-mandir ke Timur Tengah sepanjang 2007 tapi hasilnya masih itu-itu juga: belum jelas juntrungannya.

Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus