Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=verdana size=1>India</font><br />Kaum Pria, Bersatulah

Kian banyak pria India mengadu sebagai korban penyalahgunaan UU Anti-Mahar. Mereka menuntut pembentukan kementerian urusan pria.

24 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Abhisek Kumar, 25 tahun, terguncang hebat. Tanpa permisi, lima polisi menerobos masuk ke apartemennya di Delhi, Agustus lalu. Kata-katanya getir dan setengah melecehkan, Kumar menyebut kasusnya ”pernikahan yang gagal”.

”Selama enam minggu saya harus berbagi sel kecil dengan pencuri dan pembunuh,” ujarnya pertengahan Desember ini. ”Saya tak bersalah, tapi diperlakukan seperti penjahat.”

Inilah India di bawah peraturan baru: Undang-Undang Anti-Mahar. Dan polisi tidak lagi mendengar keluhannya; mereka hanya membuka kuping terhadap laporan istrinya, Pratibha. Menurut undang-undang itu, laporan istri atas tindak kekerasan suami atau keluarganya bisa langsung mengirim suami ke sel-sel sumpek itu. Sesederhana itu. Jika di kemudian hari pengadilan bisa membuktikan suami-suami itu bersalah, para lelaki itu bisa diganjar hukuman tiga tahun penjara.

Kumar menikahi Pratibha, dosen sebuah universitas di Delhi, akhir 2005. Lima hari setelah pernikahan, sang istri meninggalkan rumah sonder aba-aba, sonder pesan. Beberapa bulan berselang, barulah Kumar tahu bahwa istrinya telah mengadukan dirinya ke polisi. Menurut laporan itu, Kumar telah mengancam akan membunuh Pratibha jika sang istri tak menyediakan sekitar Rp 23 juta.

Kumar menyangkal. Tapi akhirnya dia setuju membayar sekitar Rp 163 juta dalam sebuah penyelesaian di luar pengadilan, dengan imbalan istrinya mencabut laporan itu. Kumar geram bukan kepalang. Dia merasa menjadi korban dari penyelewengan UU Anti-Mahar. Demikian pula sejumlah pria lainnya. Seperti Vikash Tuteja, yang akhirnya harus membayar Rp 276 juta dalam penyelesaian di luar ruang sidang.

Undang-Undang Anti-Mahar dilahirkan pada 1961 akibat tradisi India yang banyak mengorbankan perempuan. Seorang perempuan, ketika menikah, harus memberikan mahar kepada suami dan keluarganya. Bentuknya bermacam-macam: dari uang, barang elektronik, hingga mobil. Namun, dalam pelaksanaannya, kerap kali suami dan keluarganya memeras pihak perempuan dan menjadikan pengantin perempuan sandera.

Kekerasan pun kerap dialami para pengantin baru. Istilah bride-burning (pengantin terbakar) pun begitu populer karena kerap kali istri tewas akibat kecelakaan dapur yang disengaja. Pada 2003, tercatat 7.000 perempuan tewas gara-gara sengketa mahar ini.

Kelompok pembela hak pria tak menyangkal diskriminasi itu, tapi mereka menganggap UU Anti-Mahar itu bias. ”Ada beberapa kejadian para istri menyalahgunakan peraturan hanya karena mereka ingin berpisah dari keluarga besar dan membentuk rumah tangga sendiri dengan berbagai alasan,” ujar Tulsi, seorang pengacara.

The Save Indian Family Foundation, tempat bergabungnya para penegak hak kaum pria, punya data sendiri: dari 134.757 orang yang ditahan karena pelanggaran UU Anti-Mahar, hanya 5.739 yang terbukti bersalah. Save Indian Family Foundation memiliki 8.000 anggota yang tersebar di berbagai kota. Mahesh Parekh, seorang pengacara, memberikan gambaran mirip. ”Satu dari 12 kasus adalah kasus balas dendam,” ujarnya.

Tapi India harus berubah. Pengacara di Mahkamah Agung, Indira Jaisingh, menganjurkan orang berhati-hati melihat angka itu. Kepala Unit Kejahatan terhadap Perempuan dan Deputi Komisioner Kepolisian India, H.P.S. Virk, juga skeptis dengan data tersebut. Ia yakin sedikit perempuan yang menyalahgunakan peraturan itu. ”Paling sekitar dua persen.”

Tapi para pria tak diam. Di Delhi, pria yang mengaku sebagai korban UU Anti-Mahar bertemu setiap Sabtu, berbagi pengalaman dan saling memberikan dukungan, agar terlepas dari trauma ”perlakuan kejam yang sistematis dari para istri”.

Di Kerala, ratusan pria berserikat di Komite Perlindungan Hak Pria. Pertemuan digelar di berbagai kota. Isunya bukan lagi sekadar melawan penyalahgunaan UU Anti-Mahar, melainkan perlindungan hak pria. Mereka bahkan menuntut pembentukan kementerian urusan pria. ”Kami hanya ingin undang-undang yang netral-gender, bukan yang berat ke satu pihak,” ujar Swarup Sarkar, aktivis Save Indian Family Foundation. Genderang perlawanan kaum Adam kian lantang.

Purwani Diyah Prabandari (Guardian, AP, Sify, Hindustan Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus