Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Kehormatan telah berubah menjadi mimpi buruk. Bukan cuma ”wakil rakyat” yang masih aktif, tapi juga mereka yang sudah pensiun dari lembaga itu. Para politikus di parlemen pun kini bersiap memangkas kewenangan badan yang dibentuk tiga tahun silam itu.
”Badan Kehormatan Dewan kini berubah menjadi kantor kejaksaan baru,” kata Ferry Mursidan Baldan, politikus yang kini aktif menyuarakan pengurangan peran Badan Kehormatan. Anggota Fraksi Partai Golkar DPR itu pernah berurusan dengan badan tersebut, dan mendapat teguran tertulis karena dituduh menerima uang ketika memimpin Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh.
Badan Kehormatan dibentuk sejak September 2004. Badan ini beranggotakan 14 orang, ditentukan berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota fraksi di DPR. Tugas badan ini antara lain menyelidiki pengaduan tentang pelanggaran sumpah, janji, atau kode etik oleh anggota Dewan.
Badan itu antara lain telah memberikan sanksi pemecatan kepada Azzidin, anggota Dewan dari Partai Demokrat, Juli 2006. Azzidin dianggap terlibat percaloan pemondokan dan katering haji. Puluhan anggota Dewan lainnya dijatuhi sanksi berupa teguran tertulis, dilarang menduduki jabatan di Dewan, atau dipindahkan dari komisinya.
Ferry Mursidan menilai Badan Kehormatan seharusnya hanya berwenang menyatakan seorang anggota melanggar kode etik atau tidak. Sanksi selanjutnya, menurut dia, harus ditentukan melalui Sidang Paripurna DPR. Ia juga mempersoalkan hak badan tersebut menyelidiki dugaan pelanggaran oleh mantan anggota Dewan. ”Ini tidak bisa dibiarkan,” katanya.
Sejumlah anggota Dewan juga sedang panas-dingin karena masuk daftar tunggu pemeriksaan Badan Kehormatan. Mereka adalah politikus yang diduga menerima aliran duit dari Bank Indonesia (BI) pada 2003-2004. Nama mereka tercantum dalam hasil audit BI oleh Badan Pemeriksa Keuangan, yang dijadikan dasar Badan Kehormatan melakukan penyelidikan.
Beberapa nama yang sudah muncul ke permukaan adalah Antony Zeidra Abidin, politikus Golkar yang kini menjadi Wakil Gubernur Jambi. Ada pula politikus Partai Beringin lainnya, yaitu Bobby Suhardiman, Tengku Muhammad Nurlif, dan Hamka Yamdu. Dari partai lain ada Faisal Baasyir (Partai Persatuan Pembangunan), serta Max Moein dan Emir Moeis (PDI Perjuangan). Kepada pers, mereka membantah menerima duit dari bank sentral itu.
Menurut Ferry, sasaran tembak Badan Kehormatan adalah Partai Golkar. Apalagi Gayus Lumbuun, Wakil Ketua Badan yang sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan, berasal dari PDI Perjuangan—partai pesaing Golkar. Karena itu, Partai Beringin yang memiliki kursi terbanyak di parlemen menyiapkan pertahanan melalui perangkat-perangkat di lembaga itu.
Awal bulan ini, Badan Legislasi DPR mengusulkan Rancangan Tata Beracara Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Kehormatan. Satu poin krusial dalam usulan ini adalah agar sanksi atas pelanggaran etika ditentukan oleh rapat paripurna, bukan diputuskan oleh Badan Kehormatan. Panitia khusus untuk membahas usulan itu telah dibentuk pada 7 Desember lalu.
Pertarungan partai-partai besar bakal terjadi dalam sidang panitia khusus itu. Golkar pun menyiapkan politikus senior dalam panitia ini, antara lain Irsyad Sudiro, yang kini memimpin Badan Kehormatan. Ada juga Budi Harsono, Agun Gunanjar Sudarsa, dan Mahadi Sinambela.
PDIP bukan tanpa ancang-ancang. Gayus telah ditunjuk oleh Fraksi PDI Perjuangan untuk menjadi anggota panitia khusus itu. Surat penunjukannya diteken pada awal pekan lalu. Ia pun membekali diri dengan modal studi banding Badan Kehormatan di Afrika Selatan, Jerman, dan Amerika Serikat, dua tahun lalu. ”Di negeri itu, Badan Kehormatan bisa memutuskan sanksi dan membuka pelanggaran kode etik masa lalu,” kata Gayus.
Lumbuun melihat adanya kepentingan partai besar dalam panitia khusus itu. Mereka yang ingin mengebiri Badan Kehormatan, kata dia, sedang menjalankan agenda partai yang memiliki banyak anggota. Jika keputusan sanksi ditentukan rapat paripurna, ia menjelaskan, partai besar akan selalu menang. ”Tidak mungkin ada anggota partai besar yang diputus bersalah,” ujarnya.
Mantan pengacara itu berpendapat bahwa Badan Kehormatan mestinya memang bisa mengusut pelanggaran kode etik oleh mantan anggota Dewan. Sebab, menurut dia, keputusan Badan Kehormatan bersifat politis dan bukan hukum. Ia mengklaim pendapatnya ini disokong fraksi-fraksi lain.
Irsyad Sudiro mengatakan, wewenang Badan Kehormatan bukan urusan Golkar dan PDI Perjuangan saja. Ia mengakui ada perbedaan pendapat pada kedua partai, walau menurut dia ”tidaklah genting”. Karena itu, ia berharap pada akhir Januari 2008 pembahasan tugas dan kewenangan Badan Kehormatan bisa tuntas. Menurut Irsyad, panitia khusus dibentuk bukan karena ada konflik kepentingan antara kedua partai besar.
Panitia khusus itu terbentuk justru berawal dari keinginan bersama memperkuat Badan Kehormatan. Harapannya, kata Irsyad, panitia khusus menciptakan aturan main untuk dijadikan pedoman oleh Badan Kehormatan. Aturan main itu berisi tata acara pengusutan dan pemberian sanksi anggota DPR pelanggar kode etik. ”Ini untuk nama baik parlemen,” katanya.
Namun upaya memangur gigi Badan Kehormatan ini dianggap lucu oleh Ibrahim Fahmy Badoh, manajer Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch, organisasi nonpemerintah yang berfokus pada isu korupsi. Ia menyatakan bahwa badan itu sebenarnya belum berperan besar dan tidak proaktif terhadap laporan dugaan pelanggaran kode etik oleh anggota DPR.
Mestinya, Fahmy berpendapat, Badan Kehormatan didorong agar bisa menjalankan fungsi pengawasan dan perimbangan kekuatan di tubuh DPR. ”Bukan malah main cukur kewenangannya,” tuturnya.
Sunudyantoro
Tata Tertib DPR
Pasal 59 Tugas Badan Kehormatan: menyelidiki dan memverifikasi pengaduan atas anggota Dewan yang antara lain diduga melanggar sumpah, janji, kode etik, atau tidak bisa melaksanakan kewajiban.
Badan Kehormatan mempunyai wewenang memanggil anggota yang dilaporkan dan saksi-saksi yang dianggap relevan.
Pasal 62 Badan Kehormatan dapat memutuskan sanksi berupa teguran tertulis, pemberhentian dari jabatan Dewan, atau pemberhentian sebagai anggota Dewan. Sanksi disampaikan kepada pimpinan DPR untuk dibacakan dalam rapat paripurna.
Pasal 63 Badan Kehormatan dapat menetapkan keputusan rehabilitasi jika anggota yang diadukan terbukti tidak melanggar peraturan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo