Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KHMER Merah kehilangan taji. Senin pekan lalu pemerintah Kamboja mencokok Ieng Sary dan Ieng Thirith, pasangan suami-istri yang pernah menjabat menteri luar negeri dan menteri sosial pada masa kejayaan rezim itu pada 1970-an. Sehari kemudian giliran mantan presiden Khieu Sampan dijemput pihak militer dari rumahnya di Pailin, desa perbatasan dengan Thailand. ”Sejak dulu, dia menyadari akan ditahan. Dia tidak khawatir tentang itu dan siap menghadapi pengadilan,” ujar putranya, Khieu Rattana.
Sampan, yang kini berusia 76 tahun, dikabarkan mengalami stroke ringan beberapa saat sebelum dijemput helikopter militer yang diperintahkan Perdana Menteri Hun Sen. Namun Rattana menampik jika stroke yang membekap ayahnya secara tiba-tiba itu sebagai akibat beredarnya berita penangkapan Sary dan Thirith. Istri Sampan, So Socheat, menyatakan suaminya terjatuh ketika hendak bangkit dari hammock (jaring tempat berbaring yang biasanya diikatkan ke pohon), beberapa saat setelah sarapan. ”Mulutnya mendadak mencong dan tak bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas,” katanya.
Uniknya, kantor berita Kyodo, yang sempat mewawancarai Sampan via telepon sebelum pencokokan itu, mendapat jawaban yang sangat meyakinkan dari sang mantan presiden. ”Saya sudah sembuh sekarang, tak perlu pergi ke Phnom Penh untuk pengobatan apa pun,” katanya optimistis. Ia malah bercerita banyak tentang buku kedua yang ditulisnya tentang sejarah Kamboja pada masa pemerintahan Khmer Merah.
Namun rupanya Perdana Menteri Hun Sen tak mau mengambil risiko. ”Seandainya dia meninggal (sebelum disidangkan), rakyat akan menyalahkan pemerintah,” katanya. Juru bicara pengadilan genosida, Reach Sambath, menyatakan pihaknya tak terlibat dalam inisiatif pemerintah untuk menerbangkan Sampan ke Ibu Kota Phnom Penh.
Kisah perburuan tokoh-tokoh kakap Khmer Merah ini memang tak mudah. Ketika berkuasa pada 1975-1979, rezim Maois ini diduga terkait dengan tewasnya 1,7 juta rakyat negeri itu. Pemimpin utama kelompok ini, Pol Pot (lahir dengan nama Saloth Sar), meninggal pada 1988 dalam usia 73 tahun tanpa pernah diajukan ke persidangan.
Namun, sejak awal 2000 berlangsung komunikasi serius antara Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pemerintah Kamboja untuk membentuk sebuah pengadilan genosida yang bertujuan untuk menyeret para pentolan Khmer Merah ke meja hijau. Pengadilan itu akhirnya terbentuk tahun silam dengan ”korban” pertama Kang Kek Ieu, yang lebih dikenal sebagai Duch, mantan kepala penjara Tuol Sleng yang sangat mengerikan. Rakyat Kamboja menyebut zona neraka itu sebagai S-21, wilayah yang juga disebut ”ladang pembantaian” (the killing fields). ”Ketika menjabat presiden, saya tak pernah diberi tahu sama sekali tentang adanya S-21,” ujar Sampan dalam wawancaranya dengan Kyodo.
Duch dicekal pada Agustus tahun ini. Sebulan kemudian, giliran kampiun ideolog Khmer Merah bernama Nuon Chea, yang akrab dipanggil ”Saudara Nomor Dua”, yang dijemput aparat. Mereka mendapatkan dakwaan melakukan ”kejahatan atas kemanusiaan” dan melakukan ”kejahatan perang”. Dua dakwaan ini juga ditujukan kepada Ieng Sary, saudara ipar Pol Pot, karena adik istrinya Ieng Thirith, adalah istri pendiri Khmer Merah itu.
Setelah Pol Pot dan Ta Mok, panglima militer Khmer Merah yang meninggal Juli tahun lalu, Sampan merupakan tokoh terpenting dari rezim yang bila disebut namanya bisa membuat rakyat Kamboja bergidik. Kisah hidup pria berdarah campuran Khmer-Cina ini tak kalah menarik, karena sejatinya ia bukan seorang yang terbiasa hidup di hutan dan bergerilya seperti Pol Pot dan Ta Mok.
Sampan adalah seorang intelektual yang menyabet gelar doktor ekonomi dari Prancis pada 1959. Disertasinya berjudul Perkembangan Industri dan Ekonomi Kamboja. Dengan bingkai teori ketergantungan, Sampan menunjukkan dalam disertasinya bahwa kemiskinan di negara Dunia Ketiga disebabkan oleh negara industri yang sudah makmur.
Pulang ke Kamboja pada tahun yang sama, Sampan langsung dipercaya memegang jabatan penting di Universitas Phnom Penh dan mendirikan L’Observateur, sebuah publikasi beraliran kiri yang bersikap kritis terhadap pemerintahan yang dikendalikan Pangeran Norodom Sihanouk. Setahun kemudian, media yang diterbitkannya diberangus pemerintah. Sampan ditahan dan dipaksa telanjang sebelum difoto aparat di wilayah publik.
Setelah Khmer Merah sukses melakukan kudeta terhadap Sihanouk pada 1970, bintang Sampan kembali bersinar. Ia ditunjuk Pol Pot sebagai wakil perdana menteri, menteri pertahanan, sekaligus panglima militer tertinggi, dalam sebuah koalisi dengan banyak partai lain yang anti-monarki. Namun tak ada yang bisa membantah, bahkan Sampan sendiri, bahwa pemegang tongkat komando terpenting yang menentukan merah-hitamnya Kamboja saat itu adalah Pol Pot. Sampan pun terlihat ”menerima” perannya dalam sejarah Kamboja sebagai pendamping Pol Pot.
Invasi Vietnam pada 1979, yang menyebabkan tumbangnya Khmer Merah, di luar dugaan justru menjadi peluang terbesar dalam karier politik Sampan. Ia memimpin sekelompok pemberontak yang mendapat pengakuan internasional pada 1982. Tiga tahun kemudian Sampan secara resmi menggantikan Pol Pot sebagai pemimpin tertinggi Khmer Merah, sebuah hal yang mungkin tak akan pernah terjadi jika Vietnam tak mencaplok negerinya. Pada 1998, seiring dengan meredupnya gerakan komunis di seluruh dunia, Sampan dan Nuon Chea menyerah kepada pemerintah Kamboja. Ia diperkenankan tinggal di Pailin, salah satu basis terkuat Khmer Merah di masa lampau.
Tapi rupanya Sampan harus melupakan keinginannya untuk mati dengan tenang, tanpa maju ke pengadilan, seperti yang dialami Pol Pot dan Ta Mok. Jadwal persidangan untuk lima tokoh Khmer Merah ini sudah diumumkan ke seantero Kamboja: mulai awal tahun depan.
Akmal Nasery Basral (AP, Kyodo, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo