Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sambil tersenyum lebar, Zeyneb, 34 tahun, menyodorkan harian Hannoversche Allgemeine Zeitung kepada Tempo. ”Saya bisa sedikit lega sekarang,” katanya pekan lalu. Koran edisi awal Mei itu mengabarkan rencana pemerintah daerah Niedersachsen—satu dari 16 negara bagian di Jerman—memasukkan pelajaran agama Islam sebagai kurikulum tetap di sekolah dasar mulai tahun ajaran 2012/2013.
”Selama ini hati saya seperti terombang-ambing. Jerman mewajibkan anak-anak bersekolah sampai kelas IX, tapi sekolah tidak memenuhi kebutuhan rohani anak-anak akan pengetahuan Islam,” ujar wanita keturunan Maroko yang menikah dengan muslim Jerman itu. ”Setiap kali pelajaran agama, anak saya mesti ke luar kelas karena di situ cuma ada pelajaran agama Kristen.”
Menteri Kebudayaan Bernd Althusmann ketika dihubungi Tempo pekan lalu membenarkan kabar itu. ”Kami akan memulainya dari sekolah dasar,” katanya. Althusmann mantap pada rencananya karena uji coba yang sudah berjalan sejak delapan tahun lalu berjalan mulus. Sampai tahun lalu, sudah 42 sekolah dasar mempraktekkan pelajaran baru ini. Niedersachsen adalah negara bagian Jerman pertama yang menerapkan agama Islam sebagai kurikulum tetap di sekolah.
Sejak 1978, keinginan memberikan pelajaran agama Islam di sekolah sudah didiskusikan dan diperdebatkan di parlemen. Usaha ini didukung dua bekas menteri dalam negeri, Wolfgang Schaueble dan Thomas de Maiziere. ”Islam sudah menjadi bagian dari masyarakat Jerman, maka masyarakat perlu mengenal Islam lebih baik lagi,” kata Schaueble.
Omongan Schaueble bukan tak berdasar. Jumlah muslim di Jerman yang terus membengkak, hampir 4 persen dari populasi Jerman yang 80-an juta orang itu, membuat jumlah anak muslim ikut merangkak naik. Ada 700 ribu anak muslim yang berhak mendapatkan pendidikan agama di sekolah.
Aturan Jerman tegas mengatakan semua hal yang berurusan dengan pendidikan harus disampaikan dalam bahasa Jerman. ”Pelajaran diberikan untuk dimengerti dan dipahami, bukan untuk melahirkan perbedaan perspektif atau kritik. Titik beratnya adalah mengajari murid apa arti percaya,” kata ahli ilmu Islam Universitas Erfurt, Irka Mohr. Sekolah Jerman yang sudah memiliki metode baku belajar-mengajar itu memperlakukan mata pelajaran Islam seperti pelajaran sosial budaya lain. Murid bebas bertanya, mendebat, dan mengkritik.
Di Negara Bagian Nordrhein-Westfalen, terbit buku pelajaran Islam yang pertama dalam bahasa Jerman, berjudul Saphir. Buku setebal 200 halaman ini menjelaskan bagaimana mengenal Allah, akhlak Nabi Muhammad SAW sebagai cermin umat muslim, dan sejarah Islam, serta berisi kaligrafi karya artis modern dan gambar-gambar miniatur Islam. ”Jerman membutuhkan buku pelajaran Islam yang teratur dan akurat,” kata Lamya Kaddor, 29 tahun, guru sekolah Glueckauf Hauptschule (setingkat sekolah menengah pertama) di Kota Dinslaken-Lohberg. Saphir telah digunakan oleh lebih dari 11 ribu anak sekolah dan menjadi panduan mengajar buat 141 guru di Nordrhein-Westfalen.
Penjelasan ibu guru keturunan Suriah ini luwes dan membuka cakrawala berpikir anak-anak, sehingga mereka semakin tertarik mempelajari Islam. Ketika menghadapi pertanyaan remaja pubertas seperti ”apakah Al-Quran melarang muslimah memakai kuteks” atau ”benarkah Al-Quran mengatakan orang Yahudi harus dibunuh”, dengan bijak ibu guru ini menjawab, ”Apakah kau percaya Allah menciptakan manusia agar mereka bertarung?” Jawaban seperti ini hampir mustahil ditemukan anak-anak jika dilontarkan di masjid ketika belajar mengaji.
Orang tua murid mungkin melongo melihat ibu guru yang masih muda dan cantik ini mengajar tanpa jilbab. ”Di Jerman, tidak ada laki-laki yang mengejar saya karena saya berambut indah. Itulah perbedaannya ber-Islam di sini dengan di negara Arab pada umumnya,” kata perempuan yang fasih berbahasa Arab, Turki, dan Jerman ini tentang aturan memakai jilbab.
Pendapat ini ditanggapi positif oleh Ezhar Cezairli. ”Anak-anak membutuhkan pelajaran Islam modern,” kata dokter gigi muslim asal Frankfurt itu. ”Pelajaran yang bisa menjadi mediator yang jelas dan terang tentang Islam masa kini. Bukan Islam yang konservatif, apalagi fundamentalis.”
Sri Pudyastuti Baumeister (Jerman)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo