Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERNYATAAN yang ditunggu-tunggu itu akhirnya muncul pada urutan terakhir: tiga belas. ”Presiden tidak bisa membubarkan DPR, MPR, dan DPD. Namun juga sebetulnya tidak berlaku semacam kultur mosi tidak percaya yang dianut oleh sistem parlementer,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ”Undang-undang tentang impeachment jelas sekali... kapan seorang presiden dan wakil presiden bisa mendapatkan impeachment.”
Siaran pers yang dibaca Yudhoyono pada Kamis pekan lalu itu adalah kesimpulan rapat komunikasi para pemimpin lembaga negara di Istana Bogor. Hadir di sana Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Taufiq Kiemas, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman, Ketua Mahkamah Agung Harifin A. Tumpa, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md., Ketua Komisi Yudisial Busysro Muqoddas, dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo.
Kesimpulan nomor 13 itu jelas berkaitan dengan isu pemakzulan presiden. Soalnya, Panitia Khusus Kasus Bank Century Dewan Perwakilan Rakyat, yang menelusuri penanaman modal sementara Lembaga Penjamin Simpanan Rp 6,7 triliun di Bank Century, sudah menyebut-nyebut akan memanggil Yudhoyono untuk memberikan kesaksian. Ada yang berspekulasi, pemanggilan itu bisa berujung pada pemakzulan. Tak mengherankan bila musuh politik Yudhoyono mengatakan pertemuan Bogor dilakukan untuk menggembosi Pansus. ”Kami tidak merasa terwakili dalam pertemuan itu,” ujar Priyo Budi Santoso, wakil dari Fraksi Golkar.
Pimpinan lembaga negara yang dihubungi Tempo membantah tudingan tersebut. Menurut Mahfud, pertemuan itu digagas Taufiq Kiemas dan Irman Gusman. Tujuannya, mengakrabkan dan membina komunikasi antarpemimpin lembaga negara. Rencananya, pertemuan semacam ini berlangsung rutin: satu atau dua bulan sekali.
Mulanya mereka bertemu di Gedung MPR pada November lalu. Rapat di Istana Bogor, menurut Mahfud, adalah kumpul-kumpul mereka yang ketiga. ”Untuk menentukan tempat dan waktu pertemuan, kami telepon-teleponan saja,” kata Mahfud. Pada Maret nanti mereka akan bertemu lagi di Istana Cipanas. ”Itu murni pertemuan rutin pimpinan lembaga tinggi negara. Tidak aneh-aneh,” kata Mahfud tertawa.
Ihwal pembahasan kasus Century di Istana Bogor, Mahfud bercerita, bermula dari Harifin Tumpa. ”Pak Harifin heran mengapa sebuah kebijakan hendak diadili,” katanya. Lontaran Harifin lalu ditanggapi forum. Taufik Kiemas, misalnya, mengatakan tidak setuju sesama lembaga saling menjatuhkan. ”Tapi diskusi soal itu berlangsung hanya sebentar,” kata Mahfud.
Sewaktu mendapat giliran, Mahfud menjelaskan Pasal 7 UUD 1945 tentang Pemakzulan Presiden. Mengacu pada pasal itu, DPR bisa mengusulkan pemberhentian presiden. ”Cuma, harus terbukti dia mengkhianati negara, terlibat korupsi, penyuapan, atau tindak pidana berat lainnya.” Dan agar bisa sampai kepada pemakzulan, usul DPR tersebut harus mendapat persetujuan Mahkamah Konstitusi dan Majelis Permusyawaratan Rakyat. ”Prosesnya panjang,” katanya.
Meski tidak diagendakan, staf khusus kepresidenan bidang komunikasi politik Daniel Sparringa mengakui hasil pertemuan Bogor penting bagi Yudhoyono. ”Itu salah satu upaya membuat semua orang alert kepada mandat pokok Pansus,” katanya.
Daniel bercerita, Presiden sangat terkejut begitu tahu ada isu pemakzulan dirinya di media massa. ”Impeachment itu kan sebuah peristiwa politik yang sangat serius. Tidak pernah dibayangkan sejak awal Pansus itu membawa misi semacam itu,” katanya.
Tatkala tensi politik terus meninggi menjelang akhir masa kerja Panitia Khusus Century pada minggu ketiga Februari nanti, kongko petinggi negara di Bogor melegakan Demokrat. ”Pertemuan itu menunjukkan bahwa Presiden ingin agar semua pihak konstitusional dan taat asas,” kata Ketua Fraksi Demokrat Anas Urbaningrum. Sebelumnya lobi politikus Demokrat di Dewan boleh dibilang gagal. Dalam rapat-rapat Panitia Khusus, Demokrat sendirian menjadi pembela pemerintah. Mereka bahkan berseberangan dengan fraksi partai koalisi lainnya: Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan.
SEJAK isu hak angket Century bergulir, pertemuan antarpimpinan koalisi sering digelar. Menurut sumber Tempo di DPR, paling tidak dua minggu sekali ada rapat informal. Kadang undangan disampaikan hanya melalui pesan pendek. Mereka pernah bertemu di Cikeas, Hotel Dharmawangsa, Gedung Dewan, juga di rumah Ketua PAN Hatta Rajasa. Dalam pertemuan itu Demokrat selalu mengingatkan soal kewajiban partai koalisi untuk ”menjaga” pemerintah.
Tapi itu tak bisa meredam ”gerak liar” Panitia Khusus. Bahkan keputusan Pansus meminta Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengundurkan diri beberapa waktu lalu berawal dari gagasan anggota dari Fraksi Golkar dan PKB. Konon sejak itulah Yudhoyono sendiri mulai terlibat menangani koalisi.
Pergantian anggota Panitia Khusus dari Fraksi PKB dan Fraksi PAN diduga akibat ”tekanan” terhadap pemimpin kedua partai itu. Marwan Jafar dan Anna Muawanah (PKB) digantikan oleh Agus Sulistyo dan Muhammad Thoha. Sedangkan Chandra Tirta Wijaya (PAN), salah satu pelopor Panitia Khusus, digantikan Ketua Fraksi Asman Abnur.
Sumber Tempo di Fraksi PKB mengatakan, Marwan dan Anna diganti setelah Menteri Tenaga Kerja Muhaimin Iskandar yang juga Ketua Umum PKB mendapat telepon dari Presiden Yudhoyono agar ”mengawal” Panitia Khusus. Tapi ini dibantah Marwan, yang juga Ketua Fraksi PKB. ”Cuma rotasi biasa kok, supaya saya lebih konsentrasi di fraksi,” katanya.
Namun yang paling membuat partai koalisi Yudhoyono ketar-ketir adalah isu reshuffle. Sebenarnya, dalam rilis ke media dua pekan lalu, Anas Urbaningrum sudah membantah isu ini. Menurut dia, belum ada rencana kocok ulang kabinet. ”Presiden cuma akan mengevaluasi kesungguhan dan konsistensi partai koalisi,” katanya. Tetap saja partai-partai koalisi gelisah. Isu ini mengancam pimpinan mereka yang kini duduk di kursi menteri.
Tidak terkecuali Partai Golkar. Ketika Bambang Soesatyo mengatakan Golkar bukan koalisi Demokrat—karena itu tak khawatir dengan reshuffle— Aburizal Bakrie buru-buru membantah. ”Saya menandatangani perjanjian koalisi dengan Presiden,” kata Aburizal di jejaring sosial Twitter, Jumat dua pekan lalu. Golkar menempatkan tiga menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu II: Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Agung Laksono, Menteri Perindustrian M.S. Hidayat, serta Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad.
Panitia Khusus Hak Angket Bank Century memang belum selesai bekerja. Yang kini ditunggu adalah kesimpulan sementara yang akan dikeluarkan Pansus pekan depan. Beberapa fraksi sudah menegaskan akan memberikan pendapat yang sejuk, khawatir kesimpulan Panitia Khusus akan menjadi alasan Yudhoyono menyingkirkan menteri dari partai mereka.
Karena itu, yang kini berang adalah PDIP, partai yang tak tergabung dalam koalisi. Partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu berniat membuat laporan awal versi mereka sendiri jika kesimpulan sementara Pansus nanti tak sesuai dengan harapan. ”Pokoknya kami tidak mau tersandera Pansus,” kata Eva Kusuma Sundari, anggota Pansus dari FPDIP. PDIP yakin, hasil audit dan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan sangat kuat. ”Tapi lihat saja: PPP dan PAN sudah ikut Demokrat menyatakan bailout tak melanggar hukum,” kata Eva kesal. ”Padahal di Pansus mereka kencang.”
Sejak awal pekan lalu Sekretaris Jenderal PAN Taufik Kurniawan menegaskan partainya tak melihat ada persoalan dalam kebijakan bailout. ”Bagi PAN, penyertaan modal di Century diperlukan untuk mencegah krisis sistemik,” katanya.
Taufik mengaku sikap tersebut merupakan refleksi dari komitmen PAN dalam berkoalisi. ”Kader kami, Pak Hatta Rajasa, dulu ketua tim sukses Yudhoyono dan sekarang menteri koordinator,” katanya. ”Jadi, tidak mungkin kami masuk gerbong untuk mengganggu pemerintah.”
Jumat pekan lalu, Ketua Fraksi PPP Hasrul Azwar melontarkan hal yang sama. ”Dana talangan perlu untuk menghindari efek berat dari guncangan ekonomi saat itu,” katanya. Meskipun, menurut dia, PPP tak akan seratus persen membeo pada keinginan Demokrat. ”Kami tetap berpendapat, jika ada pelanggaran hukum, ya harus ditindak,” katanya. Hal yang sama terjadi pada Golkar. Di tengah isu akan menjatuhkan Menteri Keuangan Sri Mulyani, Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie menyatakan ”Konsisten menjadi bagian dari koalisi besar pemerintahan” (lihat ”Dua Beringin di Depan Istana”).
Philipus Parera, Wahyu Dhyatmika
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo